ADA dua hal yang tidak bisa aku lupakan dalam hidup ini: Hari pertama masuk sekolah baru dan ketika awal kali jatuh ke dalam cinta. Yang kusebut pertama tragis betul, dan yang kedua tidak sepenuhnya menyembuhkan.
Aku tidak ingin melupakan keduanya, dan karenanya aku selalu ingat. Aku ingin selalu mengingat keduanya, maka aku membagi kisah ini kepadamu.
Kawan, gagal sekolah di tempat yang diimpikan benar-benar membuat hatiku remuk. Sementara Ayah dan Emak tak peduli pada penderitaan yang aku alami. Mereka mungkin sudah menganggapku sebagai boneka yang harus menuruti semua kehendak mereka. Tidak! Kalau ada orang yang menolak berdirinya sekolah di kampung ini, itulah aku.
Gagasan mendirikan sekolah sendiri barangkali sudah lahir di benak Ayah sejak lama. Kalau kemudian ide gila itu baru dibumikan, itu hanya persoalan waktu: Ayah menunggu aku lulus SD dulu. Mungkin ia berpikir, tidak berdosa menjadikan anak kandungnya sebagai kelinci percobaan.
Aku ingat, Emak sendiri yang mengatakan soal itu, sewaktu menceritakan awal pertemuannya dengan Ayah. Sebelum Emak dilamar, Ayah belum pernah menanyakan Emak sekolah di mana, lulusan apa. Mereka berdua berkenalan dalam sebuah pengajian Naulid Nabi di sebuah pesantren, lalu saling berkirim surat. Di dalam surat-suratnya, Ayah tidak juga pernah menanyakan tanggal lahir—padahal Emak sangat berharap, dan dengan demikian ia ingin Ayah memberinya kado saat ulang tahunnya. Ayah tidak bertanya apapun kecuali satu, “Apakah kau siap menjadi guru bagi anak-anak kita nanti?”
Kisah itu saja sudah membuatku percaya bahwa memang Ayah sudah lama ingin mendirikan sekolah di kampung ini. Sekolah untuk anak-anaknya, juga anak-anak tetangganya. Itu gagasan besar yang untuk berpikir tentangnya saja orang ketakutan. Tetapi harus aku akui, Ayah terlampau nekat, konyol, dan kejam. Ia telah melukaiku, ketika usiaku belum genap tiga belas tahun. Dan parahnya, Ayah tak pernah menyadarinya.
Lalu, apakah masih pantas aku menyebut lelaki itu sebagai Ayah?
Sinting betul lelaki berambut ikal panjang itu. Ini baru aku sadari belum lama. Meski sebetulnya, sudah banyak orang menganggapnya demikian disebabkan sikap dan cara Ayah memandang dan menjalani hidup. Ia seorang sarjana agama yang menolak mengambil ijazahnya. Untuk satu hal ini, tidak saja Emak dan aku yang kerap menanyakan, tetapi juga para tamu dan tetangga kami. Ayah lebih sering hanya tertawa, tetapi kadang menjawab dengan kata-kata yang tegas, dan terkesan intelek, tidak lupa sembari menyebut-nyebut Ivan Illich, Paulo Freire, Albert Enstein dan Gus Dur, orang-orang yang kelak bicara banyak hal padaku lewat buku-buku.
Anehnya, berkat keberanian Ayah yang tidak peduli dengan ijazah, maka ia mendapat posisi terhormat di kampung kami: Ketua RW. Jabatan itu lebih terhormat ketimbang Lurah atau Carik, demikian diakui oleh Emak. Sebab Ayah dipilih tanpa harus membagikan uang, dan pekerjaannya tidak pula menghasilkan uang. Betapa terhormat!