Kamar Bernapas

Imajiner
Chapter #7

Bagian 6: Berbaur

"Gimana rasanya kuliah di Australia Tis?" tanya Warsito.

"Ya gitu To, nggak ada bedanya kok."

Aku dan Warsito sedang menuju ke makam Eyang yang jaraknya cukup jauh dari rumah. Menggunakan mobil milik Pakde Sardi yang dikemudikan oleh Warsito, kami saling berbincang.

"Masa sih Tis?"

"Iya To, mungkin bedanya kalau di Australia akademiknya lebih tersusun rapi aja sih."

"Dosennya ada yang jual mahal enggak Tis?"

"Sejauh ini sih enggak ada To."

"Nah itu bedanya!" ujar Warsito meledek.

"Bentar, maksudnya jual mahal itu emang kayak gimana?"

"Yang kalau mau ditemuin itu susah. Apalagi pas butuh bimbingan seperti sekarang."

Aku langsung tertawa mendengar keluhan dari Warsito,

"Warsito... Warsito, aku juga dulu seperti itu kali. Itu tuh buat mentalmu kuat, jadinya enggak gampang nyerah gitu."

"Ah tetap saja Tis. Maksudku ya tolong dibalas pesan Whatsapp mahasiswanya, soalnya ini nggak ada respon sama sekali dari yang bersangkutan."

"Oh begitu. Push terus saja To. komunikasi terus, lama-lama dosenmu itu paham."

Warsito pun terdiam mengerti, lalu beberapa saat kemudian ia bertanya topik yang lain.

"Disana teman-temannya dari mana saja Tis?"

"Ya macam-macam to, ada dari Singapura, Tiongkok, US sama ya dari Australianya sendiri. Macem-macem deh pokoknya."

"Yang dari Indonesianya?"

"Ada juga kok, lumayan banyak. Sekitar tigapuluh orang gitu."

"Termasuk pacarnya?"

Aku heran kok Warsito tiba-tiba bertanya seperti itu.

"Pacar? Pacar apaan? Belum punya kali To, aku mau sukses dulu di pekerjaan. Pacaran tuh gampang kali." ujarku dengan jelas.

"Bener Tis, bener banget itu. Nggak usah buru-buru deh."

Aku terdiam karena bingung harus merespon ucapan Warsito seperti apa.

***

Tibalah aku dan Warsito di makam Eyang Waluyo.

"Selamat pagi yangggg." ucapku sambil mengusap batu nisan milik Eyang yang masih terlihat bagus.

Aku langsung jongkok di sebelah makam Eyang untuk memulai berdoa. Terlihat Warsito pergi entah kemana.

Selang beberapa saat, Warsito kembali dan membawa sebuah kursi kecil untuk duduk. Ia menyuruhku untuk duduk di kursi kecil ini agar tidak pegal. Kemudian Warsito pun ikut duduk sambil menundukkan kepala dan komat-kamit membaca doa yang tidak aku ketahui.

***

Setelah aku selesai membaca beberapa doa, aku lantas menaburkan kembang dan menyiram air ke makam Eyang.

"Yang tenang ya yang di sana."

Setelah dirasa cukup dan masih tersisa kembang dan air, aku lantas memberikannya kepada Warsito untuk bergantian menabur dan menyiram makam Eyang.

Aku terdiam sambil melihat Warsito yang sedang menyiram. Rasanya masih tidak percaya Eyang telah meninggal selama kurun waktu tiga bulan dan aku baru mengetahuinya. Aku tidak bisa menemani Eyang di saat terakhirnya. Ya itu semua karena Fandi, bila hubungan Fandi dan mama tidak berantakkan seperti ini, aku yakin aku masih selalu bertemu dengan Eyang. Tapi kali ini, bertemu dengannya terakhir kali saja aku tak ingat.

"Eyang harus tahu, kalau Tissa masih mengingat eyang dengan baik, terlepas anakmu Fandi yang meninggalkan mama, kebaikkan eyang selalu membekas di hati Tissa."

"Semoga eyang diberikan cahaya dan ketenangan disana....."

"Amin...... "

Itulah penggalan doa terakhirku sebelum aku meninggalkan area makam bersama Warsito.

***

Sepulangnya dari makam, Warsito mengajakku untuk makan siang. Hari yang sudah semakin siang dan alasan Warsito yang mengatakan kalau di rumah sedang tidak masak, memaksa aku mengikuti ajakkannya untuk makan siang.

Kami pun tiba di sebuah restoran yang aku sendiri terkejut jika ada restoran dengan nuansa estetik di daerah sini.

"Restoran temenku nih Tis, lokasinya paling enak apalagi makanannya. Ayo masuk!" ujar Warsito yang kemudian turun dari mobil.

Aku kemudian turun dari mobil dan melihat suasana restoran yang sangat ramai. Aku pun berjalan mengikuti Warsito dari belakang.

"Her!" ucap Warsito yang memanggil seseorang.

Terlihat seorang laki-laki berjalan mendekati Warsito dan aku. Aku tebak, pasti ini teman yang Warsito maksud.

"Wih, to. Golek anyaran ae koe." ucap teman Warsito sambil tertawa.

(Wih to, dapat gandengan baru kamu?)

Lihat selengkapnya