Kamar Bernapas

Imajiner
Chapter #5

Bagian 4: Satu Permintaan

Sikapku ini bukan tanpa alasan. Aku tidak mau mama bertemu dengan Fandi, walaupun aku tahu mama pasti sudah bertemu dengannya ketika berkunjung pada waktu itu. Tapi bertemu dengannya dua kali? Jangan sampai deh..

Fandi adalah pria brengsek yang meninggalkan aku dan mama. Sejatinya mama sudah berulang kali untuk menyadarkanku kalau sebenci-bencinya aku dengan Fandi, Fandi tetaplah papaku. Papa yang membuat aku ada di dunia ini.

Tapi, aku masih tidak bisa menerima ucapan mama itu, dipikiranku Fandi tetaplah pria brengsek titik. Enak saja dulu dia meninggalkan aku dan mama tanpa ia nafkahi satu rupiah pun.

Walaupun dulu aku masih kecil, tapi aku akan selalu ingat dan menjadi saksi perjuangan mama yang bekerja membanting tulang kesana kemari demi menyambung hidup kami dan juga biaya sekolahku.

Aku masih ingat ketika aku menunggak biaya SPP sekolah, mama berhutang ke tetangga atau teman-temannya untuk mendapatkan pinjaman guna membayar SPP ku.

Hingga akhirnya mama mendapatkan pekerjaan di salah satu bank terkemuka di sini, hidup seolah menjadi lebih baik. Dengan sifat ulet dan rajin, mama dan kepintarannya di bidang ekonomi dengan cepat karir mama melesat hebat.

Aku jelas menirunya. Karena mama, aku bisa berprestasi layaknya sekarang ini.

Dan hingga hari ini aku masih mencintainya selalu. Bahkan aku menganggap kalau dia adalah orang tua tunggal bagiku seumur hidupku.

***

"Jadi kamu mau datang ke sana?" Tanya mama.

"Iyalah ma, enggak enak juga kemarin Tissa nggak datang ke sana."

Mama tersenyum lebar mendengar jawabanku itu.

"Sekaligus kita tunjukkan kepada keluarga mereka kalau kita masih punya rasa simpati, bukan seperti Fandi!"

"Huss! Kamu itu! Bicara jangan sembarangan ah." 

Emosiku yang seketika bergejolak membuat mama berang dan mencubitku.

"Kan mama sudah pernah bilang, sebenci-bencinya kamu, kamu harus ingat kalau itu papamu juga."

Mungkin sudah ratusan kali mama mengatakan hal itu. Yang jelas mama adalah orang tersabar yang pernah aku temui.

"Iya, maaf ma.. Tissa Emosi."

Mama pun memaklumi sikapku, ia balik bertanya,

Lihat selengkapnya