Berita Roy yang terinfeksi virus dan dirawat di rumah sakit itu, sampai ke telinga Danu. Ia langsung mengirim bingkisan parcel buah disertai kartu ucapan duka cita ke sang sahabat. Parcel itu diterima Evi saat kondisi Roy mulai berangsur pulih tapi masih belum diperbolehkan pulang dari rumah sakit. Melalui pesan di WA, Roy mengucapkan terima kasih atas perhatian dan doa yang diberikan Danu.
Selang seminggu setelah menghadiri acara di sekolah, mereka berdua bertemu kembali. Saat itu pandemi belum merebak sehebat sekarang. Sambil santai bermain golf, keduanya bertemu dan menyambut si pengusaha, Yogie Suhendar, di Sabtu pagi yang cerah itu. Semuanya ide Danu. Ia yang mengatur dan mempertemukan semua pihak yang terlibat agar saling kenal dan memahami apa yang ia rencanakan sehingga tidak menimbulkan perbedaan dan kesalahpahaman.
Dari berkas yang diberikan Danu saat di sekolah waktu itu, Roy mengetahui profil si pengusaha dan perusahaannya. Seperti keturunan Tionghoa lainnya, bisnis yang digeluti Yogie tidak jauh dari jejak keluarga besarnya. Selain pertambangan dan energi, ia juga bergerak di bidang konstruksi dan properti. Dengan pengalaman puluhan tahun yang sudah dilalui, bisa dibayangkan setajir-melintir apa ia saat ini.
Dengan jaringan bisnis besar dan luas yang dimiliki, Yogie secara personal pribadi yang low profile tak hanya dalam penampilan tapi juga kepribadian. Untuk seorang pengusaha kelas kakap, pakaian yang ia kenakan saat bermain golf saat itu tergolong sederhana alias bukanlah branded yang mahal atau mewah. Sengaja tidak menyewa caddie, ia lebih memercayakan asisten pribadi sekaligus sopirnya untuk membantunya saat di lapangan.
Roy ingat saat pertama menyapa Yogie dan balas disapanya dengan logat Tionghoa yang kental. Kesan ramah, bersahabat, dan rendah hati langsung dirasakan Roy dari si pengusaha. Pembawaannya tenang, santai, dan murah senyum seolah hidupnya tak punya masalah.