Pagi itu Evi berencana akan menyambangi dua dari empat gerai toko roti miliknya. Ia bermaksud untuk menyampaikan perihal kondisi keuangan kedua toko setelah dua bulan terdampak pandemi kepada seluruh karyawannya. Selain itu, dalam dua bulan ke depan, ia juga akan mengevaluasi omzet dua gerai tersebut. Setelah itu, baru akan diputuskan kelangsungan "hidupnya".
Sambil berdoa dan berharap terjadi wind of change, Evi mulai menyiapkan ancang-ancang menghadapi kemungkinan terburuk yang terjadi. Jika kondisi terus memburuk, tidak ada pilihan lain selain menutup gerai dan merumahkan karyawan. Ini jelas keputusan berat baginya namun dengan sangat terpaksa ditempuh. Meski sempat ditawari dana talangan dari Roy, Evi menolaknya karena ia punya prinsip pantang merepotkan sang Suami selama masih dapat ia atasi sendiri.
Saat dalam perjalanan ke gerai yang dituju, Evi dikagetkan oleh dering bunyi hp-nya. Sebuah nomor asing masuk. Merasa khawatir ketika mengemudi sambil menelpon, ia lantas menepikan mobilnya kemudian menerima panggilan telepon. Suara si perempuan ujung telepon itu terdengar gugup.
"Pagi, Bu," sapanya.
"Pagi," jawabnya.
"Dengan Ibu Evi Arifin, ya?" tanyanya untuk memastikan.
"Iya, betul. Siapa ini?" tanyanya balik dengan penasaran.
"Maaf, Bu. Saya Karin, dari kantor Bapak. Mau mengabarkan ...," terhenti sesaat lalu melanjutkan, "Bapak barusan jatuh pingsan saat lagi rapat virtual. Karena khawatir, kantor lalu memutuskan membawa Bapak ke rumah sakit terdekat," paparnya bernada muram.
"Ya, Allah Gusti!" teriak Evi. "Bapak teh kondisinya gimana sekarang, Mbak?" tanyanya histeris.
"Maaf, Bu.Sementara ini hanya itu info yang saya ketahui. Untuk lebih jelasnya, Ibu sebaiknya segera menyusul Bapak ke rumah sakit," sarannya.
...........