Kamar Bernapas

Imajiner
Chapter #17

Bagian 14: Metafisika

HARI KEENAM

Aku tiba-tiba terbangun ketika tidak sengaja menendang Bedframe kasur dan rasanya sakit sekali. Tapi kalian tahu? Aku kembali bermimpi lagi, mungkin bila aku tidak menendang Bedframe tersebut, rasanya diriku akan terjebak di mimpi semalam.

Terlihat matahari yang sudah mulai meninggi dan cahayanya masuk menembus sela-sela gorden.

Ini sudah pukul tujuh pagi. Tidak pernah aku terbangun sesiang ini.

"Tissa, ayo sarapan dulu." ujar Pakde dari luar sambil mengetuk pintu.

"Iya, iya Pakde!" jawabku yang bingung sejak kapan Pakde mengetuk pintu.

Ini mimpi yang paling tidak masuk akal yang pernah akualami di sini, mimpi ini aneh.

***

Yang aku ingat, aku tertidur cukup larut lantaran Overthinking yang aku rasakan kepada Mbah Sri, keluarga ini, sampai pelet yang katanya menempel di jariku. Hingga akhirnya aku terlelap dengan sendirinya dan bermimpi.

Ketika bermimpi, biasanya orang akan sulit bermimpi hal yang sama, akan tetapi itu menjadi pengecualian pada mimpiku semalam.

Aku berada di lokasi yang sama ketika aku bertemu dengan Eyang muda. Di pinggir pantai.

Aku duduk sendirian sambil memandangi ombak yang terus menghantam dengan suara desirannya yang kencang. Sangat menenangkan.

Sangat lama aku memperhatikan ombak itu, hingga seseorang tiba-tiba muncul disampingku,

"Cucuku nampak lelah."

"Eyang?"

"Kenapa nduk? Kamu kurang sehat sepertinya."

"Nggak tahu yang, ada banyak pertanyaan di pikiran Tissa."

"Sebutkan, mungkin eyang bisa membantu.."

Dengan nafas berat, aku pun memulai bertanya kepada Eyang,

"Eyang ingat Mbah Sri?"

Lihat selengkapnya