Kalut

Abe Ruhsam
Chapter #8

Yang Tercampakkan

Di dinding kamar itu, tergantung beberapa buah foto yang tersusun secara diagonal. Paling atas, ada foto seorang gadis kecil tersenyum sambil memegang piala dan piagam penghargaan dalam sebuah kontes peragaan busana adat. Di bawahnya, terdapat foto seorang anak perempuan yang berseragam pramuka lengkap dalam suatu kegiatan perkemahan. Satunya lagi berupa foto liburan sebuah keluarga di pantai.

Melihat foto-foto itu sekilas, siapa pun akan beranggapan anak perempuan di foto itu adalah anak yang aktif, cerdas, dan berprestasi. Si anak yang tak lain Erika, juga dikenal sebagai anak yang lincah dan energik. Saat SD, ia ikut ekstra kurikuler pramuka. Selain itu, ia juga berminat pada badminton. Dalam perkembangannya kemudian, pramuka lebih ia tekuni daripada badminton.

Kegemaran olahraga saat SD ini ternyata tak padam. Waktu SMP, ia memilih basket sebagai ekskul. Ia merasa cocok dan mulai serius berlatih. Hasilnya cukup mengejutkan. Orangtuanya bahkan tidak menyangka jika ternyata Erika berbakat dalam basket. Beberapa kali ia pernah mewakili sekolahnya dalam pertandingan basket antar sekolah.

Hal itu terus berlanjut hingga SMA. Bahkan tim basket SMA-nya pernah meraih peringkat kedua di suatu turnamen. Sebuah prestasi yang sangat membanggakan bagi sekolah maupun keluarga. Tak heran, di sisi dinding lain di kamarnya terpajang foto dirinya bersama tim basket sekolahnya dalam suatu kejuaraan beserta kalung medali juara yang digantung di bingkai foto bagian luar.

Tak hanya sampai disitu, kegemarannya pada basket ini berhasil mengantarkannya masuk perguruan tinggi negeri lewat jalur bakat dan prestasi. Sebuah pencapaian yang mengagumkan. Saat ini, ia sedang menempuh perkuliahan pada program studi Sastra Jepang dan berada di semester empat. Kedua orangtuanya sangat bangga dengan hal tersebut.

Selain olahraga, Erika punya hobi baca terutama komik. Sudah berkaca mata sejak kelas tiga SD, koleksi buku, majalah, dan komik miliknya cukup banyak dimana sebagian besar berupa manga. Tak hanya baca, ia juga tertarik menggambar kartun dan animasi. Pernah ikut les menggambar tapi ia merasa bakatnya bukan disitu.

Orangtuanya sangat memperhatikan pendidikan Erika sejak kecil. Ini bisa dilihat dari sekolah yang mereka pilih yaitu sekolah bilingual bertaraf internasional. Atas nama masa depan sang anak, biaya fantastis bukan masalah bagi mereka. Ada semacam kepuasan dalam diri orangtua yang menyekolahkan anaknya di sekolah elit. Tak hanya gengsi didapat, tapi juga status sosial jadi meningkat.

Tak dipungkiri pengaruh pendidikan begitu besar dalam kehidupan seseorang anak. Pendidikan komersial seringkali terjebak dalam dikotomi aspek kognitif dan intelektual di satu sisi serta aspek spiritual dan emosional di sisi lain. Berupaya menyeimbangkan keduanya, dalam praktiknya yang sering tampak di permukaan adalah dominasi IQ lebih besar dibanding SQ atau EQ.

Dalam pendidikan komersial, prestasi akademik diporsir sedemikian rupa sementara pembentukan karakter dan kepribadian tidak terlalu dihiraukan atau diserahkan urusannya ke masing-masing anak karena dianggap ranah pribadi. Akibatnya, anak mungkin pintar secara akademis tapi jiwa dan mentalnya labil atau kurang matang. Pada gilirannya akan memberikan celah bagi munculnya masalah pada si anak di kemudian hari.

Selain pendidikan, peranan orangtua sangat penting dalam kehidupan sang anak. Orangtua dengan akses dana yang tak terbatas, sulit lepas dari jebakan money oriented. Apapun bisa diselesaikan dengan uang termasuk pendidikan. Biaya sekolah yang tak masuk akal tak jadi soal bagi mereka. Fenomena ini tampak nyata dalam realitas kehidupan saat ini.

Saat bersamaan, pola pikir transaksional menjalar bebas. Ingin anak pintar dan cerdas, jawabannya tentu saja sekolah elit. Seperti halnya beli barang kalau mau bagus dan berkualitas, tentu saja harganya tidak murah. Bagi mereka, pendidikan terbaik adalah yang mahal.

Pemikiran seperti ini bukan tidak berisiko. Merasa sudah menggelontorkan dana yang besar, si orangtua tentu tak mau rugi dan dengan segenap hati menyerahkan sepenuhnya pendidikan sang anak ke sekolah. Sebagai gantinya, sekarang giliran sekolah yang memberikan hasil dan bukti konkret kepada orangtua.

Pada titik ini hubungan yang terbangun terlihat sinergis dan saling menguntungkan. Namun kondisi yang tampak ideal itu sesungguhnya karena dilandasi oleh faktor uang. Cara pandang materialistis seperti ini pada dasarnya telah mereduksi hakikat pendidikan yang sesungguhnya. Tidak sedikit masalah yang muncul akibat paradigma sempit ini.

Dalam pendidikan berwatak materialistis, martabat guru tanpa disadari tercederai. Guru kerap hanya dipandang sebagai sebatas pengajar bukan pendidik. Guru digaji seolah hanya sebatas pemberi kepuasan jasa semata kepada murid. Ukuran keberhasilan guru hanya dilihat dari nilai atau prestasi akademis murid.

Selain itu, guru terkadang tidak leluasa atau segan saat hendak menegur murid yang berulah atau bandel. Karena muncul kekhawatiran terhadap kepentingannya, menempatkan guru pada pilihan yang serba salah. Menyebabkannya tidak dapat berbuat banyak. Kemudian menganggapnya sebagai tugas atau tanggung jawab dari guru konseling semata.

Dalam pendidikan bertabiat materialistis, orangtua seringkali merasa cukup dan puas hanya dengan didikan yang diterima anak dari sekolah. Lalu berlepas diri dan menganggap tugas mereka sebagai orangtua sudah selesai karena telah membayar biaya pendidikan yang mahal. Bahkan muncul perilaku otoriter untuk menekan atau memaksa anak agar menuruti keinginan orangtua secara sepihak, tertutup, dan koersif.

Pendidikan hakiki adalah yang memanusiakan manusia. Pendidikan seutuhnya tak hanya membuat anak pintar secara akademis tapi juga berbudi baik, luhur, dan terpuji. Pendidikan idealnya sinergi antara sekolah dan keluarga yang saling mendukung dan menguatkan. Keduanya berperan penting dalam keberhasilan pendidikan dan kehidupan seorang anak di masa depan.

Guru sebagai wakil orangtua di sekolah tidak hanya melakukan transfer ilmu pengetahuan tapi juga kloning kepribadian. Guru adalah contoh dan teladan bagi anak ketika di sekolah baik dalam hal ilmu maupun perilaku. Bagi guru, ini jelas tugas yang tidak main-main karena amanah yang diemban tidaklah ringan. Sehingga wajar kiranya jika si anak kemudian berhasil, pantaslah guru disebut sebagai pahlawan tanpa tanda jasa.

Begitu pula orangtua. Sebagai orangtua sesungguhnya di rumah, harus mampu jadi role model bagi anak. Tidak hanya mengandalkan guru di sekolah, orangtua juga semestinya mendidik dan mengajari anaknya sendiri. Meneladankan dan memeraktikkan nilai-nilai moral dan spiritual ke anak dalam kehidupan sehari-hari. Melakukan dialog, interaksi, dan komunikasi dengan anak. Sehingga diharapkan tercipta kedekatan atau ikatan lahir maupun batin antara orangtua dan anak.

Pendidikan yang berat sebelah dan kelengahan orangtua dituding sedikit banyak memiliki andil terhadap kondisi Erika yang sekarang. Begitu pelik masalah yang merundungnya, membuat pikiran dan perasaannya sangat terguncang. Pada titik ini hampir-hampir ia tak sanggup lagi menyembunyikan apa yang sedang menderanya. Namun ia terus berusaha menguatkan dirinya. Sampai suatu saat, ini semua tidak mungkin bisa ditutupi lagi.

Di usia kandungannya yang sudah dua bulan lebih, perlahan tapi pasti perubahan biologis, hormonal, dan psikologis berlangsung dalam dirinya. Beruntung hobi berolahraga selama ini dilakukan sedikit membantu dalam menyamarkan perutnya yang tampak mulai bumping. Namun agak sulit menutupi gejala mual dan muntah yang muncul walaupun jarang ia rasakan.

Setelah pertemuan terakhirnya dengan Tomi, Erika kian hanyut dalam kesedihan yang mendalam. Mengharap ada sedikit titik terang, namun hanya kegelapan meliputinya. Seakan membentur tembok tebal dan tinggi, ia terpaksa menghadapi ini semua seorang diri karena dirinya maupun Tomi ngotot pada pendiriannya masing-masing. 

Pada awalnya, kehadiran Tomi dalam hidup Erika seperti mentari yang terbit di ufuk pagi. Hadirnya warnai hidup dan kehidupan pada lembaran hari yang baru. Tomi cinta pertama Erika dan berharap yang terakhir. Ia mengisi sekelumit ruang yang tak terjamah dalam diri Erika. Ia melengkapi apa yang belum Erika miliki.

Sebagai belahan hati dan belaian jiwa, Tomi memberikan buktinya pada Erika dalam banyak hal. Misalnya diluar jam sekolah, ia memastikan hadir dalam setiap pertandingan basket yang diikuti Erika untuk memberikan dukungan dan semangat bagi sang kekasih. Di kesempatan lain, di masa awal Erika kuliah, Tomi dengan setia menemani Erika hunting berbagai keperluan untuk kegiatan masa orientasi kampus bagi mahasiswa baru.

Sedari awal kenal Erika, Tomi sudah terobsesi dengan motor dan ngebut. Saat ditanya Erika, Tomi sendiri tidak tahu persis kenapa bisa begitu. Mungkin karena waktu kecil ia suka mainan motor dan suka main games balap jadi terbawa hingga sekarang. Tapi kalau ditanya, ia tidak ingin bercita-cita jadi pembalap. Balap hanya hobi saja. Dengan nada bercanda tapi serius ia berkata cita-citanya adalah menikah dengan Erika. Meski bercanda, tetap saja hal itu membuat Erika tersipu malu.

Salah satu momen yang paling Erika ingat saat ia diajak Tomi menghadiri sebuah acara meet and greet pembalap MotoGP. Kebetulan para riders tour beberapa kota di Indonesia dalam rangka promosi sebuah brand motor ternama. Tidak hanya berfoto, Tomi juga berhasil mendapat tanda tangan sang pembalap di helm dan topinya. Sekarang helm itu dipakainya kemana-mana. Sementara topinya diberikan kepada Erika.

Meski hanya dua tahun kebersamaannya dengan Tomi, banyak kenangan indah yang Erika rasakan. Begitu besar keinginan Erika untuk kembali berdua dan bersama Tomi seperti waktu dulu. Namun kini semua itu sepertinya harus berakhir. 

Sebenarnya ia masih berharap pada Tomi walaupun Tomi sudah menghindar jauh darinya. Coba memberanikan diri, Erika kembali mengontak Tomi dengan harapan ia sudah agak tenang dan mau diajak bicara. Namun usahanya itu tak membuahkan hasil karena nomor kontak Tomi tidak dapat dihubungi lagi.

Kini Erika semakin larut mengurung diri di kamarnya. Kondisinya mirip saat ia masih kecil dimana ia menghabiskan waktu weekend-nya dengan seharian membaca komik kesukaannya di kamar. Terlintas kenangan indah di masa kecilnya. Tiap kali jalan-jalan sama Mama dan Papa, ia pasti minta mampir ke toko buku. Ini seperti agenda wajib bagi Erika. Keduanya memahami keinginan anaknya itu dan senang dengan kebiasaan tersebut.

Ingin rasanya ia mengadu ke sang Mama tapi ia begitu takut dengan responsnya. Ingatannya melayang ke masa kecilnya saat Mama mengajari naik sepeda. Saat ia terjatuh, Mama dengan sigap segera membantu, menenangkan, dan menyemangati.

Di sela kesibukannya, Mama selalu menyempatkan diri hadir di setiap pertandingan basket yang diikuti Erika saat SMP juga SMA. Ia rindu dengan semua momen tersebut. Saat-saat dimana ia memerlukan dukungan atau motivasi, Mama selalu hadir untuknya di waktu yang tepat.

Berbeda dengan Papa. Menurut Erika, meski kurang dekat secara personal, Papa punya cara sendiri dalam memberi perhatian padanya. Papa selalu ingat ulang tahun Erika. Di setiap ultahnya, Papa suka memberinya hadiah. Terkadang ia mengajak makan, nonton, jalan-jalan, dll. Namun bagi Erika, apa yang diperbuat Papa terkesan formalitas belaka. Menganggap dirinya seperti agenda kantor yang diberi tanda check list jika sudah selesai.

Sebagai seorang pejabat, kadang weekend pun Papa jarang di rumah. Tak heran interaksi dan komunikasi dengannya merupakan kesempatan langka. Meski begitu, Papa tetap peduli padanya. Tak segan ia menunjukkan dukungan dan apresiasi atas setiap hal positif yang dikerjakan atau diraih Erika.

Lihat selengkapnya