Aku tidak tahu kenapa semua orang— nenek, papa, bibi, dan Om Harun mengarang cerita mengenai kematian Om Rendra. Tidak, aku salah, selama ini hanya Om Harun yang mengarang cerita. Sekarang aku paham kenapa nenek, papa, bahkan bibi selalu berkata; tidak ada lagi yang bisa kami ceritakan sayang, Om Harun sudah menceritakan semuanya. Ternyata mereka hanya sedang menghindar. Enggan berbohong atau mengatakan sejujurnya, tapi pada akhirnya mereka mendukung kebohongan Om Harun.
Waktu itu adalah Januari musim kemarau, aku masih berusia enam tahun, dan kami sekeluarga melakukan liburan yang bahagia di rumah bibi, di Solo. Sore harinya ketika mereka asyik barbeque-an di belakang rumah, aku dan Aron sibuk sendiri berburu kumbang di pohon kelapa yang baru-baru ini ditebang. Kami mendapatkan lima kumbang, Aron mengibaratkannya sebagai keluarga utuh nenek.
Kami akhirnya memutuskan bermain peran sebagai keluarga nenek, dengan kumbang menjadi lakonnya. Om Harun yang sudah muak disamakan dengan kumbang, dengan kesal memberitahu bahwa keluarga nenek beranggota enam, dan sama sekali tidak mirip dengan kumbang-kumbang bodoh kami. Kami yang penasaran pun meminta cerita versi lengkapnya.
Namanya Rendra— Surendra Atmaja, putra tersulung. Sekarang dia sudah bersama kakek, dia meninggal di usianya yang ke lima belas tahun, karena kecelakaan waktu takbir keliling. Kalian pernah dengar kecelakaan takbir keliling di tahun 94, itu, kan? Begitulah aku dan Aron mempercayai kebohongan Om Harun hingga saat ini.
Sekarang, di genggamannya, aku tergoda mencakarnya dengan kuku-kuku tajamku. Namun, perhatianku sudah beralih begitu sebuah motor berhenti di depan pagar rumah, dan papa berlarian keluar dengan tas ranselnya.
Dia berhenti, dan menyapa Om Rendra. "Sudah pulang, Mas?"
"Kau kapan pulang, Yan?"
"Tadi pagi, cuma ngambil beberapa barang yang tertinggal. Ini mau langsung balik."
"Kenapa begitu cepat, kau masih ikut demo?"
"Tentu saja!" Papa berseru bangga, kemudian matanya memandang sekeliling. "Harus ada yang menyerukannya, Mas. Siapa yang tahu reformasi semakin dekat? Dan itu harus diusahakan! Seperti kata pepatah, habis gelap terbitlah terang. Aku yakin itu bakal terjadi!"
"Hei di mana Wayan dekil yang aku kenal? Dua bulan tidak pulang, kau berani-beraninya menguliahi kakakmu seperti ini, hah!" Om Rendra tertawa, sambil memukul pelan kepala papa. Pada momen ini aku menyadari satu hal, dia mirip papa ketika sedang tertawa. Bedanya raut Om Rendra terlihat lebih tajam.
Papa terlihat marah, lalu memprotes, "Jangan sentuh-sentuh kepalaku, rambutku jadi berantakan."
"Yang benar saja, rambutmu memang sudah berantakan."
Papa hanya mendengus sambil merapikan rambutnya.
"Ya sudah sana pergi, sebelum aku berubah pikiran mengurungmu di rumah," ucap Om Rendra, kemudian dia melambaikan tangan kepada seseorang yang sudah menunggu papa di atas sepeda motor. "Tidak masuk dulu Jo?"
"Tidak Mas, buru-buru," timpalnya setelah menyisir rambutnya. Kemudian dia memasukan sisir ke saku celananya.
"Ya sudah aku pergi dulu."
"Hati-hati Yan. Kudengar dari beberapa rekan kerjaku, aktivis yang diculik semakin banyak akhir-akhir ini."
Papa mengangguk, sebelum pergi dia menatap Om Harun. "Hei bocah, jangan macam-macam dengan kucingku, dan jaga dia baik-baik!"
"Cihh," Om Harun pura-pura meludah. "Semenjak kapan kau peduli dengan kucing. Kucing ini dari kekasihmu, bukan?"
"Kau ini bocah cerewet, sudah kubilang bukan!" Papa terlihat bersemu, yang membuat Om Rendra tertawa.
"Hei sudahlah sana pergi, kasihan Tejo sudah menunggumu dari tadi."
Papa melangkah pergi, dan aku meloncat dari dekapan Om Harun, mengejarnya sambil berbisik; kaleng kerupuk cap garis waktu aku ingin papa tahu ucapanku. Kemudian aku berkata; "Tunggu, ada sesuatu yang ingin kukatakan!"
Dia menoleh dan memandangku, untuk sesaat yang konyol, kupikir keajaiban itu akan terjadi. Tapi begitu dia berkata, "Hei jangan ikuti aku, kau tetap di rumah dan jangan pergi jauh-jauh. Mengerti?" Aku tahu semua ini sia-sia— tidak ada keterangan dalam wujudku yang seperti ini dapat berbicara dengan manusia, kecuali jika aku berubah wujud, tapi aku tidak bisa melakukannya sekarang. Terlalu banyak orang, dan aku tidak ingin semuanya tahu, apalagi Om Harun, bocah itu pasti akan mengacaukan segalanya.
Dia kembali melangkah, dan aku menarik celana jeans-nya. Dia berhenti lalu memandangku sambil mendengus.
"Aku mau ikut, tolong bawa aku denganmu," ucapku meski sia-sia.
"Semenjak kapan kucing itu lulut denganmu, Yan?" Om Rendra tertawa, dan papa kembali memandangku begitu aku terus mengeong layaknya idiot.
"Ada sesuatu yang begitu penting, yang harus kukatakan!"
"Kumohon jangan pergi!"
"Sialan, kenapa aku tidak bisa berbicara dengannya!"
"Dan apa-apaan dengan wujud kucingku ini!"
Sementara itu Om Harun berusaha membopong paksa diriku. "Akan kuurus kucingmu ini." Kemudian dia berjalan ke dalam rumah. Aku memberontak di dalam dekapannya.
"Hei turunkan aku, bodoh!"
"Aku ingin ikut dengannya!"
"Kenapa kau begitu menyebalkan, entah di sini atau di masa depan! Mau kugigit?"
Tapi begitu dia berkata; "Hei tenang, aku akan memberimu kepala ikan, kau pasti akan menyukainya." Aku tidak tega melukainya.
Aku mendesah frustasi, dan nampak kucing yang meringkuk dalam kandang sedang memperhatikanku dengan iba. Barangkali dia menganggapku gila.
Om Harun membawaku ke ruang makan, tercium aroma yang begitu lezat dari arah dapur, sepertinya nenek sedang memanggang bolu.