Kalut

Abe Ruhsam
Chapter #4

Bioskop

Jauh sebelum pertemuan di cafe yang berakhir tragis di sore itu, telah terjalin hubungan mesra antara Erika dan Tomi seperti pasangan kekasih pada umumnya. Keduanya kerap bersama dan melakukan kegiatan bareng. Malam minggu itu mereka sudah janjian mau nonton bioskop. Selaras dengan suasana hati sepasang kekasih yang sedang dimabuk kepayang, keduanya kompak memilih sebuah film drama romantis historis yang berlatar Indonesia di masa pra kemerdekaan.

Alkisah, keluarga van Deek baru pindah dari Bogor dan menempati sebuah rumah dinas di salah satu sudut kota Batavia di awal tahun 1907. Rumah itu memang diperuntukkan bagi pejabat pemerintah Hindia Belanda yang sedang dalam masa tugas. Mereka menempati rumah itu hanya berselang seminggu setelah ditinggal penghuni sebelumnya yang dipindahtugaskan ke Malang.

Seperti rumah dinas lainnya, pengelolaannya diserahkan pada warga pribumi setempat. Sapto sudah mengurus rumah itu selama sekitar lima tahun ketika keluarga van Deek datang. Sebagai kepala urusan rumah tangga, ia dibantu oleh seorang bawahan dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya. Ia memastikan kondisi rumah terawat dan tertata dengan baik. Begitu pula dengan penghuni rumah, mesti terpenuhi dan terlayani semua kebutuhan dan keperluannya.

Sapto Aji, biasa dipanggil Sapto, adalah keturunan Jawa asli. Karena kehidupan yang susah di kampungnya, ia memutuskan untuk merantau di usia 17 tahun. Di masa awal, ia bekerja di perkebunan milik pemerintah Hindia. Beberapa kali ia pindah-pindah perkebunan dalam kurun waktu lima tahun.

Karena penguasaan bahasa Belanda-nya yang lumayan, suatu ketika ia ditawari ke Batavia. Tanpa banyak pertimbangan, ia langsung menerima kesempatan emas itu lalu hijrah ke ibukota. Disana ia bekerja di salah satu kantor pemerintahan. Ia juga pernah bekerja di pelabuhan dan kereta api sebelum akhirnya mengurus rumah dinas seperti yang ia lakukan sekarang.

Meski Sapto masih mampu dan kuat melakukan pekerjaannya, ia terkadang mengajak Gani, putera keduanya yang masih remaja, untuk membantunya. Tujuannya tidak hanya mengisi waktu luang Gani tapi juga berbagi pengalaman dengan sang anak. Menurut Sapto, tidak banyak orang yang melakoni pekerjaan seperti dia di masa itu. Sehingga tak salah kiranya jika Gani melihat langsung seperti apa pekerjaan bapaknya.

Abduli Gani alias Gani, lahir, besar, dan tinggal di Batavia. Membuat dirinya lebih kental "unsur" Betawi-nya dibanding Jawa. Meski begitu, ia cukup mengenal budaya dan bahasa Jawa dari sang bapak. Ia sekeluarga pernah berkunjung ke kampung halaman Bapak di Jawa meskipun hanya sekali.

Perawakannya seperti pria pada umumnya waktu itu. Wajahnya lebih mirip ibunya tapi pembawaannya lebih mirip bapaknya. Badannya cukup kekar karena sering membawa dan mengangkat bak-bak besar yang berisi ikan-ikan dari empang keluarganya untuk dijual ke pasar. Sebagai keturunan Betawi dari jalur ibu, ia diajarkan seni bela diri pencak silat. Selain sebagai olahraga juga untuk melestarikan budaya leluhurnya.

Sebagai selingan dari rutinitas hariannya, Gani dengan senang hati melakukan berbagai pekerjaan yang diminta dan dicontohkan Bapak di rumah dinas itu. Banyak hal yang ia pelajari dari Bapak. Walau sepintas tampak ringan, pekerjaan Bapak tidaklah semudah kelihatannya. Lima tahun bertugas di rumah itu, Bapak mulai agak jenuh tapi ia berusaha tetap membetahkan diri. 

Namun apa yang Bapak lakukan sebenarnya sensitif dan membuat berang sebagian orang terutama sesama pribumi asli. Hubungan, kedekatan, dan pengabdiannya pada kaum kolonialis Belanda membuatnya dituduh sebagai antek penjajah, pengkhianat, pengecut, dll. Namun ia bergeming dengan berbagai hujatan itu seraya berdalih apa yang ia lakukan hanyalah sebatas profesi semata. Yang terpenting baginya, ia tetap seorang pribumi yang nasionalis dan anti penjajahan.

Di rumahnya sendiri, Gani sibuk membantu Emak mengurus empang yang menernakkan berbagai ikan air tawar seperti ikan mas, lele, nila, dan bawal. Meski punya pegawai, Emak sudah melibatkan Gani sejak kecil. Baginya, sebuah usaha keluarga kalau bukan anggota keluarganya sendiri yang meneruskan, lantas siapa lagi. Namun ia tidak memaksa Gani jika nanti ia memilih bekerja di bidang lain.

Gani memperoleh pendidikan agama yang kuat dari kedua orangtuanya terutama dari sang ibu. Keluarga besar Emak dikenal sebagai keluarga Betawi yang religius. Kedua orangtua dan empat saudara Emak yang lain termasuk Emak sudah menunaikan ibadah haji. Tak heran, dari kecil Gani sudah diperintahkan agar selalu sholat fardhu lima waktu dan puasa bulan ramadhan. Selain itu, ia juga disuruh mengaji dan belajar agama di madrasah setiap sore.

Tak hanya Gani yang begitu tapi juga abangnya, Effendi. Berusia lima tahun lebih tua dari Gani, Fendi sudah mondok di pesantren sejak kecil. Si abang yang sudah menikah, kini mengajar di pesantren tempatnya dulu ia menimba ilmu. Ia tinggal di keluarga istrinya yang berada tak jauh dari kediaman orangtuanya.

 

.......

 

Sabtu menjelang siang itu tidak akan pernah dilupakan Gani. Ia hadir saat keluarga van Deek menempati rumah dinas itu. Mereka disambut hormat dan hangat oleh Bapak sebagai kepala urusan rumah tangga dengan berbahasa Belanda. Bapak bisa bicara bahasa Belanda karena dulu ia pernah bekerja di perkebunan dan kantor milik pemerintah Hindia Belanda.

Setelah memperkenalkan diri dan anggota lainnya termasuk juga Gani, Bapak lalu melanjutkan ceremony yang biasa ditujukan kepada penghuni rumah yang baru. Peter van Deek didampingi istrinya, Natasha beserta tiga anak perempuannya yakni Julia, Clara, dan Adeline, diajak meninjau bagian dalam dan sekeliling rumah. Banyak pertanyaan yang Peter ajukan dalam tour singkat itu. Mereka tampak senang walau agak lelah setelah menempuh perjalanan dari Bogor.

Gani berusia 18 tahun saat bertemu keluarga van Deek untuk pertama kali. Meski sejak kecil ia sudah akrab dengan pemandangan orang-orang Belanda dan Eropa yang lalu-lalang di jalanan atau lingkungan sekitar tempat tinggalnya tapi ia belum pernah berinteraksi secara langsung dan dekat khususnya dengan perempuan Belanda sampai dengan hari itu. Baginya itu suatu hal yang mengesankan.

Sesaat setelah diperkenalkan ke keluarga van Deek, Gani sempat tertegun sesaat tak percaya pada yang barusan ia temui. Meski perjumpaan itu hanya berlangsung sekejap, ia seperti merasakan gejolak dalam dirinya. Ia tidak tahu apa yang terjadi dan juga tidak mengerti apa yang ia rasakan. Tiba-tiba saja jantungnya berdebar dan berdetak kencang. Perasaannya seperti meluap dan membumbung tinggi. Suatu kondisi yang belum pernah ia alami sebelumnya.

Gani segera tersadar saat dipanggil untuk membantu membawakan peti-peti koper dan barang-barang milik keluarga van Deek ke dalam rumah. Ia lekas melakukan apa yang diminta sambil terus mengamati dari kejauhan apa yang sedang berlangsung di dalam dan luar rumah. Sejak tadi, pusat perhatiannya tertuju pada putri pertama si tuan rumah, Julia van Deek. Dialah yang membuat hati Gani berkecamuk hebat nan dahsyat.

Bagai terkena mantra sihir, ia begitu terpana oleh pesona yang dipancarkan Julia. Saat itu usianya baru 14 tahun. Di mata Gani, ia belum pernah melihat perempuan seperti Julia. Muda, cantik, putih bersih, begitu rupawan. Perawakannya tinggi semampai, langsing, proporsional, betapa menawan. Bola matanya hijau terang, berhidung mancung, berlesung pipit, berambut pirang bergelombang panjang tergerai, sungguh indah dipandang.

Sejak hari itu tumbuh rasa sukanya pada Julia. Namun di saat bersamaan, Gani buru-buru menyadari siapa dirinya. Bagaimana mungkin ia bisa mendekati apalagi menyatakan perasaannya pada Julia? Perbedaan kelas sosial, budaya, bangsa, dan agama jelas menjadi penghalang terbesar baginya dalam menjalin hubungan dengan Julia.

Sejak saat itu, ia hanya memendam perasaan itu dalam-dalam. Akan tetapi, Gani tidak terlalu mempersoalkannya. Dalam benaknya yang ia pikirkan hanyalah bagaimana caranya agar ia bisa melayani majikannya itu dengan sebaik mungkin. Dengan cara itu ia akan selalu dekat dan secara tak langsung mengobati perasaan terdalamnya pada Julia.

 

.......

 

Suatu ketika, Gani bicara ke Bapak. Ia menyatakan bahwa ia berinisiatif mengajukan diri untuk mengantar jemput anak van Deek yang bersekolah. Ia tampak bersemangat ingin melakukan hal itu dengan alasan kepengin mencoba hal baru dan mendapat pengalaman. Bapak cukup terkejut dengan keinginan Gani itu namun menyambut baik.

Bagi Bapak, tidak ada masalah dengan kemauan Gani itu tapi harus minta izin dulu ke Amir. Karena itu tugasnya sebagai penjaga rumah sekaligus kusir keluarga. Amir yang keturunan Madura, sudah bekerja di rumah itu selama tiga tahun. Bapak khawatir nanti disangka mau merebut pekerjaan Amir. Setelah disampaikan, Amir memahami dan tidak menolak maksud itu. Ia malah senang karena merasa tugasnya jadi lebih ringan. Ia juga dengan senang hati mengajari Gani perihal di seputar delman dan kusir.

Kini Gani punya rutinitas baru setiap hari selain mengurus empang di rumah. Dengan menggunakan delman yang dilengkapi dengan kabin, ia mengantar jemput Julia dan Carla. Si bungsu, Adeline baru berusia empat tahun, belum bersekolah. Julia duduk di bangku HBS tahun kedua atau setingkat kelas dua SMP. Sementara Carla yang usianya delapan tahun adalah siswa ELS tahun ketiga atau setingkat SD kelas tiga. Keduanya bersekolah di satu lingkungan sekolah yang sama.

Awalnya Julia menjaga jarak dengan Gani semata-mata karena merasa asing dan belum kenal. Jadi bukan karena faktor lain seperti sentimen ras, suku, bangsa, dan agama. Sejak kecil, Julia diajarkan moeder-nya agar tidak merasa sombong karena berdarah Belanda dan juga tidak merendahkan penduduk pribumi atau minoritas lainnya. Semua orang harus dipandang dan diperlakukan sama dan adil.

Lambat laun, Julia sudah tidak lagi merasa asing dengan Gani. Berusia empat tahun lebih muda, Julia memosisikan Gani sebagai teman bukan sebagai pelayan. Dan ia pun meminta Gani memandang dirinya sebagai teman bukan sebagai majikan. Gani mengiyakan tapi dalam praktiknya tidaklah mudah. Ia tetap saja memanggil Julia dan adik-adiknya "meisje" ketimbang nama. Menurut Gani, itu lebih sebagai sopan santun dalam pergaulan.

Dengan pola relasi semacam itu, terjalinlah persahabatan antar keduanya. Mereka jadi lebih terbuka untuk bertukar pikiran dan berbagi pendapat. Selama perjalanan ke dan dari sekolah, keduanya sering berdialog meskipun ada kendala bahasa. Dengan semakin sering berkomunikasi, semakin banyak hal yang mereka ketahui termasuk didalamnya aspek bahasa. Hal itu banyak membantu keduanya dalam memahami khususnya bahasa masing-masing.

Selain jadwal rutin sekolah, Gani juga ada jadwal lain yaitu mengantar jemput Julia dan Carla yang les musik di akhir pekan. Di kursus yang hanya seminggu sekali itu, Julia mengambil biola sementara Carla lebih memilih piano. Seperti keluarga Belanda lainnya, aktivitas itu lebih ditujukan sebagai rekreasi diluar dari rutinitas harian sekolah. Kebetulan rute ke dan dari tempat les musik itu melewati rumah Gani. Dari situ, Julia jadi tahu dimana rumah Gani berada.

Hari-hari berlalu, keduanya tidak sungkan melakukan kegiatan bersama. Julia terkadang minta Gani melatihnya berkuda. Berbekal apa yang dulu pernah diajarkan Bapak, kini giliran Gani yang mengajari Julia. Mereka berlatih di halaman belakang rumah yang cukup luas dan biasa digunakan untuk acara keluarga. Tak hanya Julia, Carla juga tertarik berkuda namun ia memakai kuda yang lebih kecil mirip poni.

Di halaman belakang rumah terdapat saung yang biasa dipakai anak-anak van Deek berkumpul, belajar, bermain, dan melakukan apa saja. Disana Julia sesekali melatih permainan biolanya disaksikan Gani. Walau tidak terlalu paham musik, Gani mengapresiasi permainan Julia. Bagi Gani, musik itu universal, indah, dan dapat mempengaruhi suasana hati.

Di saung juga keduanya kerap berdiskusi tentang segala sesuatu. Suatu ketika keduanya ngobrol tentang pendidikan. Gani mengakui dirinya tidak sekolah formal seperti yang Julia tempuh tapi ia pernah belajar di madrasah sejak kecil selama enam tahun.

Di madrasah itu, selain belajar agama ia juga diajarkan membaca, menulis, dan berhitung, Dengan kondisi itu, ia cukup beruntung karena di masa itu rakyat pribumi yang bersekolah tak lebih dari 10 persen sedangkan angka buta huruf mencapai 90 persen. Bagi Gani, memiliki kesempatan bersekolah seperti Julia rasanya seperti bermimpi. Ia berandai kapan inlander seperti dirinya bisa mendapat pendidikan seperti nederlander.

Menurut Julia itu bukan mimpi. Ia lalu menyinggung politik etis yang digulirkan pemerintah kerajaan Belanda sejak tahun 1901. Dalam politik balas budi, pendidikan menjadi salah satu aspek yang penting dalam meningkatkan taraf hidup rakyat bumiputera. Caranya dengan membuka pintu seluasnya bagi penduduk bumiputera untuk mengenyam pendidikan di sekolah milik pemerintah Hindia. Jadi, bukan mustahil apa yang dimimpikan Gani itu suatu hari akan jadi nyata.  

Suatu sore, Julia mencari Gani dan mendapatinya sedang sholat ashar di ruangan tempat kerja bapaknya. Julia bercerita sejak kecil, ia sudah akrab dengan suasana Islam di sekitar tempatnya tinggal sejak berada di Hindia. Ia kerap mendengar suara adzan, melihat orang yang pergi ke masjid, dan perayaan agama seperti lebaran. Tak heran karena mayoritas penduduk Hindia beragama Islam.

Julia berpendapat, "Agama adalah urusan pribadi. Praktiknya di wilayah privat. Kepercayaan atau keyakinan terhadap Tuhan letaknya di dalam hati. Beragama atau tidak merupakan hak pribadi setiap orang tanpa ada paksaan atau intervensi agama. Konsekuensinya, dalam urusan dunia(wi) manusia bebas mengatur hidupnya sendiri tanpa peran atau aturan agama."

Sementara, Gani merespons, "Agama bukan hanya urusan pribadi tapi juga publik. Tidak hanya mengatur masalah individu tapi juga interaksi antar individu baik seagama maupun beda agama. Praktiknya tak hanya di ranah privat tapi juga publik. Seorang muslim terikat pada aturan agamanya semata-mata demi kebaikan dan kemaslahatan dirinya baik di dunia maupun akhirat."

Menyikapi perbedaan itu, keduanya hanya tersenyum. Siratkan penghargaan terhadap pendapat masing-masing. Meski memiliki latar belakang dan sudut pandang yang jauh berbeda, terkadang mereka menemukan kesamaan pandangan. Misalnya dalam persoalan besar dan sensitif bagi keduanya saat itu yaitu penjajahan dan nasionalisme. Gani yang pribumi asli, tak menyangka pendapat Julia yang notabene seorang Belanda tulen dalam masalah itu.

Julia berpendapat penjajahan yang dilakukan negaranya pada nusantara cepat atau lambat suatu saat akan berakhir. Secara universal, penjajahan tidaklah dibenarkan, tertolak, dan bertentangan dengan hak asasi manusia. Di sisi lain perjuangan untuk membebaskan diri dari belenggu penjajahan sekaligus meraih kemerdekaan, dengan sendirinya akan terpatri dalam benak para nasionalis sejati.

Seperti halnya yang dilakukan rakyat bumiputera saat ini. Mereka yang sadar, terbakar, dan berkobar semangat juangnya, pasti akan berjuang dengan segenap jiwa dan raga demi meraih kemerdekaan negerinya baik dengan perjuangan senjata maupun non senjata. Ia yakin suatu saat nanti kolonialisme dan imperialisme Belanda akan lenyap dari bumi nusantara.

Bertambah kekaguman Gani pada Julia. Tidak hanya sebatas penampilan luarnya saja tapi juga dari dalam dirinya. Meski masih muda, pemikiran Julia tampak melampaui usianya. Baru pertama kali itu ia menemukan nederlander yang pikirannya sangat pro inlander. Namun saat bersamaan pandangan itu sangat riskan dan membahayakan jika diketahui oleh kaum penjajah yang notabene bangsa dan negaranya sendiri.

Andai saja Julia tahu tentang perasaan Gani yang terdalam. Namun Gani sadar dan tidak ingin mengorbankan hubungan persahabatannya yang sudah terjalin baik dengan Julia. Baginya, Julia sangat baik padanya. Meski ia orang pribumi, Julia tidak pernah memandangnya sebelah mata dan tidak juga menganggapnya statusnya lebih rendah darinya.

Ia sangat berterima kasih karena sudah diterima dan dianggap sebagai teman oleh Julia. Itu saja sudah lebih dari cukup baginya. Suatu ungkapan Julia yang membuatnya begitu tersanjung dan akan selalu ia ingat, "Kamu teman laki-laki terbaik yang pernah aku kenal. Aku merasa beruntung bertemu denganmu."

 

..........

 

Di suatu sore Julia berlatih kuda kembali bersama Gani. Setelah hampir enam bulan sejak pertama kali latihan bersama, Julia tampak mulai mahir berkudanya. Semua berlangsung baik-baik saja. Julia terlihat mampu menguasai tunggangannya dengan baik. Merasa aman terkendali, Gani hanya mengamati dari jarak yang tidak terlalu jauh.

Namun entah mengapa kuda jantan hitam itu tiba-tiba saja meringkik sambil mengangkat kaki-kaki depannya tinggi-tinggi berkali-kali. Julia sontak terkejut, tidak mampu menguasai dirinya sendiri lalu akhirnya terpental jatuh dengan posisi tangan kirinya duluan yang mendarat tanah. Setelah menjatuhkan si penunggangnya, kuda itu lari tunggang-langgang.

Menyaksikan kejadian yang mengejutkan itu, Gani segera berlari ke arah Julia. Amir yang juga melihat insiden itu, segera mengejar kuda itu dan dengan susah-payah berhasil menjinakkannya. Bapaknya Gani kebetulan kurang sehat hari itu. Ia pulang lebih cepat setelah mendapat izin dari Mevrouw. Saat peristiwa itu terjadi, ia sudah tidak ada dan tidak mengetahuinya.

Menghampiri Julia dan coba menggerak-gerakkan tubuhnya yang terbujur kaku di tanah, Gani yang panik berteriak, "Meisje, Meisje! Apa anda baik-baik saja?"

Sambil meringis, Julia berucap pelan dan samar, "Tangan kiriku terasa sakit. Sepertinya tidak bisa digerakkan."

"Biarkan aku membawamu masuk dulu. Kuatkan dirimu!" kata Gani lalu menggendongnya masuk ke dalam rumah.

Mevrouw van Deek kaget bukan kepalang. Gani lantas menceritakan apa yang terjadi. Ia lalu menyuruh Gani segera ke rumah sakit untuk menjemput dokter Martin, si dokter keluarga. "Katakan padanya agar segera datang sebab ini darurat," pesannya sambil menyerahkan sepucuk surat.

Tak lama berselang, Peter van Deek yang baru pulang kerja, disambut tidak biasa oleh sang istri. Mendengar penjelasan istrinya, tampak jelas amarah meliputi dirinya. Wajahnya merah merona dan rahangnya mengeras. Peter segera masuk ke kamar Julia, menjenguk dan bicara padanya. Julia lalu berkata ke vader-nya, "Ini bukan salah Gani. Ini murni kecelakaan." Namun sepertinya Peter acuh akan hal itu.

Beberapa saat kemudian, Gani datang bersama sang dokter. Gani langsung dihampiri Peter dan dibentaknya. "Kamu orang telah lakukan apa pada anak saya!" teriaknya.

"Vergeef mej alstublieft, Meneer!" katanya beberapa kali.

Lalu menjelaskan, "Julia berlatih kuda tapi tiba-tiba kudanya menjadi liar. Saya tidak menyangka hal itu. Sungguh saya minta maaf." 

"Cukup sudah! Kamu orang tidak boleh bekerja lagi disini. Saya tidak mau melihat kamu disini lagi. Begrijp je!" bentaknya sambil meninggalkan Gani lalu masuk ke rumah.

Peter kembali ke kamar Julia untuk melihat dokter yang sedang memeriksa Julia. Dokter Martin lalu berkata dengan lirih, "Tangan kirinya patah. Harus digips secepatnya dan dibawa ke rumah sakit."

Peter segera menuju belakang rumah memanggil Amir untuk mengantarnya ke rumah sakit. Sementara itu, setelah diusir Peter, Gani dengan berat hati pulang tanpa sempat pamit ke Julia dan tak tahu bagaimana kondisinya selanjutnya.

Sesampai di rumah, Gani mengabarkan ke Bapak perihal Julia itu. Gani mengaku sangat menyesal dan tidak melakukan yang semestinya. Bapak memahami perasaan Gani yang terpukul itu lalu menenangkannya seraya berkata, "Itu bukan salahmu, Nak. Jangan terlalu menyalahkan dirimu! Nanti Bapak coba bicarakan lagi ke Meneer supaya kamu bisa bekerja kembali."

Namun perkataan Bapak yang akan bicara ke Meneer hanyalah untuk menghibur hati Gani saja. Bapak tahu bahwa tidak mungkin baginya meminta ke Peter agar Gani bekerja kembali. Itu sama saja seperti melawan perintahnya. Sementara, ia hanyalah pelayan alias jongos yang harus tunduk dan patuh pada apapun perintah majikan.

Gani yang belum memahami hal itu, berterima kasih atas maksud Bapak itu. Meski belum terlalu sehat, Bapak tetap ngotot pergi ke rumah van Deek malam itu juga. Gani bermaksud menemaninya namun ditolak. Bapak merasa masih mampu untuk mengayuh sepeda ontelnya sendiri pergi dan pulang.

 

........

 

Kondisi Julia sebenarnya sudah sehat namun lengan kirinya masih digips dan memakai selempang penyangga. Hampir satu minggu setelah peristiwa naas itu, ia belum dibolehkan ke sekolah sampai menunggu tinjauan medis lebih lanjut dari Dokter Martin. Tapi ia berharap bisa kembali bersekolah secepatnya.

Julia baru mengetahui Gani sudah tidak lagi bekerja dari bapaknya Gani. Sapto berkata Meneer melarangnya sejak insiden kecelakaan berkuda itu. Sapto mengatakan pada Julia bahwa Gani sangat menyesal dan minta maaf ke Meneer namun tampaknya permintaan itu tidak digubrisnya. Walau sangat menginginkannya, Gani tidak akan mungkin bekerja kembali. Dari pengakuan Sapto, tersirat pesan secara tak langsung kepada Julia agar bisa menyampaikan perihal Gani itu ke vader-nya.

Seiring usianya, Julia paham dengan watak sang vader. Menurutnya, Vader tipe orang yang sulit mendengar pendapat orang lain jika sudah yakin terhadap sesuatu walaupun hal itu belum tentu benar dalam pandangan orang lain. Itu dapat dilihat dari sikapnya usai menjenguk Julia di hari naas itu. Julia sudah mengatakan bahwa itu bukan salah Gani tapi mengapa Vader memberhentikannya.

Ia lalu menyampaikan perihal Gani itu melalui moeder-nya karena tidak berani mengatakan langsung. Dengan harapan Vader mau mendengarkan masukan itu dan mengubah keputusannya. Setelah ditanyakan, Vader hanya mengatakan bahwa ia merasa belum memerlukan Gani bekerja kembali. Mendengar hal itu, Julia merasa kecewa karena tertutup sudah baginya untuk bertemu Gani kembali.

Setelah harapannya pupus, Julia merasa kesepian dan kehilangan seseorang yang selama ini menemani, mengisi, dan menghidupkan hari-harinya. Baru ia menyadari dan merasakan betapa kehadiran Gani begitu berarti. Ia bertanya-tanya dalam hati apakah Gani merasakan hal yang sama dengan dirinya. Ia tak bisa mengingkari perasaan hatinya. Namun kini ia terpaksa dihadapkan pada kenyataan jika ternyata Gani telah jauh darinya.

 

........

 

Minggu siang itu, kediaman van Deek mendadak dihebohkan oleh kedatangan seorang tamu, Raymond Duverling. Dia adalah sepupu jauh Peter yang sengaja mampir karena kebetulan sedang berada di Batavia. Ia disambut hangat Peter dan istrinya. Peter dan Raymond terakhir bertemu pada saat keduanya masih kecil dan berada di Belanda. Itu sebabnya Peter tidak menyangka akan bertemu kembali dengan Raymond terlebih di negeri orang lain.

Saat masih di Belanda, Raymond berprofesi sebagai seorang seorang buruh pabrik. Terpikat oleh gaji yang besar ditambah postur tubuhnya yang mendukung, ia kemudian memutuskan untuk bergabung dengan tentara kolonial Belanda tahun 1903. Saat diterima jadi tentara, usianya sudah tidak muda lagi, 31 tahun.

Ia pernah berumah tangga tapi bubar di tengah jalan akibat kebiasaan mabuk dan temperamen yang buruk. Ia sudah jenuh dan masa bodoh dengan hidupnya yang monoton dan memuakkan. Ia bertekad lari dari kenyataan hidup tersebut. Itu sebabnya, ia ingin mengembara ke belahan dunia lain tanpa peduli apa yang akan terjadi pada dirinya.

Sampai di Hindia, ia langsung ditugaskan di Aceh. Sebuah wilayah perang yang sangat kuat dan sengit perlawanannya terhadap angkatan perang Belanda sehingga sulit ditaklukkan. Perang Aceh menjadi salah satu perang paling lama dan banyak menyebabkan kerugian baik korban jiwa maupun material di pihak Belanda. Namun akhirnya Perang Aceh dinyatakan berakhir pada 1907. Akan tetapi bagi orang Aceh sendiri, perang tidak pernah berakhir.

Setelah hampir empat tahun berperang di Aceh, Raymond dipanggil ke Batavia untuk memperoleh kenaikan pangkat. Sambil menunggu tugas selanjutnya, ia rehat dan bebas melakukan apapun yang ia suka selama di Batavia. Malam-malamnya dihabiskan dengan mabuk-mabukan dan terkadang berjudi. Untuk memuaskan nafsu birahinya, ia mendatangi rumah bordil yang berada di beberapa sudut kota Batavia. Ia benar-benar ingin memuaskan dirinya sebelum kembali lagi ke medan perang.

Kepada Peter, ia mengatakan, "Aku sangat jijik pada pribumi. Mereka seperti sampah yang harus dienyahkan. Setiap kali aku berperang melawan mereka, darahku terasa mendidih. Aku merasa seperti mesin perang yang haus darah. Aku seperti tak bisa hidup sehari pun tanpa menumpahkan darah para anj**g pribumi." 

Mendengar ungkapan kasar, menghina, dan merendahkan pribumi itu, Peter tidak terlalu heran. Baginya, wajar saja jika Raymond sinis seperti itu tidak lain akibat dari perang yang dialaminya. Saat ditanya Peter tentang tugas selanjutnya, Raymond berencana akan berangkat ke tanah Batak. Setelah Perang Aceh usai, pasukan Belanda ditarik untuk menaklukan wilayah Batak yang juga terkenal gigih perlawanannya.

Di kesempatan itu, Raymond diperkenalkan dengan ketiga anak Peter. Ia sangat terpukau dengan kecantikan anak-anak perempuan itu terutama Julia. Ia menyanjung paras Julia dan tak bisa menutup-nutupinya. Peter menjelaskan baru-baru ini Julia terkena musibah. Itu sebabnya lengan kirinya masih diperban dan disangga. Raymond menyatakan simpatinya yang mendalam dan berharap Julia lekas pulih kembali.

Raymond tak mau melepaskan pandangannya sedikitpun dari Julia. Jiwanya bergejolak. Hasratnya meledak. Tak lama, Julia dan adiknya beralih dari pandangan Raymond. Kepada Peter, Raymond lantas berujar sambil bercanda, "Kamu punya anak-anak perempuan yang sangat cantik, Peter. Andai saja aku muda, aku pasti akan menikahinya." 

Peter yang tidak tahu masa lalu Raymond dan kerusakan jiwanya, mempersilahkan Raymond jika ingin berkunjung kembali kapanpun ia mau mumpung masih di Batavia. Raymond sangat girang mendengarnya. Peter lalu menambahkan asalkan jangan Sabtu depan karena mereka sekeluarga akan menghadiri acara di sekolah Clara. Juga terucap dari mulut Peter, mungkin Julia tidak ikut karena belum terlalu sehat.

Mendengar itu, mendadak Raymond seperti menangkap sebuah ide yang berkelebat dalam benaknya. Ia tersenyum lebar. Setan di dalam dirinya pun ikut bersorak riang gembira. "Itulah waktunya! Aku sungguh tak sabar menantikannya," hati kecilnya bergumam.

 

.........

 

Dua minggu itu Gani dilanda kegalauan memikirkan Julia. Ia begitu ingin berjumpa dengannya walau hanya sesaat saja. Tapi bagaimana caranya. Bapak pasti tidak akan mengizinkannya mendatangi rumah van Deek. Gani mengerti Bapak tidak akan mungkin membangkang perintah Meneer. Merasa tak punya jalan keluar, Gani coba melupakan keinginannya itu walau dengan berat hati untuk sementara waktu.

Ia bertanya ke Bapak tentang kondisi Julia. "Berkat Dokter Martin, kondisinya terus membaik dari hari ke hari. Lengan kirinya sudah tidak terasa sakit lagi tapi masih memakai penyangga lengan. Ia kadang menanyai Bapak tentang kabarmu," ujarnya.

Ia juga bertanya tentang bagaimana dengan rencana Bapak waktu itu terkait dirinya. Sudahkah disampaikan ke Meneer? Bapak meminta maaf karena belum mendapat jawaban atas permintaan itu. Ia minta Gani tetap sabar dan bersemangat juga tetap membantu Emak mengurus empang seperti yang ia lakukan selama ini.

Suatu malam Gani bermimpi aneh tentang Julia dan dirinya. Dalam mimpinya setiap kali ia hendak mendekati Julia, seketika Julia seakan terdorong menjauh dengan sendirinya. Ia coba lagi, begitu lagi. Berulangkali ia mencoba, masih tetap sama. Begitu pula, saat Julia mencoba melangkah ke Gani, giliran Gani yang terdorong menjauh darinya. Ia kembali mencoba, kembali begitu. Berkali-kali ia mencoba, masih sama saja.

Mimpi itu teramat jelas dalam ingatan sadar Gani. Mimpi itu seakan menegaskan kondisi mereka berdua saat itu. Meski sangat menginginkan untuk bersama kembali, kenyataan berkata lain. Namun demikian, Gani tidak patah semangat dan menyerah begitu saja dengan keadaan. Perasaannya pada Julia tak akan sirna. Dengan semangat itu, ia terus berharap suatu saat nanti mereka akan berjumpa kembali.

 

........

 

Sabtu pagi itu, Raymond melancarkan aksinya. Bak seorang sniper, ia mengintai kediaman van Deek dari kejauhan. Seperti yang dikatakan Peter, mereka sekeluarga akan menghadiri sebuah acara di sekolah Carla.

Dari atas kudanya, Raymond memperhatikan apakah keluarga van Deek sudah berangkat atau belum. Ia ingin memastikan rencananya itu berjalan dengan baik karena ia sudah menunggu kesempatan langka itu dan tidak ingin menggagalkannya. Tak lama berselang, sebuah kereta kuda keluar dari pekarangan rumah van Deek. Ia menyambut dengan suka cita karena sebentar lagi niatnya akan tercapai. Lalu ia buru-buru memacu kudanya.

Mengetahui kedatangan Raymond, Sapto menghampiri dan menyapanya. Raymond malah mencemooh Sapto dan berkata dengan kasar, "Saya tidak ada urusan dengan kamu orang. Pergi sana!"

"Tapi Meester, Meneer Peter dan keluarga sedang tidak ada di rumah," sanggahnya. 

"Dasar anj**g kampung! Berani-beraninya kamu orang menghalangi saya. Minggir sana!" makinya sambil mendorong tubuh Sapto dengan keras sehingga membuatnya terjerambab ke belakang. 

Raymond langsung masuk rumah menuju kamar Julia. Ia mendatangi Julia yang sedang sendirian untuk menuntaskan nafsu bejatnya yang sudah dipendamnya sejak pertama kali bertemu. Dengan kondisi lengan yang belum sembuh total, Julia masih melakukan perlawanan. Ia sempat meronta dan menjerit namun Raymond bukanlah tandingan baginya. Julia tak berdaya setelah disekap dan dilumpuhkan Raymond.

Beberapa saat kemudian, Raymond keluar dari rumah lantas buru-buru naik ke kudanya. Sebelum pergi, ia sengaja menghampiri Sapto lalu berkata dengan penuh kebencian dan hinaan.

"Di Aceh, aku telah menghabisi orang-orang sepertimu. Dan sebentar lagi di tanah Batak, aku akan kembali menghabisi orang-orang macam kamu. Yehh!" hardiknya sambil menghela kudanya. 

 

Lihat selengkapnya