Kamar Bernapas

Imajiner
Chapter #1

Prolog: Kabar Duka

Nama saya Yanti Ellyandri, seorang wanita berusia tigapuluh delapan tahun yang sehari-hari bekerja sebagai pegawai di salah satu kantor cabang bank swasta terkemuka.

Di kantor ini, saya dipercayai untuk menduduki jabatan Deputy branch manager atau lebih dikenal sebagai wakil kepala cabang. Tidak heran, mungkin karena saya sudah cukup lama juga bekerja di sini, bahkan dari tingkatan paling bawah.

Dan beginilah sehari-hari pekerjaan saya, menganalis hingga melakukan riset untuk mendapatkan hasil yang optimal, bahkan saking sibuknya akan pekerjaan ini terkadang saya sering lupa waktu dan kena tegur oleh anak semata wayang saya,

Tissa Permata, itulah nama anak saya. Seorang wanita yang manis dan mempesona persis seperti saya tentunya. Tissa sendiri tengah mengambil pendidikan strata II di Australia, dengan kepandaiannya ia berhasil masuk dan kuliah di sana tanpa mengeluarkan biaya sepeser pun. Ia mendapatkan beasiswa penuh dari universitasnya.

Sebagai orang tua, apalagi seorang ibu, saya sangat bangga akan pencapaiannya. Saya selalu berpesan kepadanya,

"Kita memang perempuan, tapi perlu diingat, perempuan juga memiliki hak yang sama soal pendidikan dan pekerjaan. Jangan mau kalah sama laki-laki."

Pesan ini masih terus tertanam di pemikiranku, mungkin karena bisa menjadi sebuah pelajaran berharga ketika aku berpisah dari suami yang entahlah... Saya masih ragu untuk membahasnya...

***

Menjelang berakhirnya jam kantor, tiba-tiba terdengarlah suara ponselku yang berdering.

"Dari Mas Sardi? Ada apa ya?"

Nada dering yang terus berbunyi, memaksaku untuk menjawab panggilan ini.

"Halo Yanti, selamat sore..."

"Sore.... Ini Mas Sardi?" tanyaku ragu karena aku agak lupa dengan suaranya di telepon.

"Betul Yan, lagi sibukkah?"

"Enggak kok mas, mau beres juga. Ada apa ya?"

"Minta doanya ya Yan, bapak sudah dipanggil Tuhan." ujar Mas Sardi dengan suara lebih berat.

Saya terdiam sejenak, sambil menghirup napas panjang seolah tidak percaya. Setelah dirasa siap, saya pun kembali membalas,

"Mas, saya turut berduka sedalam-dalamnya ya..."

"Iya Yan, terima kasih. Mohon doanya."

"Kalau boleh tahu, kapan bapak meninggalnya mas?"

"Lho, kamu belum diberi tahu Fandi?" tanya Mas Sardi menaik

"Be.. Bel.. Belum mas." jawabku sambil memastikan kalau Mas Fandi memang belum mengabariku kalau bapaknya meninggal.

"Meninggalnya tadi pagi Yan, jam sebelas."

Diriku lantas melihat jam tangan, ternyata sudah lima jam aku tidak mendapat kabar duka ini.

"Mas, maaf ya. Saya tidak tahu sama sekali. Mas Fandi tidak mengabari saya, grup whatsapp pun saya sudah tidak lagi bergabung." jawabku penuh sesal.

"Nggak apa-apa kok Yan, saya minta doanya saja. Meminta segala kesalahan bapak di masa lalu mohon di maafkan."

"Iya mas, saya sudah memaafkannya. Sekali lagi, saya mohon maaf karena baru mengetahui hal ini."

"Nggak apa-apa."

"Ka.. Kalau boleh tahu, apakah bapak sudah dimakamkan mas?" tanyaku ragu.

"Sudah yan, siang tadi. Sekitar pukul dua."

***

"Selamat malam Mas Sardi..."

"Malam Yan, ada apa ya?" tanya Mas Sardi.

"Maaf mas, malam-malam saya ganggu. Saya cuma mau tanya...."

"Tan.. Tanya apa Yan?"

Ayolah Yan, beranikan dirimu untuk bertanya soal Mas Fandi.....

"Halo?? Halo???"

"Iy.. Iya.. Mas Sardi.."

"Iya Yan, mau tanya apa ya?"

Dengan penuh keberanian aku pun bertanya,

"Mas Fandi ada di sana mas?"

"Oh Fandi.. Fandi baru sampai sini besok pagi Yan, dia ada urusan kantor dulu katanya.."

Aku lantas menghirup napas panjang. Nasib baik aku tidak mengobrol dengannya lewat sambungan telepon ini.

"Ada apa ya Yan?"

"Eng.. Enggak kok mas, saya kira Mas Fandi sudah di sana.."

"Enggak Yan, kemungkinan besok dia tiba."

Aku lantas kembali memberanikan diri untuk mengatakan,

"Soalnya saya mau berkunjung kesana."

"Ke.. Ke rumah sini maksud kamu?"

"Iya mas, tapi saya baru bisa berangkat lusa. Maklum mas, orang korporat."

"Oh begitu.. Begitu..." ujar Mas Sardi menerima.

Walaupun hubungan saya dan Mas Fandi sudah berakhir, tapi saya harus menunjukkan itikad baik untuk mendatangi keluarganya yang tengah berduka. Walaupun telah berpisah, setidaknya tali kekeluargaan masih tetap terjaga.

"Mau saya kirim nomornya Fandi yang baru?" celetuk Mas Sardi.

"Engg. Enggak usah mas, enggak usah. Terima kasih."

Lihat selengkapnya