Menjejakkan kaki di pelataran depan gedung tinggi raksasa itu, membuat Diki lega. Tak percuma pengorbanan yang ia tempuh sejauh ini. Mulai dari hunting masker sampai berjibaku naik kereta. Itu semua mewarnai Senin pagi pertama pemberlakuan aturan prokes selama pandemi.
"Semua terbayar. Tinggal selangkah lagi mission completed," ujarnya dalam hati. Belum ingin rasa nyaman itu pergi darinya, barisan orang antre di depan pintu masuk gedung sudah tampak dari kejauhan. Mereka sedang menunggu giliran untuk diukur suhu tubuhnya. Diki yang sudah menyangka hal itu, segera ikut masuk ke barisan. Meski tak selama di stasiun, baginya mengantre tetap saja menjenuhkan.
Tak butuh waktu lama, begitu masuk gedung ia sudah disambut antrean lagi di depan lift. "Oh, tidak! Antre lagi! Semoga ini yang terakhir," keluhnya. Untuk menghindari kerumunan, maka berdasarkan prokes dilakukan pembatasan maksimal lima orang dalam kabin. Di depan pintu lift tampak seorang satpam sibuk mengatur giliran bagi para pengguna lift. Tombol tangan yang selama ini digunakan dimodifikasi menjadi tombol kaki.
Terasa agak janggal, saat pertama kali Diki menginjak tombol kaki menuju ke lantai 21 dimana kantor Herdi berada. Selangkah keluar dari lift, aroma disinfektan tercium menyengat sekalipun pakai masker. Tampak dua orang petugas cleaning service sedang mengepel lantai dengan sesekali menyemprotkan cairan.
Disambut ramah oleh seorang resepsionis, Diki melaporkan kedatangannya. Sambil tersenyum ia memberi slip antrean ke Diki seolah hendak berkata, "Selamat mengantre". Ia baru paham arti senyuman itu setelah ia melihat nomor yang tertera di slip tersebut. "Waduh! Baru jam segini udah nomor 13," ungkapnya sambil geleng-geleng kepala.
Saat masuk ke ruang tunggu kantor, terlihat sudah banyak orang yang menunggu seperti dirinya. Bangku panjang khusus tamu sudah diatur sedemikian rupa supaya diisi selang-seling. Bangku yang dilakban dengan tanda silang berarti tidak boleh ditempati. Ini merupakan prosedur standar penerapan prokes dalam rangka menjaga jarak di tempat umum seperti kantor.
Hampir dua jam berlalu hingga display antrean di atas pintu ruangan yang ia tuju, menunjukkan angka 13. "Baiklah, it's show time. Give your best shoot!" ujar Diki semangati dirinya. Melangkah penuh percaya diri menuju ke ruangan itu, terlebih dahulu ia memakai sanitizer yang disediakan di samping pintu. Beberapa orang sebelumnya juga melakukan hal yang sama.
Walaupun ini kali ketiganya bertemu Herdi, perasaan gugup tetap saja ada. Dengan rasa berdebar, ia masuk ke ruangan itu. Disambut hangat Herdi yang memakai masker dengan salam namaste sebagai pengganti jabat tangan. Masih canggung dengan salam tersebut, Diki membalasnya dengan cara yang sama. Sambil mempersilahkan duduk, Herdi menanyakan kabar Diki dan perjalanannya di pagi itu.
"Lumayan repot, Pak. Cari masker susah, di stasiun jadi antre. Disini pun antre," jawab Diki curhat.
"Sama. Saya juga sempat antre tadi di bawah," kata Herdi.
"Hidup mendadak berubah begini ya gegara pandemi. Tapi tetap semangat, kan?" lanjutnya.
"Tetap, Pak. Harus itu," jawab Diki.
"Tapi saya heran dengan dunia kedokteran dan iptek yang katanya maju dan canggih saat ini. Tidak bisakah diantisipasi virus semacam ini?" sambungnya.
"Sebenarnya sejak muncul SARS 2002 dan MERS 2012, para ilmuwan telah menyadari adanya potensi kemunculan penyakit atau virus berbahaya di masa depan. Tentunya deteksi ke arah situ ada. Tapi kenyataannya wabah tetap terjadi seperti sekarang bahkan virusnya semakin ganas dan mematikan. Itu yang menjadi pertanyaan besar," jelas Herdi.
"Saya juga baca berita, Pak, baru-baru ini. Pada Oktober 2019, sekitar dua bulan sebelum merebaknya virus C19, ada sebuah simulasi skala besar dalam menghadapi pandemi untuk tipe virus corona. Mengambil nama Event 201, acara tersebut mengundang berbagai respons, spekulasi bahkan tuduhan konspirasi di seputarnya. Namun penyelenggara acara itu dan pihak yang terlibat di dalamnya menyangkal hal tersebut dan menganggap itu hanya kebetulan saja," ungkap Diki.
"Betul, saya juga pernah baca itu. Saat ini kita semua tidak hanya bingung dan bertanya-tanya tentang asal-muasal virus itu dan tapi juga paranoid dengan penularannya. Ditambah lagi obat yang belum ada. Vaksin yang belum tahu seberapa ampuh jika nanti sudah tersedia. Tak ada yang tahu kapan pandemi ini berakhir," ungkapnya menerawang.