Bukan hal yang mudah menyampaikan apa yang tengah menimpa Erika kepada Papa. Mama tak tahu harus bagaimana mengatakannya. Sedih, malu, dan takut bercampur baur. Terlintas pikiran-pikiran buruk yang menggeliat dalam benaknya. Tak mau terintimidasi oleh keadaan karena keadaannya memang sudah berantakan, Mama tak punya pilihan lain selain bangkit dan berjuang dengan sekuat tenaga untuk mengubah kondisi itu.
"Cukup! Cukup sudah! Akan ku hadapi semua! Sekotor dan sekacau apapun kondisi rumah, sudah jadi tugas seorang ibu untuk membereskannya," ujarnya dalam hati. Ditempa keadaan berat yang silih berganti, Mama seakan merasa all out dan siap tempur.
Itu adalah hari terakhir Papa di rumah sakit. Meski sempat ragu apakah perihal Erika akan langsung disampaikan ke Papa atau ditunda dulu, Mama sudah tidak bimbang lagi. Segera setelah sampai di rumah sakit, akan ia beritakan.
Papa terlihat sedang sibuk memberi pengarahan kepada rekan-rekannya secara virtual saat Mama datang. Meski sedang menghadap ke layar laptop, Papa tahu kedatangan Mama. Sembari membereskan barang dan peralatan Papa yang akan dibawa pulang, Mama menunggu waktu yang tepat untuk melancarkan aksinya. Mama berpikir bagaimana agar efek kejut yang ditimbulkan dari kabar itu tidak terlalu mengagetkan Papa.
Saat Papa selesai dengan pekerjaannya, Mama minta izin bicara. Ada hal penting yang ingin ia sampaikan ke Papa tentang Erika. Merasa agak heran dengan gerak-gerik Mama, Papa menanggapi serius seraya bertanya, "Erika teh kenapa?"
Tak langsung menjawab, Mama berkata dengan memelas, "Pa, maafin Mama ya."
"Emang ada apa, Ma?" tanya Papa tambah heran.
"Mama sebenarnya malu sekali menceritakannya sama Papa," ujarnya.
"Lho kok malu? Sok aja, Ma. Pasti Papa dengerin," katanya penasaran.
"Erika ... dia ... ," ucapnya ragu-ragu.