Roy Arifin seorang birokrat sejati. Ia meniti karirnya dari bawah. Berbagai daerah pernah ia singgahi. Berbagai pos pernah ia tempati sebelum akhirnya ia dipercaya mengisi posisi strategis di salah satu dirjen kementerian negara pada saat ini. Ia pernah masuk kepengurusan sebagai dewan pembina sebuah cabang olahraga pelatnas. Ia juga pernah ditunjuk sebagai tim ahli dalam penyusunan sebuah RUU oleh Istana. Semua itu melengkapi kiprahnya sebagai aparatur negara dengan segudang portofolio.
Berpostur tinggi rata-rata, sedikit gempal, dan berkulit sawo matang cerah dengan ciri khas berkumis tipis, berkaca mata, dan bertahi lalat di pipi kiri. Dengan logat Sunda yang cukup kental, gaya bicaranya simpel, tegas, berwibawa, instruktif, dan solutif. Khas seorang birokrat. Pembawaannya tenang, murah senyum, humoris tapi tetap serius. Beberapa orang yang mengenal baik dirinya pasti mengakui Roy seorang pribadi yang ramah dan senang diajak ngobrol.
Malam itu, Roy sedang menerima telepon di ruang kerjanya. Sambil memutar-mutar kursinya, ia tampak serius menyimak dan menanggapi pernyataan lawan bicaranya. Si pria di ujung telepon terdengar seperti sedang menerangkan sesuatu untuk meyakinkan Roy. Di akhir obrolan, pria itu mengatakan, "Sampai jumpa besok, Pak Roy! Selamat malam!"
Danu Erlino seorang sosok yang ideal. Muda, tampan, kaya, sukses, terkenal, dan terpandang adalah hal-hal yang biasa disematkan padanya. Singkatnya ia punya segalanya. Saat ini ia menjabat sebagai politisi senayan untuk masa bakti yang kedua kali. Ia memulai kiprahnya sebagai anggota dewan pada usia yang relatif muda, 24 tahun.
Berpolitik bukan hal asing baginya. Sang ayah, Erlino Suparman, juga seorang politisi yang pernah menjadi anggota legislatif daerah. Kemudian ia diusung partai pendukungnya dan memenangkan pilkada dua periode berturut-turut di kampung halamannya di Jawa. Faktor ayah ini berpengaruh besar dalam kehidupan Danu di kemudian hari meski sang ayah sudah pensiun sekalipun.
Melajunya Danu ke Senayan, ditengarai banyak pihak tidak lepas dari peran sang ayah di belakangnya secara langsung atau tak langsung. Saat pemilihan legislatif digelar, Danu yang notabene pendatang baru dan termuda di daerah pemilihannya, mampu mengungguli beberapa calon lain yang jelas-jelas lebih senior dan berada di atas angin.
Tak heran kemudian muncul tuduhan dan tudingan kecurangan money politics saat Danu dinyatakan menang. Menanggapi itu, Danu yang terpilih dengan santai berkomentar, "Dalam alam demokrasi apapun bisa terjadi. Mari kita jaga dan rawat demokrasi agar terus tumbuh dan berkembang di negeri kita tercinta ini." Benar-benar ungkapan yang khas dan berkelas bak politisi kawakan yang sudah malang melintang di dunia perpolitikan.
Sebelum berpolitik, Danu sudah bergelut di bidang pertambangan dan energi. Ia mendirikan perusahaan di bidang tersebut dan menjadi direktur utamanya. Meski begitu, ia menolak jika bisnis yang ia bangun dan rintis dari nol itu, memanfaatkan fasilitas dari ayahnya.
Menurutnya, bisnis yang ia jalani merupakan usaha dan kerja kerasnya sendiri bukan pemberian cuma-cuma sang ayah. Ia juga membantah jika akses yang didapatnya ke pemerintah, mendompleng nama besar sang ayah. Ia menegaskan tidak ada kaitannya semua itu dengan ayahnya walaupun sebenarnya publik tahu hal itu lebih sebagai basa-basi politik semata.
Sebagai pengusaha, ia banyak kenal dan menjalin hubungan dengan kalangan pejabat dan pemerintah. Dari pengalaman dan kedekatan itu, ia jadi paham bagaimana tabiat dan karakter para aparatur negara. Baginya, pengusa dan pengusaha seperti dua sisi mata uang koin yang sama. Keduanya tidak terpisahkan, saling memerlukan, dan melengkapi.
Roy bertemu dengan Danu pertama kali di suatu acara kantor sekitar setahun yang lalu. Setelah itu, beberapa kali keduanya bertemu kembali di kesempatan lain baik yang sifatnya formal atau nonformal. Dari sanalah, keduanya saling mengenal. Ditambah lagi, kedua anak mereka kebetulan bersekolah di satu sekolah yang sama. Semakin lengkaplah pertemanan antar keduanya.
Saat pertama kali melihat Danu, Roy langsung tahu karena wajahnya tidak asing muncul di tv. Juga namanya kerap menghiasi berita baik di media cetak maupun online. Bak selebritas, dimanapun dan kapanpun berada, ia selalu mendapat sorotan dan liputan dari para pemburu berita.
Danu sangat memahami pentingnya media sebagai sarana dalam membentuk opini dan membangun citra diri seseorang. Untuk itu, ia tidak menyia-nyiakan tiap kali kesempatan itu datang padanya. Ia akan berusaha tampil semaksimal mungkin bak seorang aktor dalam sebuah film. Tujuannya agar dirinya dikenal luas oleh khalayak sekaligus mendongkrak popularitas dirinya di panggung politik nasional.
Setelah perbincangan itu, Roy termangu memikirkan apa yang barusan dan dulu pernah Danu sampaikan. Sebenarnya apa yang Roy peroleh sebagai seorang birokrat yang telah mengabdi lebih dari 20 tahun, sudah lebih dari cukup. Kehidupannya secara material dan finasial tak lagi jadi soal. Begitu pula status sosialnya, terpandang dan terhormat.
Sebagai aparatur negara, Roy sangat memahami dan menjunjung tinggi prinsip good goverment and clean governance. Secara konsep, setiap birokrasi pasti memimpikan pemerintahan yang bersih, transparan, berwibawa, dan melayani bukan yang korup, manipulatif, dan minta dilayani. Dalam praktiknya, para birokrat diwanti tidak memanfaatkan kekuasaan dan wewenang yang dimiliki untuk kepentingan pribadi atau kelompok. Roy termasuk ke dalam kriteria abdi negara yang ideal sampai kemudian ia bertemu dengan Danu.
Seiring waktu, tampaknya faktor pertemanannya dengan Danu sangat memengaruhinya. Hal itu yang menyebabkan seolah akalnya mati dan hatinya membeku. Di titik itu, ia tidak menerima atau tidak juga menolak tawaran Danu. Ia begitu diliputi keraguan, tak mampu memutuskan dan menentukan langkah yang semestinya. Sementara besok, ia akan kembali bertemu Danu menindaklanjuti apa yang sudah dibicarakan sebelumnya.