Kamasean; Yang Basah di Sabah

S. Marindra
Chapter #1

Chapter 1: Sebuah Pelukan Luka

Tak ada yang berbeda dalam keseharian pekerja ladang di tanah rantau negeri jiran. Pagi-pagi buta, mereka yang kebanyakan buruh migran dari Indonesia sudah harus berbaris mencatatkan kehadiran di lapangan, kembali ke rumah sekejap mempersiapkan makanan untuk anak-anak dan bekal bawaan, berangkat jam delapan, dan pulang pukul dua siang. Beberapa orang yang mengambil pekerjaan sampingan, akan kembali berangkat kerja selepas asar lalu pulang ke rumah saat cahaya matahari sudah buyar.

Sama halnya dengan Sagala, lelaki kekar berkulit sawo matang dengan kumis tipis di wajahnya itu, bangun ketika kokok ayam sudah mulai ramai. Dia akan segera membangunkan Hamida, sang istri. Perempuan yang selalu kurus itu sebenarnya tak diijinkan oleh suaminya ikut bekerja. Namun, sejak anaknya pandai menyuap sendiri, Hamida bersikeras ke ladang demi membayar utang yang semakin besar jumlahnya.

Kamasean, anak mereka, akan dibangunkan setelah balik dari mengisi daftar hadir. Satu kalimat perintah yang sudah dihapal anaknya itu akan diucapkan Hamida saat Kamasean bangun; disuruh makan dan menjaga rumah. Kamasean hanya akan mengangguk mengiyakan tanpa berpikir. Bahkan tanpa diminta pun, anak itu jelas akan melakukannya.

Bukan hanya orang tua yang melakukan hal sama setiap harinya, anak-anaknya pun demikian. Setelah orang tuanya berangkat kerja, Kamasean segera mempersiapkan mainan sambil menunggu panggilan dari kawan di jiran. Usia Kamasean yang sudah hampir tiga belas, membuat ia menjadi anak yang paling besar di antara teman-temannya. Ia sama sekali tak pernah malu. Ia bahkan tak pernah sedikit pun memikirkan hal itu.

Anak-anak kecil yang belum bisa mengurus dirinya sendiri dititipkan kepada Macik Napiah yang juga digaji oleh ladang untuk menjaga rumah penitipan anak yang dinamai kandang budak. Jika Kamasean sudah selesai bermain, seringkali ia datang membantu Macik. Mengurus belasan anak kecil membuat Macik Napiah sering kewalahan. Beliau sudah pernah meminta manajer agar ia punya kawan. Dan, Macik itu hanya diberi jawaban bahwa akan diusahakan.

Selepas zuhur, beberapa orang ibu datang menjemput anaknya masing-masing. Itu berarti waktu bekerja sudah usai. Kamasean meninggalkan Macik Napiah menuju halaman rumahnya yang mulai ramai. Anak-anak tengah bermain guli. Kamasean berlari masuk ke dalam rumah sejenak mengambil guli lalu kembali untuk ikut bermain.

Tidak sulit bagi Kamasean untuk mengalahkan semua kawannya itu, tetapi ia memilih untuk mengalah di awal agar permainannya tidak cepat selesai. Sebab jika tidak, boleh jadi esok hari Kamasean tidak akan diterima bermain lagi.

Di tengah permainan, Kamasean melihat melihat bapak dan ibunya pulang. Ia berlari ke arah mereka sambil merebut parang panjang di tangan ibunya untuk ia bawakan. Kamasean pun berusaha merebut parang bapaknya tetapi lelaki itu tidak melepaskan genggaman di gagang. Beliau malah mempercepat langkahnya memasuki rumah yang sudah tidak terkunci. Kamasean dan ibunya pun mengikuti.

Ketika ibu dan bapaknya bergantian mandi, Kamasean dengan sigap memanaskan ikan dan sayur yang sudah dimasak ibunya sejak subuh tadi. Ia meletakkan dulang di tengah-tengah ruangan paling dalam, di hadapan dapur dan sisi kiri kamar mandi, tempat mereka selalu makan bersama. Setelah kuah ikan dan sayur mendidih hampir bersamaan, dituangkannya ke dalam mangkuk plastik lalu diletakkan rapi di atas dulang. Ibunya yang sudah selesai mandi datang membantu mengangkat nasi dalam dandang. Kamasean melanjutkan dengan menata piring, gelas, dan mangkuk berisi air yang akan dijadikan tempat mencuci tangan.

Bapak Kamasean, yang sudah membersihkan badan, dengan sarung tanpa memakai baju, mengangkat kipas angin dari ruang tamu, menghidupkannya ke arah dulang, lalu duduk bersila di sana. Tidak ada yang bersuara. Kamasean yang merasakan keanehan itu pun takut berbicara. Suasana makan mereka tidak seperti biasanya. Bapaknya mengambil sendiri nasi, disiramnya dengan kuah ikan dan sayur lalu menyuap dan mengunyahnya cepat-cepat, kemudian ditelan dengan cepat-cepat pula. Kamasean memandang ke arah ibunya. Perempuan itu hanya menunduk sambil menuangkan sayur ke dalam piringnya.

Belum separuh makanan Kamasean habis, bapaknya sudah berdiri meninggalkan mereka. Lagi-lagi tanpa berucap apa-apa. Beliau menuju ruang tamu, mengambil rokok lalu menuju teras dan menghembuskan kepulan asapnya ke udara.

“Bu..!”

Lihat selengkapnya