HARI KEDUA
Aku terbangun dari tidur panjangku dan merasakan kesegaran udara sejuk yang tidak pernah kudapatkan sebelumnya ketika kuliah Di Australia maupun di rumah yang ada di kota. Udara di sini sangat sejuk. Aku merasakannya sambil berjalan-berjalan sendiri mengitari jalan depan rumah Eyang. Benar-benar sejuk dan asri.
Sesampainya di rumah, kulihat Mbah Sri tengah sibuk menyapu halaman walaupun matahari belum terlihat penuh. Aku mengagumi Mbah Sri, ia masih semangat dalam bekerja. Semoga beliau diberikan kesehatan selalu.
"Nyapu mbah?"
Mbah Sri hanya melihatku sekilas lalu kembali melanjutkan menyapu daun-daun yang berjatuhan.
Aku jelas tidak begitu dekat dengan Mbah Sri. Seperti yang kukatakan sebelumnya, ketika kecil aku benar-benar takut dengan Mbah Sri, sehingga aku jarang mengobrol dengannya.
Aku berinisiatif untuk membantunya, dengan membuang beberapa daun yang sudah menumpuk di pengki.
Tiba-tiba mbah Sri berceletuk melihatku,
"Arep opo?"
(Mau apa?)
"Buang ini mbah." jawabku sambil menunjukkan daun yang sudah terkumpul.
"Ra sah!"
(Nggak usah!)
Jawaban mbah Sri singkat tapi aku paham apa maksudnya. Ia sepertinya menolak bantuanku.
"Nggak apa-apa mbah. Saya bantu."
"Ra sah!"
(Nggak usah!)
Suara menaik dari Mbah Sri membuatku menaruh lagi pengki di tanah dan hanya melihatnya menyapu.
"Mbah mau saya bantu apa?" tanyaku pelan kali ini.
Mbah Sri kembali menjawab dengan tolakkan,
"Lungo wae koe! Ojo ning kene!"
(Pergi saja kamu, jangan di sini!)
Walaupun Bahasa Jawaku buruk, tapi aku paham dengan apa yang dia ucap. Terlihat dari rautnya, ia sepertinya tidak ingin aku ada di dekatnya.
"Tissa!" panggil Pakde Sardi dari kejauhan.
Aku pun berjalan mendatangi Pakde Sardi, namun sebagai manusia yang berbudi pekerti, aku berpamitan dahulu dengan Mbah Sri tapi beliau menghiraukanku. Ada apa dengannya? Apa Mbah Sri tidak suka dengan kehadiranku atau bagaimana?
***
"Ada apa Tis?" tanya Pakde Sardi kepadaku.
"Enggak ada apa-apa kok Pakde, Tissa cuma mau bantu Mbah Sri, eh kayaknya Mbah Srinya enggak mau. Ya udah."
"Ya sudah, jangan dimasukkan ke hati ya Tis."
"Iya Pakde, Tissa heran. Padahal kan awal-awal pas dateng, Mbah Sri baik-baik saja kepada Tissa."
"Maklumlah Tis, namanya kan orang sudah sepuh." jawab Pakde Sardi maklum.
Ya, kesimpulan Pakde sama halnya denganku.
Duduk dulu, lagi dibuatkan Warsito teh manis.
Aku dan Pakde pun duduk di kursi depan rumah sambil melihat Mbah Sri yang menyapu. Entahlah rasanya ada yang salah.
"Bagaimana tidurmu?"
"Baik! Enak banget Pakde!" ujarku dengan keyakinan tinggi untuk membuktikan kepada Pakde kalau tahayul murahan itu tidaklah ada.
"Tidak ada yang megang kakimu?" tanya Pakde sambil tertawa kali ini.
Aku pun membalas dengan tawaan seraya berkata,
"Enggaklah Pakde, mana ada sih begituan. Kan Eyang juga sudah istirahat tenang di sana."