Bagi Erika, pandemi ini seolah berkah dibalik musibah. Sebelum terjadi pandemi, ia malah bingung memikirkan kelangsungan kuliahnya. Tapi kini ia bersyukur karena bencana ini seperti jadi jalan keluar dari persoalan tersebut. Ia tidak harus repot pergi dan pulang kampus. Dengan kondisi fisik yang semakin terbatas geraknya karena telah berbadan dua, ia masih tetap bisa kuliah dari rumah melalui pembelajaran daring. Setidaknya untuk satu semester ini.
Satu masalah selesai namun masalah besarnya tetap menggantung hingga detik ini. Hal itu yang membuat hatinya masih resah dan gelisah. Beberapa kali ia pernah berniat mengungkapkan rahasia itu ke Mama. Namun dengan segera ia urungkan karena ia sendiri belum siap dengan konsekuensi yang akan dihadapi. Apalagi mengetahui kondisi bisnis roti Mama yang sedang porak-poranda akibat badai pandemi seperti saat ini. Tampaknya niat tersebut tidak akan terwujud.
Diluar sekolah dan kuliah, Erika sibuk menulis blog dengan memanfaatkan platform digital menulis gratis. Hobi itu sudah ia geluti sejak SMP. Baginya, menulis sebuah cara dalam mengekspresikan diri. Tak peduli tulisannya banyak dibaca atau tidak, yang penting menurutnya proses penyaluran minat itu dapat tersampaikan dengan baik.
Ia menulis apa saja yang menurutnya layak ditulis. Terutama tentang dunia anime dan manga yang memang ia gandrungi sejak kecil serta olahraga favoritnya basket. Ia juga suka membuat puisi dan cerpen. Pernah beberapa kali ia menulis tentang isu-isu yang lagi viral dan up to date dari berita yang ia baca atau ikuti. Tentunya dari sudut pandang anak seusianya. Biasanya ia posting satu atau dua tulisan setiap minggu. Tapi kalau lagi mood, bisa lebih banyak dari itu.
Namun, hampir tiga bulan terakhir ini, ia cuma menelurkan sebuah puisi dan sebuah cerpen di akun blog miliknya. Kedua tulisan itu pun tidak jauh-jauh dari pengalaman pribadinya. Puisi yang tidak diberi judul itu syarat dengan curahan hatinya yang terdalam. Berisi tentang pergolakan batinnya yang pilu bak teriris sembilu.
Terhempas dan terdamparku
Di suatu sisi dunia
Suram mencekam
Pilu dalam kesendirian
Begitu sulit diterima
Begitu perih dirasa
Mustahil untuk mengelak
Hanya pasrah saat terjebak
Merenggut yang ku miliki
Mencengkeram ku tanpa henti
Buramkan alam sadarku