Pagi itu Erika diantar Mama ke klinik bersalin untuk memeriksa kandungannya untuk yang pertama kali. Jarak klinik itu tidak begitu jauh dari rumah. Ini dimaksudkan agar mudah mencapainya jika sewaktu-waktu muncul kontraksi pada kandungan Erika. Selain itu, klinik itu sengaja dipilih karena punya reputasi dan fasilitas yang bagus menurut info yang beredar luas.
Sejak pengakuan Erika itu, Mama melihat ada gejala trauma kejiwaan yang kemungkinan besar dialami Erika akibat peristiwa itu. Trauma itu pada gilirannya meninggalkan bekas luka psikis yang mendalam. Jika dibiarkan, hal tersebut akan berpengaruh tidak baik tak hanya pada Erika tapi juga si janin.
Meski prihatin, Mama sengaja tidak memeriksakan Erika ke dokter atau ahli jiwa. Ia justru khawatir jika hal itu dipaksakan malah akan membuat kondisi jiwa Erika semakin tertekan. Untuk itu, ia lebih memilih caranya sendiri yaitu dengan pendekatan personal antara ibu dan anak. Ia memberanikan diri untuk melakukan trauma healing dengan mengandalkan insting keibuannya dan info yang ia peroleh dari jagat maya.
Tidak mudah memang langkah yang diambil Mama itu. Namun ia hanya mengikuti kata hatinya. Memahami tekad bulat sang istri, Papa tak segan menampakkan dukungannya. Ia ingin ikut terlibat baik langsung maupun tak langsung membantu menyukseskan "proyek besar" Mama itu. Kini keduanya bahu-membahu dalam rangka menolong sang anak agar bangkit dari keterpurukan yang menghimpitnya.
Setelah pengalaman sakit lalu sembuh dari virus C19 dan peristiwa pilu yang melanda Erika, Papa kini tampak berubah. Ia lebih dekat dengan keluarga. Lebih sering ada di rumah dan jarang pergi di waktu weekend. Ia memanfaatkan akhir pekan bersama keluarganya dengan melakukan bermacam kegiatan bersama-sama. Dengan melakukan itu, Papa seolah hendak menebus kekuranghadirannya di masa lalu.
Perubahan juga terlihat dari cara pandangnya terhadap masalah pekerjaan dan keluarga. Baginya, apa artinya karir yang memukau tapi keluarga kacau-balau. Suatu ketika, Papa menyatakan niatnya ingin membantu usaha roti Mama yang terdampak pandemi. Ia sadar ini saatnya ia membantu Mama walaupun tidak diminta. Ia meyakinkan Mama dengan berargumen, "Mama tak perlu risau. Papa lakukan itu tidak hanya untuk membantu menyelamatkan usaha Mama tapi juga menghindari PHK para pegawai." Mama pun akhirnya menerima uluran tangan Papa dan berterima kasih padanya.
Dengan penuh kesabaran dan kegigihan, Mama memberinya pengertian, perhatian, dan semangat yang semestinya Erika peroleh agar dapat kembali seperti yang dulu. Dengan begitu diharapkan akan menumbuhkan dan mengembalikan kepercayaan diri Erika yang sempat guncang dan hilang selama ini. Semua dilakukan Mama dengan disiplin dan konsisten demi kebaikan sang putri tercinta.
Perlahan tapi pasti treatment ala Mama itu mulai membuahkan hasil. Terlihat ada perubahan pada diri Erika yang membuat Mama tersenyum bahagia. Erika sudah tampak ceria, terbuka, dan kembali menemukan gairah hidupnya. Terkadang ia suka membantu pekerjaan yang sedang Mama lakukan tanpa diminta. Ia juga kerap membantu adiknya dalam mengerjakan tugas atau diskusi pelajaran selama kegiatan BDR berlangsung.
Suatu ketika Ricko yang terpaut hampir 10 tahun dari Erika, pernah bertanya, "Kak, kok Kak Tomi gak pernah main kesini lagi?"
Mendengar pertanyaan itu, Erika tertegun sambil menjawab, "Mungkin sedang sibuk. Emang kenapa Dede nanyain itu? Pengin dapat hadiah, ya?"
"He he he ...," jawabnya merasa ketebak pikirannya.