Kau duduk dan membayangkan sebuah sekolah. Muncullah di kepalamu gedung yang dikelilingi tembok dan kawat berduri, anak-anak berseragam, bersepatu dan berbaris di lapangan, mengantuk di bangku-bangku menghadap papan tulis persegi. Jika benar demikian yang kau bayangkan, maka aku perlu mengajakmu mengunjungi Kalibening. Di sana ada sebuah sekolah yang sangat buruk. Bukan gedungnya, sebab sekolah itu tak punya gedung. Tetapi cara anak-anak itu belajar, sama sekali tidak patut, jauh benar dari gambaran sebuah sekolahan.
Kerja mereka, anak-anak bodoh dan guru-guru mereka yang sok pintar itu hanyalah bersenang-senang. Ya. Bersenang-senang! Tidak hanya tertawa dan melakukan apa yang mereka suka, tetapi menjalani waktu tanpa beban, seakan-akan hidup hanyalah hari ini. Mereka menggendong atau mencanglong tas, menenteng buku dan gitar, berkalung kamera, bertelanjang kaki atau mengenakan sandal, di pematang sawah, serambi masjid, lapangan, perpustakaan, atau di depan komputer yang ada di setiap kamar rumah mereka masing-masing.
Gila! Bukankah sekolah-sekolah di kota masih sangat siap menampung dan menggembleng mereka menjadi manusia bermartabat? Kenapa mereka justru memilih celaka, menyalakan api dan terjun ke dalamnya, mendadak mendirikan sekolah sendiri. Lebih celaka lagi, ayahkulah yang pertama menyulut api itu!
***
BAIKLAH, aku akan memulai kisah ini dari sebuah pagi, dua tahun silam. Pagi jahanam yang tidak pernah terlupakan dalam hidupku, yang kutandai sebagai titik mula kebencianku pada Ayah dan desa ini.
Kala itu, aku mendadak terbangun dari tidurku yang tak nyenyak. Sekelilingku gelap, tapi aku tahu tubuhku masih tergolek di ranjang, di atas kasurku yang tipis. Tidak ada suara apapun dapat kutangkap kecuali embusan napasku sendiri. Aku ingin tidur lagi, tetapi seakan ada yang mengganjal mataku. Aku tersenyum, mengira pagi yang aku tunggu-tunggu sudah dekat. Aku akan berangkat ke sekolah baru, bertemu dengan kawan-kawan baru, guru-guru baru, gedung sekolah baru, pelajaran dan pengalaman baru.
Aku menunggu cukup lama untuk memastikan apakah subuh sudah dekat atau masih dua jam lagi. Aku menunggu suara ayam atau azan, dan berpikir manakah di antara keduanya lebih dulu akan aku dengar. Cukup lama. Namun, tetap embusan napasku saja yang masih menguasai telingaku. Sesekali memang, kudengar juga suara serangga di luar jendela, justru menambah kental kesunyian, tapi tidak bisa menjadi tanda waktu yang pasti.
Aku memutuskan keluar kamar untuk menengok jam di ruang tamu, yang dengan itu aku dapat memutuskan apakah akan meneruskan tidur atau menunggu suara azan. Demi Tuhan, aku tidak ingin terlambat di hari pertamaku masuk sekolah yang baru.
Tangan kecilku cukup kesulitan menemukan saklar lampu di dekat pintu. Dan begitu lampu menyala aku tidak buru-buru ke luar kamar. Aku ingat tas baruku. Tas gendong berwarna biru. Ah, aku tidak suka warna biru! Kenapa kemarin aku tidak memilih yang warna hitam saja. Sudah telanjur! Menundukkan kepala sedikit, di bawah kursi tempat tas baruku berada, ada sepasang sepatu hitam terparkir. Uh, aku bosan sepatu hitam. Tapi mau bagaimana lagi, sekolah baruku mewajibkan sepatu hitam—entah kenapa. Yang jelas, sepatu itu akan mengawal langkahku, memantapkan pijakan kakiku paling tidak selama setahun ke depan.
Lampu ruang tengah masih padam, ruang tamu juga. Tapi cahaya lampu kamarku berpendar ke luar sehingga aku dapat berjalan dengan langkah yang baik dalam keremangan. Menghidupkan lampu ruang tamu aku jadi tahu sekarang baru pukul dua. Masih ada dua jam lebih menuju waktu subuh. Lama sekali rasanya.
Aku tidak tahu harus mengisi dua jam dengan apa, dan karenanya aku memutuskan untuk kembali ke tempat tidur. Aku membalikkan badan dan tersintak ketika di belakangku tampak sesosok tubuh tinggi dan besar dengan kaki yang tidak terlihat. Hampir-hampir aku menjerit jika sosok itu tidak segera mengeluarkan suara yang sudah sangat aku kenal.
“Benar katamu, kita memang harus beli jam dinding lagi.”
“Hah!” Aku berjuang mengatur napasku.
“Nah, sekarang kau tahu sendiri baru pukul berapa. Tidurlah lagi, Hilmy! Nanti subuh Ayah bangunkan.” Tubuh tinggi besar itu membalik, melangkah meninggalkanku. Aku bisa cukup jelas melihat kopiah hitamnya, juga rambutnya yang dibiarkan tergerai hinggap di bahunya yang tegap. Tapi aku tidak melihat sepasang kakinya karena sarungnya menjulur nyaris menyentuh lantai.
Aku tidak tahu dari mana Ayah muncul. Tapi aku yakin Ayah sudah melihatku sejak aku keluar dari kamar dan tahu tujuanku menengok jam.
Kenapa Ayah belum tidur juga? Tepatnya; kenapa Ayah tidak tidur malam-malam begini? Ya, ya..ya. Aku tahu. Ayah mengenakan kopiah hitamnya. Ayah tidak pernah mengenakan kopiah hitam itu kecuali untuk salat, saat ke Masjid dan menghadiri kenduri. Entahlah. Emak memang kerap mengaku rajin salat malam untuk mendoakanku. Tapi sejauh ini belum pernah Emak membawa-bawa Ayah. Bahkan, selama ini aku sendiri yang kerap membangunkan Ayah untuk salat Subuh.
***
AYAH memang lain. Bukan saja karena ia konsisten dengan rambut gondrongnya meski sudah memiliki dua anak, tetapi sikap dan pandangan hidupnya benar-benar berbeda dari Ayah teman-temanku yang juga teman-teman ayahku.
Sudah berbuat apa saja kau hari ini? Begitulah Ayah kerap bertanya padaku. Ketika aku kabarkan padanya bahwa di sekolah aku sudah mengerjakan ulangan harian dengan cemerlang, ia hanya tersenyum kecil. Demikian pula ketika aku tunjukkan nilai-nilaiku yang semuanya seratus. Ayah hanya tersenyum. Tersenyum kecil saja. Sangat berbeda ketika suatu hari aku mengabarkan tidak beli jajan karena uang sakuku aku berikan semuanya kepada temanku untuk beli pulpen. Mendengar itu senyum Ayah akan melebar. Ia menyuruhku mendekat, lalu menciumku atau hanya memujiku: “Kamu hebat!”; “Besok lagi!”, “Bagus.”, “Ayah suka!” Lalu ketika aku katakan bahwa hari ini aku tidak berbuat apapun, kecuali makan, main, dan tidur, Ayah hanya mengangguk-angguk kecil. Tanpa senyum. Tanpa marah.
Guru-guru di sekolah memberi nilai kepadaku dengan angka, tapi Ayah memberiku senyuman, anggukan, dan pujian yang tidak lebih dari dua kata. Senyum kecil mungkin sama dengan nilai 80, senyum lebar 100, dan anggukan nilainya mungkin setara dengan angka 50. Aku tidak suka dengan sikap Ayah yang menurut banyak orang justru unik itu. Unik apanya? Gila barangkali lebih tepat. Dan kelak, aku memang benar-benar menganggap Ayah sudah gila. Gila dalam arti yang sebenar-benarnya.
Betapa tidak gila? Ketika nilai ujianku nomor satu sekecamatan dan aku diterima di sekolah favorit tanpa tes, Ayah hanya tersenyum kecil, tanpa pujian, apalagi hadiah.
Bahkan, aku harus memaksa Ayah agar mau mengantarkanku mendaftar ulang di SMP 1 yang terkenal sebagai sekolah unggulan itu. Ya, memaksa! Untunglah Emak ada bersamaku, menambah kekuatan kami. Jika tidak, Ayah sungguh akan tak sudi mengantarku.