Desik rumpun bambu menghalangi pendengaranku. Suara Gazi hilang timbul juga berpindah-pindah terbawa angin. Kinara masih terlelap dalam gendongan, aku segera menaikan sisi kain gendongan agar bisa sedikit menutupi wajahnya. Tawa Gazi kembali terdengar tapi tidak dengan teman-temannya. Seingatku, tadi dia pergi bersama dua orang temannya mengambil bola yang terlempar ke jalan setapak yang hampir hilang tertutupi daun-daun kering dan lumut.
“Gazi!”
Hening. Hanya terdengar suara desik pepohonan. Aku mulai menyusuri jalan setapak di depanku tapi mataku teralihkan pada sajen yang sudah rusak di belakang rumpun bambu yang baru saja aku lewati. Penduduk di sini sudah melarang siapa pun berkeliaran di sekitar rumpun bambu itu, terlebih tiga anak yang kemarin bermain di sekitar sini sakit dan belum membaik hingga sekarang.
“Gazi!” Aku berteriak sekuatnya membuat Kinara terbangun dan menangis. “Gazi!” Jalan setapak berbelok ke kiri dan tepat di tikungan di sela-sela rimbunnya pepohonan dengan akar-akar gantung yang saling berbelit tersebar kelopak mawar merah dan di atasnya tengkorak kepala kerbau menempel di salah satu batang pohon. Tangis Kinara semakin kencang. “Gazi!” Aku mengeluarkan semua energiku untuk memanggilnya.
“Ibu!” Kepalaku menoleh kilat. “Ibu sedang apa di situ?” Gazi berdiri sejajar dengan sajen yang rusak. Aku segera menyerbu ke arahnya.
“Tadi Ibu lihat kamu masuk ke situ tapi gak balik-balik,” ucapku sambil mengecek kondisinya.
“Aku ke jalan satunya, di sana!” Dia menunjuk ke sebelah kirinya. “Soalnya katanya gak boleh dua kali lewat situ.”
“Kamu bikin Ibu kaget. Ayo pulang, sudah mainnya. Kamu ini baru di sini, jangan main yang aneh-aneh dulu.”
“Aku gak main yang aneh-aneh, aku main bola.”