Sejak peristiwa penguntitan yang dilakukan Herdi terhadap Martha, suasana dingin dan hampa semakin menyelimuti rumah tangga keduanya. Bagi Herdi semua sudah usai setelah perselingkuhan itu terbongkar. Sebelumnya ia pernah berujar dalam dirinya jika ternyata dugaannya itu keliru, dengan rela hati ia akan mengakui kesalahannya dan kembali rujuk dengan Martha. Namun kenyataannya berbeda. Kini ia kian menjauh dari Martha. Dan sebagai pelampiasannya, ia makin larut pada pekerjaannya.
Senin pagi itu Herdi pergi ngantor lebih cepat dari Martha. Ia tampak terburu-buru bak wartawan yang sedang dikejar deadline. Kepalanya sudah dipenuhi dengan berbagai agenda kerja awal pekan yang siap untuk segera dieksekusi. Baginya pekerjaan itu nomor satu dan utama. Namun badai rumah tangga yang sedang berkecamuk saat ini menjadi pertaruhan konsistensi bagi dirinya terhadap hal tersebut.
Telah mengabdi selama hampir 15 tahun di sebuah perusahaan jasa konstruksi internasional, Herdi dikenal sebagai pegawai yang berdedikasi, profesional, dan workaholic. Berbagai proyek besar dan strategis pernah ia tangani. Berbagai pos di perusahaannya juga pernah ia isi. Saat ini Herdi menempati posisi penting di bidang pengadaan alat dan barang. Beberapa tahun terakhir dirinya juga selalu masuk jajaran direksi perusahaan.
Setelah meeting on progress sebuah proyek selesai ia ikuti, agenda audiensi produk mingguan telah menantinya. Berbagai vendor terlihat sudah siap menawarkan produknya. Satu per satu dari mereka masuk ke ruang kerja Herdi bagaikan mahasiswa yang hendak sidang skripsi. Tampak salah satu dari mereka, seorang lelaki muda seperti tak sabar menunggu gilirannya. Sesekali ia melihat jam tangan dan mengecek hp.
Mengenakan kemeja tangan pendek polos abu-abu, celana panjang hitam, dan sepatu pantofel putih, Diki, usia 23 tahun, adalah fresh graduate dari sebuah universitas swasta ternama. Penampilan fisiknya terlihat normal saja sebagaimana seorang laki-laki umumnya. Tapi bagi yang sudah mengenalnya dengan dekat, pasti mengakui bahwa Diki bukanlah lelaki tulen. Ia agak gemulai orangnya. Teman-teman sekolah dan kuliahnya juga tidak memungkiri hal tersebut.
Diki yang kemayu sejak kecil seakan merasa menemukan jati diri sesungguhnya saat ia merantau untuk kuliah. Dulu saat masih di bangku sekolah, ia merasa terasing dan kerap dijauhi teman-temannya khususnya yang laki-laki. Terkadang ejekan dan cemoohan terpaksa ia terima dengan pasrah. Meninggalkan luka batin yang mendalam serta berdampak pada mental dan psikologisnya di kemudian hari.
Ketika di rantau, ia bertemu dan bergaul dengan banyak orang yang setipe dengannya. Mendapati kondisi yang kondusif seperti itu seolah mimpi jadi nyata. Ia sendiri tidak merasa canggung dan malu lagi menampilkan dirinya yang "lain". Malam-malamnya akrab dengan dugem, clubbing, dan diskotek sebagai cara dalam menyalurkan dan mengekspresikan diri. Saat bersamaan, disorientasi seksual sebagai penyuka sesama jenis kian nyata dan merasuki dirinya.