Malam ini aku memutuskan untuk menginap di indekos papa. Aku tidak bisa tidur, aku tidak bisa berhenti memikirkannya, otakku mendadak sangat aktif layaknya kaset rusak yang terus terputar. Pikiranku menjadi begitu liar, dan kacau. Kemudian aku disergap perasaan yang begitu cemas. Bukan serangan panik, tapi sama-sama buruk. Tinggal menghitung jari, puncak kerusuhan bakal terjadi. 12 Mei— Ya Tuhan, dua hari lagi. Apa aku bisa menolong mama, menolong Om Rendra. Bagaimana jika papa tidak seberuntung sebelumnya? Bagaimana jika keterlibatanku memperburuk segalanya?
Jam dinding menunjukkan pukul 00 lebih. Aku harus tidur, tapi mataku sulit terpejam. Mencoba mengusir pikiranku mengenai peristiwa berdarah-darah, aku malah memikirkan mantanku, Jibran. Kami melakukan hubungan jarak jauh nyaris delapan bulan. Dia di Jogja, sementara aku di Depok. Kami bertemu hanya saat liburan, itu pun beberapa kali, sesempatnya saja. Tidak ada pertengkaran besar ketika putus, hanya masalah sepele. Masalahnya adalah komunikasi kami buruk, apalagi ketika ibuku meninggal, sementara serangan panikku sering kambuh.
Aku tidak memberitahunya, aku merasa dia tidak bisa memahamiku sebaik sebelumnya. Atau barangkali aku lah yang tidak ingin merepotkannya, dia juga sedang banyak masalah. Orang tuanya baru saja bercerai, ibunya sakit-sakitan, dan hubungan dengan kakaknya tidak berjalan baik. Mantanku tidak pernah berkabar dengan kakaknya, meski sama-sama kuliah dan ngekost di Joga. Pernah Jibran mencari kakaknya karena nyaris satu tahun tidak ada kabar, tapi tidak menemukannya. Terakhir yang dia dengar kakaknya mengikuti kampus mengajar di Papua, dan hingga saat ini belum juga kembali.
Kini aku jadi teringat sempat menyukainya. Maksudku, Arnav, kakaknya. Aku menyukainya dari kali pertama jumpa dengannya, kira-kira waktu SD. Perasaan itu semakin dalam ketika aku sering berlibur ke Solo dan bertemu dengannya. Namun, hubungan pertemanan kami hancur ketika SMA— ketika aku pindah sekolah di Solo. Ketika aku merasa dia menyukaiku balik sebagai lawan jenis, yang malah berakhir sangat buruk.
Pada pukul 02.00 akhirnya aku bisa tidur, tapi dengan mimpi buruk. Aku mencari-cari tempat penyekapan papaku, kemudian menemukan papa dan mamaku teronggok bersama mayat lainnya di hilir sungai penuh sampah. Tangis dan amarahku semakin pecah begitu segerombolan ikan menghampirinya, memakan kulitnya yang pucat. Nyaris putus asa aku berusaha menarik jasad orang tuaku menepi. Tiba-tiba di sampingku ada Jibran dan Arnav, mereka mencoba membantuku membawa Papa dan Mama menepi. Aku bisa merasakan rintihan dalam tidurku, dan begitu terbangun tenggorokanku rasanya tercekik.
Keesokan paginya aku memutuskan pulang ke Depok. Aku tidak bisa berdiam diri di sini dan menunggu kepulangannya, atau aku bisa gila. Pertama kali yang kulakan setibanya di sana adalah mengecek surat balasan dari Aron, tapi tidak ada. Dan begitu bertemu Tuan Bagong, aku menceritakan penculikan papa dan kucing klawu yang bersamanya. Kupikir tidak apa-apa aku membongkar statusku kepada Tuan Bagong.
"Nona Kismis— maksudku Nona Ayesha tak perlu khawatir." Ekornya bergerak beberapa kali. "Aku akan menemui Tuan Cemeng, menyuruhnya supaya menemukan keberadaan papamu dan Tuan Klawu. Dia burung dara terlatih yang andal. Begitu Tuan Cemeng berhasil menemukan papamu, kau tak perlu cemas, aku akan meminta bala bantuan teman-temanku untuk melindungi mereka."
"Terima kasih Tuan Bagong, ini akan sangat membantu."
Dan begitulah aku tak mempunyai pilihan, selain mengandalkan Tuan Bagong.
Pagi harinya mendadak terbesit sebuah ide untuk mengamankan mamaku tanpa harus menunggu papa. Dia membuat keputusannya sendiri, kenapa aku tidak? Aku bisa membawanya ke suatu tempat, tak perlu cemas soal alasan. Aku bisa mengajaknya dengan dalih berlibur. Atau papa yang sudah menunggunya di suatu tempat. Atau kemungkinan terburuknya aku bakal menculiknya. Tak perlu cemas soal alasan, aku bisa menghasilkan banyak alasan. Biar bagaimanapun aku tak bodoh-bodoh amat soal berbohong.
Namun, aku justru pergi ke Grogol, ke kampus Trisakti. Aku tidak tahu kenapa aku pergi ke sana, selain fakta bahwa aku tahu mereka bakal mati. Sekarang tanggal 12 Mei, 4 mahasiswa tewas. Betapa pun aku ingin memberitahunya, mencegahnya, aku tidak bisa mengingat persyaratan yang tak boleh kulanggar. Jadi, barangkali aku ke sana hanya ingin menyaksikan langsung peristiwa itu. Dan ini yang membuatku merasa buruk.
Suasana begitu ramai setibanya di sana, para mahasiswa melakukan aksi unjuk rasa besar-besaran ke Gedung Nusantara. Mereka saling memuntahkan aspirasi sambil membawa banner bertulis; kami butuh reformasi, krisis berkepanjangan segera di musnahkan, turunkan pemimpin orde baru, stop korupsi, stop nepotisme, dan masih banyak lainnya. Unjuk rasa semakin memanas, apalagi ditambah pemerintah mengirimkan pasukan bersenjata. Jalanan semakin lumpuh; beberapa diblokir, kendaraan dialihkan, dan kemacetan di mana-mana.
Setiap langkahku menuju kampus menjadi goyah. Aku tak seharusnya datang ke sini. Ini akan membuatku terlihat begitu egois. Aku tahu apa yang akan terjadi, nama-nama, dan wajah mahasiswa yang tewas. Setiap momennya seperti sebuah film yang diputar ulang. Aku menghentikan langkah, jauh dari kekacauan yang terjadi di kampus. Di sudut yang aman, aku menyaksikan kekacauan dengan tubuhku yang terasa kaku. Ya Tuhan kekacauan sudah terjadi. Mendadak aku ingin ikut melarikan diri, namun aku malah mematung di tempat.
Gas air mata di mana-mana, sementara mahasiswa berlarian panik. Pada momen itu, aparat melakukan penembakan yang membabi buta, pemukulan dengan pentungan dan popor, penendangan dan penginjakkan. Dan begitu aparat melakukan penembakan dengan peluru sungguhan, nyaris semua orang berlarian. Jeritan dan seruan di mana-mana— mencekam, marah, dan terancam; mahasiswa yang sedang menikmati makanannya keluar panik, para penjual berlarian, beberapa yang tidak sempat kabur melakukan tiarap, atau membuat berikade sekadarnya. Mendadak tempat ini seperti kapal karam.
Aku memundurkan langkah begitu kekacauan semakin mendekat. Tidak sempat kabur. Kini aku berada di antara puluhan kaki yang berlarian. Napasku memburu, sekarang konsentrasiku berada pada puluhan kaki yang siap menginjakku kapan saja. Aku berusaha lari keluar kerumunan, tapi tidak semudah yang aku bayangkan. Aku seperti idiot yang hanya berjalan ke sana kemari tanpa benar-benar keluar kerumunan. Aku terjebak.
Kemudian aku bisa merasakan sesuatu mendekat ke arahku. Burung gagak. Dia terus berterbangan di atasku, menukik semakin rendah, dan mengeok. Tubuhku dengan refleks melakukan perlawanan, sampai aku menyadari aku tertolong karena ulahnya. Orang-orang mendadak menjaga jarak, sehingga memberiku cukup ruang aman untukku. Aku mengernyit, tapi aku tidak mempunyai waktu memikirkan dari mana gagak itu datang. Aku harus melarikan diri. Tapi dia terus berterbangan memutariku, cukup rendah, nyaris menyentuh tubuhku.
"Hei kita harus pergi!" Ada suara tertuju padaku. Berat, mendesak, dan familier. Gagak itu memandangnya, seolah-olah mereka bisa saling berkomunikasi, berteman. Dan begitu suara itu kembali berseru; jangan ganggu kucing itu! Mau ikut atau tidak, terserah—"
Aku tahu dia memang tidak berbicara denganku atau dengan orang di sekitarku. Dia berbicara dengan gagak itu. Dengan burung gagak? Aku tidak tahu bagaimana seseorang bisa bicara dengan burung. Ok, semua orang bisa melakukannya, tapi ini beda kasus, mereka terlihat seperti saling memahami. Seperti aku yang bisa memahami ucapan kucing, apakah dia bisa memahami ucapan gagak? Lebih mengejutkan lagi ketika aku berbalik, dan mendongak untuk melihat wajahnya, dia mirip seorang yang kukenal. Amat sangat kukenal.
Ada sebuah getaran yang aneh; meluap-luap, antusias bersamaan dengan rasa tidak siap, dan harus menghindar. Namun aku malah mematung dan menyaksikan bagaimana burung gagak itu bertengger di bahunya yang lebar. Setelah beberapa detik berlalu, aku menyadari dia memang Arnav. Betapa pun aku ingin tidak memanggil namanya, hati dan mulutku mengkhianatiku. Dia tidak mungkin bisa berbicara denganku, kan? Namun begitu kusebut namanya, dia menatapku dengan dahi mengernyit.
"Kau bisa berbicara denganku?" Ya Tuhan, aku benar-benar berbicara dengannya. Dengan Arnav.
Aku belum bisa mencerna kehadirannya di sini. Tapi aku justru bersikap normal tanpa mempertanyakan eksistensinya, bagaimana dia bisa sampai di belahan bumi yang sama; penuh dengan kekacauan dan bencana. Alih-alih aku malah memikirkan sudah berapa lama kami tak saling bicara?
Dia menatapku dengan dahi mengernyit, dan menggumam ya.
Anehnya perasaan takut karena terjebak dalam kekacauan ini lenyap begitu saja, "Aku yah— Ayesha."
Arnav menatapku lagi, ekspresinya sama terkejutnya denganku beberapa detik yang lalu. "Ayesha? Kau— kenapa kau di sini?" Rautnya terlihat panik, namun dia bukan tipe orang yang melebih-lebihkan segala sesuatunya.
Dia tidak menunggu jawabanku. Dia membungkuk, mata secokelat lumpur musim panasnya memandang tepat ke arah mataku. Gerakannya mulus ketika meraihku, dan tanpa meminta persetujuanku— seolah-olah persetujuanku tidak penting di tengah kerusuhan ini. Dia mendekapku, dan membawaku lari menjauhi kekacauan. Mendesak, hangat, dan aku bisa merasakan debar jantungnya yang secepat detak jantungku. Ya Tuhan aku hampir tak mempercayai semua ini.
Untuk sesaat yang konyol aku ingin terus seperti ini, meringkuk sebagai sosok kucing di dekapannya. Menghentikan waktu yang terus bergulir menyongsong kengerian lainnya, dan membiarkan momen ini untuk selamanya. Betapa mustahilnya semua ini.
Aku mendongak dan memperhatikan napasnya yang mulai memburu. Rautnya terlihat menahan sesuatu, seperti sebuah rasa sakit. Dan aku baru menyadari dia pincang— kakinya terluka.
"Ya Tuhan Arnav, kakimu berdarah. Kita perlu ke rumah sakit!"
Suaraku bergetar nyaris berlebihan, dan aku mengutuk diriku sendiri telah melakukan ini. Namun kemudian, aku harus memberi penghargaan kepada diriku sendiri karena berhasil menahan kata-kata yang sudah tersusun di pangkal lidah; Selama ini kau ke mana saja? Kenapa tidak ada kabar? Dasar bodoh, kau membuat kami kuatir! Aku dan Jibran mencemaskanmu! Dan sekarang terdengar masuk akal kenapa dia menghilang, meski aku masih menganggapnya dia masih di bagian Timur Indonesia— mengikuti kampus mengajar, kemudian sekalian berlibur ke daerah lain.
"Jangan kuatir, cuma luka ringan. Peluru karet." Dia memandangku, aku ingin menatapnya lebih lama, tapi aku tak tahan. Jadi aku memalingkan muka, yang membuat bibirnya membentuk garis lurus yang muram.