Semakin segala sesuatunya dibungkam, semakin jiwa-jiwanya berteriak— membangunkan sisi kemanusiaan yang selama ini tertidur pulas.
***
Sakit, semuanya terasa sakit. Kurasakan hangatnya darah mengalir menimpa kelopak mataku yang terpejam. Berat, aku tidak bisa membukanya. Dan untuk sesaat yang ganjil segala sesuatunya berjalan dengan lambat— aku bisa melihat mama dan papaku, kemudian bayang-bayang orang disekitarnya terasa semakin jelas; ada nenek, kakek, Aster, Aron, paman, bibi, dan teman-teman dekatku.
Itu adalah musim kemarau bahagia di acara syukuran ulang tahunku yang ke tujuh tahun. Mereka tersenyum kepadaku, namun berangsur-angsur senyumnya lenyap begitupun dengan sosoknya yang perlahan terasa samar— seperti layar film hitam putih yang perlahan buram— mereka lenyap. Aku sendirian, di sini. Di ruang kesunyian. Di ruang kehampaan. Kemudian aku dilanda perasaan yang aneh, ketenangan yang luar biasa hebat, barangkali aku sudah mati?
Tidak, aku tidak ingin mati, tapi bagaimana jika semua itu tidak pernah terjadi? surat, perjalanan kembali ke masa lalu, koma. Semua itu hanya halusinasi. Seharusnya satu jam yang lalu aku mendatangi psikiaterku, dan menceritakan segalanya, alih-alih menabrakkan mobilku dengan truk cargo. Tidak, aku tidak benar-benar melakukannya, ini kecelakaan. Sekarang aku benar-benar berada di bawah mobil bobrok dengan sekujur tubuhku yang terasa lengket, dan beraroma amis darah.
Dengan sekuat tenaga, aku mencoba kembali membuka mata. Sebuah siluet menusuk tepat kedalam mataku. Pening, perih, tubuhku terasa remuk. Namun rasa sakit kali ini entah kenapa terasa melegakan. Aku bisa mendengar keramaian; suara langkah orang-orang, benturan pecahan kaca, dan bunyi pintu mobil yang terbuka.
Kemudian semuanya kembali gelap, benar-benar gelap dan ... senyap. Aku kembali terjebak di sebuah ruang, tapi kali ini aku bisa merasakan ruang itu tepat di dalam diriku sendiri. Untuk beberapa saat yang mencekam, sebuah cahaya datang secepat datangnya gelap, berpendar begitu menyilaukan hingga meleburkanku menjadi elemen-elemen yang tidak mempunyai eksistensi. Bahkan aku bisa merasakan betapa ringannya diriku sendiri, seperti setetes air yang menguap di hari yang cerah— dunia di sekitarku lenyap— dan begitu terbangun aku bukanlah sosok diriku sendiri.
***
Ketika pertama kali membuka mata, aku merasakan disorientasi, bahkan pada diriku sendiri. Dan begitu menyadari tubuhku berbulu, aku tersentak sambil menjerit yang berakhir sia-sia (karena yang keluar hanya sebuah ngeongan)— suara kucing? Jantungku berdetak kencang, aku melompat dari sisi jendela tempatku terbangun ke meja di hadapanku dengan panik. Kurasakan tubuhku menyenggol apa saja di sekitarku. Terdengar suara prang dari pecahan vas yang terjatuh ke lantai, dan berakhir membangunkan seorang raksasa. Aku menghela napas begitu bocah laki-laki itu hanya menggeliat.
Begitu sebuah pintu terbuka, aku turun ke lantai, bersembunyi di kolong meja. Kurasakan suara langkah kaki seorang mendekati pecahan beling yang berhamburan di hadapanku, dia berkacak pinggang. Dan begitu matanya menangkap ekorku, dia melongok ke tempat persembunyianku.
Pria dua puluh tahunan itu melototiku. "Hei aku tahu ini ulahmu, kan?"
Aku pura-pura tidak tahu dengan menjilati bulu-bulu di tubuhku, dan sesekali menggigiti kutu-kutu. Hei apa yang aku lakukan? ini sangat jorok! Namun rasanya begitu sulit menghentikannya, seolah-olah aku baru saja memencet jerawat atau barangkali menggaruk tubuhku yang gatal, atau yang mana saja, ini terasa nyaman.
Pria itu mendengus. "Kau ini kenapa, sih, ini pertama dan terakhir, ok?!"
Dia mulai memunguti beling yang berserakan dengan terburu-buru, lalu dikumpulkan di atas buku bersampul majalah bergambar gadis seksi dengan lipstik semerah berry.
Setelah puas dengan kutu-kutu menjijikan di buluku, aku diam-diam memperhatikannya. Dia terlihat seperti akan pergi, penampilannya rapi dengan atasan kemeja bergaris putih hijau yang dimasukan ke dalam celana jeans bersabuk. Rambutnya yang terbelah dua tersibak ke atas- bukan jenis pria culun, entah kenapa alisnya yang tajam membuatnya terlihat nakal- auranya begitu jadul, namun jelas dia fashionable pada jamannya.
Jamannya? Aku melihat sekeliling, ruangan ini terasa tidak asing bagiku. Hampir segalanya berbeda; warna cat, langit-langit kamar, korden bermotif bangau, lemari, dan tidak ada AC— hanya ada sebuah kipas angin terbungkus jeruji plastik berbentuk kotak yang terpasang di atas jendela, begitu terkena angin dia akan memutar dengan sendirinya tanpa perlu dicolokkan. Lalu aku kembali memandang pria yang kini tengah mengumpulkan serpihan beling dengan sapu. Kutatap matanya yang bulat seperti mataku, kemudian kubayangkan sebuah kacamata hitam bertengger di sana, yang berarti ... aku berada di tahun 1998? Semua yang terjadi bukanlah mimpi atau halusinasiku(?) Pria itu ... "Papa?" ucapku.
Begitu dia sadar aku memperhatikannya, dia mendesah. "Lihat tampangmu, seperti biasa berlagak tidak melakukan kesalahan apa pun—"
"Wayan, apa yang sedang kau lakukan dengan vas bunga Mama?!" Di ambang pintu seorang wanita paruh baya nampak terkejut. Dia berjalan menghampiri papa, sementara aku terpaku menatapnya.
Nenek! Dia terlihat muda, tentu saja, tubuhnya berisi dalam balutan gaun abu hijau bermotif bunga besar-besar dengan lengan balon. Rambutnya pendek mengembang, masih hitam, dan belum berhijab. Kerutan di dahinya lebih samar, namun ada kantung mata di sana. Dia terlihat rapuh, namun kuat secara bersamaan, beda dengan terakhir kali aku melihatnya, dia kehilangan kekuatannya barangkali faktor usia.
"Piye to Yan, kenapa bisa jatuh seperti ini, makannya yang hati-hati!" Nenek terlihat marah, dan seperti biasa ketika marah, dia akan berbicara campuran dengan logat Jawa.
"Berani bersumpah bukan aku—"
"Terus siapa?" Nenek memotong ucapannya.
Papa menunjuk bocah yang sedang tidur pulas, yang kutebak Om Harun?
Begitu nenek menautkan alisnya curiga, Papa menjelaskan, "Dia pura-pura tidur!"
"Pura-pura tidur kau bilang?" Nenek menarik telinga papa yang membuat dia menjerit kesakitan sambil meminta ampun, tapi terus menyangkal bahwa bukan dirinya yang menjatuhkannya (dan itu memang benar). Dan begitu nenek menatapku sambil berkata; "Kucingmu, bukan?"
Papa menggeleng, dan aku memandangnya dengan tatapan berterimakasih. Tapi kenapa dia membelaku, maksudku kucingnya? jelas-jelas dia terlihat tidak ramah sama sekali!