Kamar Bernapas

Imajiner
Chapter #12

Bagian 10: Histeria

HARI KEEMPAT

Aku menjerit keras, sekeras-kerasnya setelah aku bermimpi sesuatu..

Kubuka mataku sambil terus menangis sedu. Kulihat, Pakde Sardi, Warsito, Om Hendra dan Tante Yuni langsung masuk ke dalam kamarku dan mencoba menenangkanku yang terus menangis.

Bibir mereka bergerak mengatakan sesuatu. Tapi jujur aku yang masih syok dengan apa yang kualami tadi, aku tidak memperdulikan ucapan mereka.

***

Seperti hari kemarin, aku sempat terbangun. Namun kali ini aku terbangun sekitar pukul satu dini hari ketika kulihat jam di ponsel. Angin malam saat itu benar-benar kencang masuk ke dalam kamarku. Kukira akan turun hujan, namun nyatanya tidak.

Aku terbangun karena lagi-lagi merasakan kehangatan di sekitar kaki. Ini aneh, karena aku merasakan hawa dingin dari angin yang masuk, namun kakiku malah tetap terasa hangat.

Ketika itu aku tidak memperdulikannya sama sekali hingga akhirnya aku berinisiatif memegang kakiku.

Rasanya benar-benar hangat, kehangatannya terasa dari tulang kering hingga telapak kaki di kedua kakiku. Aku heran kok bisa begini, padahal badanku saja kedinginan sehingga kututupi terus dengan selimut.

Sambil terus mengusap kedua kakiku, aku dikejutkan oleh lampu kamar mandi yang tiba-tiba menyala dengan sendirinya. Iya, kalian tidak salah baca. Menyala dengan sendirinya.

Bulu kudukku benar-benar berdiri malam itu, rasa tegang dan takut mulai menyelimutiku. Aku berinisiatif menyalakan ponsel dan menyetel lantunan surat-surat pendek maupun panjang yang sempat aku download siang tadi.

Dengan memberanikan diri, aku lantas turun dari kasur untuk berjalan menuju kamar mandi dan mengeceknya. Sebelum masuk kamar mandi, aku sudah lebih dulu mengeraskan volume lantunan surat-surat guna menemani langkahku masuk ke dalam kamar mandi. Ponsel aku taruh persis di atas kasur.

Aku benar-benar melangkah pelan untuk menuju kamar mandi, hingga akhirnya tibalah aku di depan pintu kamar mandi.

Aku terus komat-kamit membaca doa yang aku ketahui sambil terdengar juga suara lantunan surat dari kejauhan.

Aku memberanikan diri untuk membuka pintu kamar mandi secara perlahan. Setelah aku masuk dan memeriksanya dengan seksama, tidak ada apapun disini.

Yang aku takutkan sejak awal adalah adanya sesosok makhluk menyeramkan yang hadir di dalam kamar mandi maupun di dalam bak mandi. Namun nyatanya hal itu tak terjadi.

Aku lantas mematikan lampu kamar mandi dan kembali berjalan keluar.

Namun kembalinya aku ke kamar, kulihat pintu kamarku tiba-tiba terbuka. Suasana riuh dan cahaya terang terlihat dari ruang tamu. Aku yang heran ada apa diluar, memaksaku untuk berjalan pelan keluar kamar.

Keluarga besar Eyang Waluyo tengah berbincang-bincang di ruang tamu. Formasinya lengkap, ada Pakde Sardi yang bersama istrinya..

"Sebentar? Bude Marni?" ucapku bingung.

"Tisssa!" ujar Bude Marni berjalan mendatangiku.

Sebentar, ini hanya mimpi. Ini tidak nyata. Bude Marni sudah lama meninggal. Bahkan kenapa ada Fandi dan mama di sini? Mengapa mereka saling bercengkarama?

"Ini mimpi... Ini jelas mimpi..."

Bude Marni pun memegang pundakku, walau menurutku ini hanyalah mimpi tetapi rasanya benar-benar nyata.

"Bude kangen sama kamu. Ayo kesana kita ngobrol-ngobrol."

Aku masih tertegun diam tak bisa berkata-kata dengan apa yang sedang terjadi di sini. Ini mimpi, ini fiksi. Jelas tidak ada Bude Marni atau tidak ada Fandi yang dekat dengan ibu lagi.

Setibanya di tengah perkumpulan keluarga besar, mereka semua lantas silih berganti menyapaku. Termasuk Fandi.

"Lancar ya kuliahnya?" tanya Fandi

Ya Tuhan, aku benar-benar bingung dengan apa yang terjadi di sini. Ini mimpi, namun rasanya sulit terbangun untuk sadar bahkan rasanya benar-benar nyata.

"Hebat loh Tissa ini, kuliah di Australia!" ucap mama sambil tersenyum bangga.

Mama dan Fandi saling memegang tangan dan yang lainnya terus-menerus memuji kecemerlanganku kuliah di luar negeri. Ini mimpi buruk, jelas mimpi buruk...

"Tissa... Tissa....." ujar seseorang yang memanggilku dari luar.

"Tuh dipanggil." ucap mama.

"Dipanggil siapa?" tanyaku yang benar-benar bingung.

"Ih, gimana sih? Itu kan Eyang."

"Eyang?"

Aku jelas bingung dengan maksud ucapan mama ini, bukannya Eyang sudah???

***

Setibanya di teras depan, aku kaget melihat...

"Eyang??" tanyaku heran.

Eyang Waluyo duduk menghadap depan sambil memegang tongkat. Busananya memang mencerminkan dirinya, songkok hitam yang sudah lusuh memutih, kemeja batik khas Pekalongan yang selalu ia gunakan dan sarung yang aku hapal itu adalah salah satu motifnya.

Ini mimpi atau apa???

"Lungguh kene." ajak eyang kepadaku.

(Duduk sini.)

Seperti terhinoptis, aku langsung duduk disebelahnya. Aku memperhatikannya dengan seksama kalau ini apakah benar-benar Eyang.

Wajah yang sudah keriput, tahi lalat yang ada di sebelah kanannya, rambut yang terlihat memutih dan jenggot yang tipis. Ini memanglah beliau.

Lihat selengkapnya