Kalut

Abe Ruhsam
Chapter #19

End of The Road

Sinar matahari pagi yang menembus masuk dari balik jendela kamar kosnya perlahan membentuk bayangan siluet di dalam kamarnya. Kosan yang memanjang dua tingkat itu terletak di lokasi yang strategis karena dekat jalan protokol, selangkah ke stasiun, dan nempel dengan kampus. Dengan alasan itu, ia merasa betah dan enggan untuk pindah. Ia sudah menempati kamar yang berukuran 3x3 meter per segi itu sejak awal kuliah.

Dengan malas-malasan, ia bangkit dari tempat tidur lalu mencabut charger hp yang masih dicas. Jam di hp-nya menunjukkan pukul 7:11 di pagi Rabu itu. Sambil menunggu air dispenser hangat, ia membuka jendela kemudian menyiapkan sebungkus kopi untuk diseduh. Menurutnya, tak ada yang lebih nikmat daripada secangkir kopi di pagi hari.

Semerbak aroma kopi nan menggugah selera menghadirkan suasana pagi yang lebih berwarna. Sambil menyeruput kopi ditemani sebatang rokok, matanya menatap tajam apa yang sedang ia baca disertai jarinya yang bergerak-gerak di atas layar hp. Ingar-bingar berita di media online seputar pandemi begitu menyedot perhatian. Tak ketinggalan juga medsos. Semakin menambah haru-biru suasana.

Diberitakan dari media online hampir semua sektor ekonomi terkena dampak negatif pandemi. Ini diakui langsung para pelaku usaha dan bisnis di dalam maupun luar negeri. Beberapa bidang seperti pariwisata, perjalanan, manufaktur, hiburan, dan jasa mengalami dampak yang paling parah dengan kerugian yang sangat besar. Juga banyak UMKM hingga perusahaan besar terancam pailit dan bangkrut. Kondisi ini diperburuk lagi oleh maraknya gelombang PHK masal disusul meningkatnya jumlah pengangguran.

Diki termasuk orang yang realistis dalam melihat bencana pandemi ini. Segala sesuatu mungkin saja terjadi. Pandemi ini bisa berdampak pada siapapun termasuk dirinya. Jika ternyata hal buruk itu memimpin dirinya, ia akan menerima itu walau berat sekalipun. Toh baginya pekerjaan bisa dicari lagi. Semuanya tinggal dijalani saja. Namun dalam kenyataannya tidaklah semudah itu.

Masih terkenang hari-hari terakhir saat ia masih bekerja dengan tenang tanpa ada kekhawatiran kehilangan pekerjaan. Siang itu selepas jam istirahat, ia dan beberapa orang pegawai lain diminta berkumpul di ruang pertemuan tanpa diberi tahu maksud dari agenda pertemuan itu secara jelas. Firasat buruk yang selama ini melanda semakin bertambah kuat. Maklum saja isu PHK yang beredar begitu santer terdengar sejak beberapa hari terakhir.

Sudah menunggu di dalam ruangan, dengan wajah dingin Manager Personalia menyambut kedatangan belasan pegawai yang terpaut hanya lima menit dari waktu yang ditentukan pukul 13:00. Meski berprinsip on time, ia masih menolerir keterlambatan itu. Diki ingat bertemu sang manager untuk pertama kali saat sesi interview setelah melewati rangkaian tes masuk kerja. Orangnya kelihatan galak tapi sebenarnya ramah dan bersahabat.

Namun hari itu sang manager tampak tegang terlihat dari ekspresi dan gerak-geriknya. Bak malaikat maut pencabut nyawa, ia mulai melaksanakan tugasnya. Setelah menyapa hadirin, tanpa banyak basa-basi ia langsung membacakan selembar surat yang sudah disiapkan. 


Lihat selengkapnya