“Sebenarnya kalau Bu Laras perhatikan, di bawah kepala kerbau itu ada semacam sisik ular. Itu sebagai simbol kalau ular memakan kerbau. Biar gak minta tumbal manusia.” Aku mengulangi kata-kata Bu Ani ketika bertemu di warung.
“Itu sudah mengarah ke mistis, syirik juga. Gak baik. Gak usah ikut-ikutan. Dedemit, jin itu bukan urusan kita, gak usahlah kita ikut campur,” ucap suamiku sambil membantu membawakan tas Gazi ke mobil sedan tua lungsuran ayahnya. “Terus, kamu kan lulusan psikologi juga.”
“Memangnya kenapa kalau aku lulusan psikologi? Aku juga maunya begitu, gak ikut campur. Tapi anak-anak tetangga pada sakit.”
“Mungkin dari makanan atau minuman yang mereka makan atau minum.”
“Makanan dan minuman mereka beda-beda, Yah. Jajanan di warung. Iya kan, Gazi?”
Gazi mengangguk.
“Ya, berarti semua merek bermasalah atau sudah kadaluarsa.”
“Ih, ya masa bisa barengan begitu.”
Suamiku hanya mengangkat bahu lalu duduk di balik kemudi dan mengendarai mobilnya setelah memastikan Gazi aman di sampingnya. Setelah mereka pergi mataku refleks melirik ke arah rumpun bambu itu. “Mungkin memang kebetulan.”
Menjelang siang ketika sedang bermain-main dengan Kinara beberapa warga mendatangiku, menanyakan kondisi Gazi karena dua orang temannya yang kemarin bermain bola bersama dia jatuh sakit.
“Gazi di sekolah.”
“Susul Bu, takut dia kenapa-kenapa!”
Aku segera menggendong Kinara yang sedang berusaha membalikan badannya dan bergegas menuju sekolah Gazi. Karena melihatku panik, guru kelasnya pun ikut panik. Dia menyimpan lontong yang baru saja digigitnya dan bergegas ke kelas meninggalkan ruang guru. Tanpa disuruh aku langsung menerobos masuk mencari Gazi.
“Ibu? Ngapain ke sini?” tanyanya yang sedang asyik memainkan burung kertas. Aku meraba keningnya dan mengecek seluruh tubuhnya. Dia baik-baik saja. Aku pun meminta maaf karena sudah membuat gaduh tapi guru kelasnya langsung mengerti ketika aku menjelaskan situasinya. Rumpun bambu di samping lapangan itu ternyata sudah sangat terkenal keangkerannya.
Ketika malam tiba, saat Kinara sudah tidur aku menengok Gazi di kamarnya. Dia sedang membaca buku ditemani bunyi ‘tuk’ berkali-kali dari arah jendela kamarnya.
“Gazi, kamu gak dengar itu?”