Kalut

Abe Ruhsam
Chapter #7

Kerisauan Hati Seorang Ibu

Kantor itu menempati bangunan baru gedung dua lantai. Disertai pelataran parkir khusus tamu dan konsumen, dari bagian depan kantor itu kelihatan tidak terlalu luas. Namun orang akan terkecoh jika bergeser ke arah belakang. Di areal belakang yang tersambung dengan bangunan depan itu cukup bikin melongok bagi siapapun yang baru pertama kali melihatnya. Selain luas, arsitektur bangunannya juga menarik dengan konsep ramah lingkungan. Di bangunan yang memanjang ke belakang itu, disanalah seluruh aktivitas karyawan perusahaan dipusatkan.

Bak sipir yang sedang mengawasi semua orang di ruangan itu, jam dinding metalik bulat itu bertengger angker tepat di tengah-tengah atas dinding berwarna krem itu. Di meja kerjanya yang hanya dipisahkan oleh sekat-sekat pembatas berbahan PVC dengan rekan kerjanya yang lain, Diki seolah terhipnotis oleh sang waktu yang terasa enggan berlalu meninggalkan angka tiga pada Jumat sore itu. Demam weekend tampak mulai menjangkiti dirinya.

Sudah hampir setengah tahun Diki bekerja di perusahaan yang sekarang ini. Suasana kerja yang kondusif dan income yang cukup menggiurkan membuatnya betah setidaknya sejauh ini. Dibanding sebelumnya, ia hanya bertahan tiga bulan di tempat kerjanya yang pertama. Setelah itu, beberapa kali ia sempat bekerja freelance untuk event tertentu sambil hunting terus loker idaman.

Di masa akhir kuliah, ia pernah ikut joint venture bersama teman-teman sekampusnya yang lebih dulu lulus. Tapi sayangnya usaha itu tidak berlangsung lama dan terpaksa kandas di tengah jalan. Dari situ ia merasakan betapa susahnya merintis usaha dari nol. Itu sebabnya, ia sangat bersyukur dengan pekerjaannya saat ini.

Ibunya senang dengan Diki yang sekarang karena sudah bekerja dan hidup mandiri. Bagi Diki, Ibu adalah sosok yang sangat berjasa dalam hidupnya. Pasca sang bapak meninggal karena serangan jantung, Ibu lah yang menggantikan dan meneruskan usaha dagang beras yang sudah belasan tahun digeluti Bapak. Sebagai single parent, Ibu berjibaku mencari nafkah sekaligus membesarkan kedua anaknya. Image Ibu itu tertanam begitu kuat dalam diri Diki sejak kecil.

Saat Bapak pergi untuk selamanya, Diki berumur 10 tahun dan adik perempuannya, Dinda, baru empat tahun. Ibu yang berdagang terpaksa meninggalkan keduanya sendirian di rumah. Merasa tidak punya pilihan, Ibu mempercayakan Diki untuk menjaga dan mengurus adiknya selama ia bekerja. Diki yang belum terlalu ngerti, dengan sukarela menyambut baik permintaan ibunya itu.

Sambil meyakinkan Diki, Ibu berkata, "Kakak, kalau nanti Kakek sama Nenek sudah pulang, Kakak yang gantiin jaga Adik, ya?"

"Emang, Ibu mau kemana?" tanya Diki heran.

"Ibu nanti kerja kayak Bapak dulu," ucapnya murung terkenang sang suami.

"Iya, Bu. Diki siap," jawabnya mantap seolah memahami perasaan Ibu.

Di waktu lain, Ibu suka memberi petunjuk dan arahan ke Diki tentang bagimana mengurus keperluan si Adik. "Kakak, kalau nanti Adik nangis, coba periksa popoknya. Kalau udah bau dan kotor, diganti ya. Masih inget gak caranya?" tanya Ibu memancing. "Nih lihat, Ibu contohin lagi," imbuhnya.

Sambil memeragakan langsung ke Dinda lalu ia berkata, "Gampang kan? Coba sekarang Kakak!" serunya.

Diki merasa excited dengan hal itu. Beberapa saat kemudian, "Bisa, Bu! Kakak bisa!" teriaknya senang bukan kepalang.

"Pinter anak Ibu!" ujarnya sambil mengusap kepala Diki.

Ibu biasanya berangkat ke toko pada siang hari selesai nyuapin Dinda dan setelah Diki pulang sekolah. Sore waktunya Diki berdinas. Tidak menganggapnya beban, ia mengasuh dan bermain bersama adiknya dengan riang gembira. Ia sudah terbiasa mengganti popok, menyuapi makan, dan memberi minum sang adik. Tugasnya selesai saat Ibu pulang sekitar jam 5-an setelah toko tutup.

Lihat selengkapnya