Aku akhirnya melakukan perjalanan sendirian ke Desa Walingin, desa di mana mendiang eyang tinggal. Sebelumnya mama sudah memastikan bahwa Fandi tidak akan hadir di sana. Hal ini terkonfirmasi dari percakapannya dengan Pakde Sardi yang aku dengar sendiri lewat Loudspeaker ponsel mama beberapa hari yang lalu.
Terlepas dari mama yang tidak bisa menemaniku ke rumah eyang karena pekerjaannya yang tidak bisa ditinggal, aku sangat senang mama tidak ikut.
Selain faktor Fandi, ada faktor lainnya juga. Yaitu, Pakde Sardi.
Aku masih ingat betul ketika Mama bercerai dari Fandi (Aku akan mengatakan namanya terus karena aku tidak sudi memanggilnya papa lagi.) Disanalah Pakde Sardi seperti selalu ada untuk mama. Bahkan aku masih ingat ketika Pakde Sardi rela datang dari Walingin ke rumah hanya sekedar meminta maaf dan menginginkan agar silahturahmi tetap dijaga.
Bahkan setiap lebaran, Pakde Sardi rasanya orang yang sangat rajin menelepon mama. Berbeda dari Fandi yang masa bodoh dengan ucapan lebaran kepada mama, kepada anaknya sendiri pun sudah tidak pernah berkomunikasi.
Walaupun mungkin faktor Pakde Sardi sebagai anak yang paling di tuakan dan harus bijaksana, akan tetapi aku benar-benar muak dengan sifatnya itu yang seakan akan ada maksud lain. Ya kalian pikir saja, mama sudah sangat di kecewakan dengan adiknya, Fandi. Masa Pakde Sardi mau mencoba mendekati mama juga sih?
Walau mama sering berdalih dengan Pakde Sardi hanyalah berkomunikasi, tapi aku bisa melihatnya lain.
***
Sedikit yang kutahu, Pakde Sardi adalah anak tertua dari mendiang Eyang Waluyo. Umurnya kalau tidak salah sekitar 50an, mempunyai kumis tebal yang khas dan perut yang buncit ketika aku bertemu dengannya terakhir kali.
Pakde Sardi mempunyai istri, namanya Marni. Bahkan mereka di karuniai satu orang anak yang bernama Warsito. Nahas, kejadian buruk menimpa istrinya. Bude Marni menjadi salah satu korban penumpang kecelakaan pesawat beberapa puluh tahun silam, jasadnya tidak pernah ditemukan. Entah di mana.
Aku masih ingat ketika itu Pakde Sardi berduka amat dalam, menangis kehilangan istrinya. Bayangkan saja, kamu ditinggal seseorang yang sangat kamu cintai tapi kamu tidak bisa melihat seorang yang kamu cintai itu untuk terakhir kali. Sedih, sangat sedih rasanya.
Sekarang sudah berubah, mama sempat bercerita kalau Pakde Sardi sudah pensiun di salah satu perusahaan milik negara. Ia pun menghabiskan waktunya di Desa Walingin sambil mengawasi sawah luas milik peninggalan eyang dan juga merawat eyang.
Aku bersyukur karena Pakde Sardi lah yang memegang tanggung jawab warisan. Soalnya kalau Fandi yang dapat? Entahlah mau jadi apa warisan itu, sifatnya saja sudah kacau balau, mengurus keluarganya sendiri saja tidak bisa, bagaimana mengurus warisan keluarga nantinya?
***
Bus terus melaju dengan kecepatan cukup kencang, yang tadinya pemandangan perjalanan begitu indah karena hamparan ladang sawah dan pepohonan, kali ini bus berjalan masuk ke dalam hutan. Aku paham mengapa bisa lewat sini karena bus tidak diperkenankan lewat jalur kota yang hanya dikhususkan kepada pengguna mobil pribadi.
Mengapa aku tidak naik pesawat? Jawabannya simpel, karena aku harus berhemat untuk liburanku bersama mama sepulangnya dari sini.
Jalanan yang tadinya halus, kali ini jalanannya berubah menjadi lebih bergelombang dan rusak. Hingga secara tak sadar salah satu jari tanganku tergores oleh Arm rest bus yang bagian besinya terbuka.
Praktis, luka iris timbul di jari telunjuk kiriku, irisannya tidak begitu besar, namun darah sempat menetes dan aku mencoba menutupinya hanya dengan tisu yang aku bawa.
Ketika aku sedang mencoba menutupi luka, seorang nenek yang duduk disebelahku yang sepanjang hari hanya tertidur lantas terbangun dan melihatku sambil bicara dengan bahasa jawa.