Kalibening

M. Yusuf Amin Nugroho
Chapter #2

Rencana Ayah Mendirikan Sekolah

KELAK, setelah aku mulai rajin membaca buku dan koran, aku tahu bahwa bukan kampung kami saja yang punya nama Kalibening. Di Jawa, mungkin ada puluhan desa yang menggunakan nama itu. Sebagaimana nama manusia, Jono misalnya, mungkin juga ada ribuan. Tapi kami yakin, orangtua mereka tidak pernah membuat janji untuk memberi nama yang sama pada anak-anak mereka.

Kami begitu bangga dengan nama desa ini. Meski aliran sungai dari mata air Gunung Merbabu yang berada di ujung desa kami, yang barangkali dulu menjadi inspirasi nama desa ini tidak bening lagi, dan alirannya kecil sekali sehingga lebih layak disebut sebagai kali mati.

Kalibening, kadang-kadang aku menuliskannya dengan tanda silang sebelum kata ‘bening’. Seolah-olah, dibalik kebeningan desaku terdapat sesuatu yang misterius dan luar biasa, sebagaimana X-Man atau sinar X.

Kampung kami sebenarnya bukanlah sungguh-sungguh kampung. Ah, makna kampung sendiri terus mengalami pergeseran. Dulu, bukankah yang namanya kampung adalah sebuah tempat yang jauh dari pusat kota. Sementara kampung kami hanya tiga kilometer saja dari kota. Tetapi memang, kenyataannya kehidupan warga kampung kami masih sangat menghargai tradisi dan sebagian besar warganya hidup dengan bertani.

Tuhan menciptakan bumi tanpa melampirkan sertifikat tanah. Dan Nabi Adam, sebagai moyang kami yang pertama, tidak pernah membuat surat wasiat agar tanah warisannya dibagi adil merata. Maka beginilah jadinya, meski semua warga kampung kami punya tanah, tapi luasnya berbeda satu dengan yang lainnya, barangkali itu soal nasib—kembali lagi ke awal paragraf ini.

Tapi beginilah salah satu ciri khas masyarakat pedesaan: Qona’ah, nrimo. Warga yang hanya memiliki tanah yang sudah didirikan rumahnya tak seorang pun berani menyalahkan pemerintah, apalagi Tuhan. Ah, bukan tidak berani. Mungkin lebih tepatnya mereka merasa tidak ada gunanya menyalahkan siapa-siapa. Mereka hanya mengenal kata kemiskinan, tanpa peduli bagaimana sebenarnya kemiskinan itu bisa sampai mereka alami.

Sebagian warga memang mencoba melawan kemiskinan itu—tepatnya memerangi— tetapi dengan cara yang keliru. Meski sudah jelas keliru, toh mereka tetap mencoba mempertahankan kekeliruannya dengan membeberkan fakta sejarah untuk kemudian mengambil pesannya secara serampangan. “Nabi sukses setelah hijrah ke Madiah. Nah kita juga disunahkan hijrah, ke kota, tempat segalanya ada.” Demikian kerap disampaikan secara membabi buta oleh para pemuda yang tampak benar bahwa diri mereka sedang putus asa. Tidak ada sawah atau ladang untuk merega garap, atau sebenarnya hanya enggan dan malas saja. Tidak ada pabrik atau toko yang menjanjikan sumber penghidupan. Tidak ada secuil pun pikiran untuk menjadi pengusaha. Maka, tidak sedikit pemuda pegi ke kota, menjadi buruh atau babu, yang bagi mereka lebih terhormat ketimbang menjadi pengangguran di kampung mereka yang kecil.

Hijrah mencari pekerjaan ke kota sebenarnya bukan semata karena tidak punya lahan untuk digarap, mungkin lebih tepat dikatakan sebagai sebuah keinginan yang menggebu untuk mencari uang dengan lebih mudah dan cepat. Ibunya Em misalnya, sebenarnya punya tanah yang cukup luas. Tetapi menjadi petani di negeri yang kurang paham dari mana asal nasi di piring Presiden ini bukanlah hal yang gampang. Mereka harus bertarung dengan harga pupuk yang mahal dan harga beras import yang entah kenapa bisa lebih murah.

Lihat selengkapnya