Apa yang lebih penting dari sebuah nyawa? Barangkali jawabannya adalah kehormatan. Tapi engkau tak usah membicarakan itu kepada Sagala. Amarahnya akan buncah seketika. Aku sangat yakin, setelahnya, kau akan merasakan ketidaktenangan. Sebab, kau telah menyentuh bagian hidupnya yang sangat pribadi.
Kehormatan bagi Sagala adalah sebuah omong kosong belaka. Semenjak kakinya telah meninggalkan Pelabuhan Makassar berbelas-belas tahun silam, ia menganggap bahwa kata yang kau bicarakan itu telah lama tiada. Bagi Sagala, kehormatan seharusnya tidak bisa dihargai dengan garis keturunan yang memang sudah takdir Maha Kuasa. Apalagi sekadar untuk membungkam mulut lebar para tetangga.
Sagala ingat betul kejadian di tahun 2004, ketika keluarganya berkunjung ke rumah orang tua Hamida dengan maksud yang sangat baik yakni melamar sang kekasih hati. Meskipun pada waktu itu, ternyata bukan kedua orang tua Hamida yang menerima perwakilan keluarga Sagala. Sepasang orang tua itu membuat dalih bahwa padi di sawahnya sudah harus mereka tuai. Kalian bayangkanlah; betapa mereka berdua tidak menghormati lamaran yang telah dipersiapkan sejak jauh-jauh hari.
Utusan keluarga Sagala tidak mempermasalahkan perihal tersebut. Mereka tetap menyampaikan lamaran yang dimaksud. Dengan kalimat-kalimat halus, bahkan sangat halus, perwakilan keluarga Hamida menerima lamaran itu tetapi dengan syarat yang sangat muskil. Dimintanya hantaran uang panaik dengan jumlah yang tak masuk akal. Dua ratus lima puluh juta ditambah lima ekor sapi sebagai syarat untuk menuju ijab kabul.
Tiada kesepakatan yang mereka capai saat itu. Utusan keluarga Sagala meminta diberi waktu. Lalu pulanglah mereka ke rumah Sagala dengan air muka yang sungguh keruh. Seluruh keluarga yang hadir menyambut tertunduk lesu. Tak ada yang berani bicara satu patah kata pun begitu mendengar laporan yang nyatanya hanya membuat pilu. Begitu lama suasana hening bagai lepas ditinggal salah satu keluarga yang dijemput maut. Setiap orang jatuh ke dalam pikiran masygul. Simpulnya sama; bahwa jawaban keluarga Hamida adalah bentuk dari penolakan yang sangat telak meskipun disampaikan dengan kalimat yang paling halus.
Sagala keluar kamar. Sejak tadi ia diam menyimak. Ditahannya sebak yang sudah begitu buncah di dadanya yang lebar. Tanpa mengenakan baju ia menuju ke bagian belakang rumah panggungnya, menimba air lalu berkali-kali ia mencuci muka. Ada sesuatu tak biasa sedang ia pikirkan agar tujuan bersama dengan kekasihnya sedapat mungkin berjalan lancar. Ia keluar lagi ke ruang tengah bergabung di lingkaran keluarga.
“Jadi bagaimana ini, Bapak?” tanya Sagala kepada Bapak setelah ia duduk bersila sempurna di sebelah kiri Ibunya.
Bapak menghisap rokok lintingnya dengan napas yang begitu lama. Dihembuskannya sejenak kepulan asap melalui hidung lalu ditariknya kembali sebagian melalui hidung pula. Terakhir, ia hempaskan dari mulutnya kepulan asap yang jauh lebih banyak. Beliau memperbaiki letak duduk sambil membenamkan rokoknya ke dasar asbak.
“Bagaimana pun, kita harus memenuhinya, Nak! Kalau kita mundur, habislah sudah siri’, harga diri kita,” jawab bapak. “Laki-laki dibesarkan untuk berjuang. Bukan untuk menyerah. Kau harus bersyukur masih diberi pilihan. Meskipun pilihan itu sebenarnya bermaksud membuatmu mundur segera.”
Bapak kembali melanjutkan. “Besok, Bapak sendiri yang akan ke sana menyampaikan kesanggupan kita.”
“Tapi itu bukan uang yang sedikit, Bapak?” Sagala menyela.
“Sagala ...!” Om Sahir, adik pertama Bapak angkat bicara. Tangan kirinya berdiri tegak di depan dadanya yang condong ke depan sambil telapak kanannya bertumpu ke lantai papan. “Persoalan siri’ atau harga diri, itu sudah menjadi tanggung jawab keluarga besar. Bukan hanya Bapakmu. Kami semua ada di belakang,” lanjutnya dengan nada sangat tegas.
Ucapannya dibenarkan oleh semua yang hadir. Perasaan Sagala bimbang. Antara bangga dan kasihan. Bangga karena memiliki keluarga yang tak ingin melihatnya diremehkan. Merasa kasihan karena pasti mereka akan kehilangan harta benda yang menjadikannya semakin miskin.
Esoknya, Bapak Sagala ditemani Om Sahir berkunjung ke rumah Hamida. Pakaian adat Makassar lengkap mereka kenakan. Jas tutup dan sebilah badik yang diselipkan di ujung atas sebelah kiri sarung suteranya. Istri Om Sahir menyusul mereka kemudian. Beliau takut terjadi apa-apa. Bagaimana pun, perempuan akan selalu menemukan cara terbaik untuk penenang.
Kali ini, kedua orang tua Hamida sendiri yang menghadapi mereka. Dua orang laki-laki dari pihaknya ikut duduk bersama. Di meja, tak ada suguhan kopi yang terhidang. Sebelum keluarga Sagala datang, Bapak Hamida sudah mewanti-wanti kepada siapa pun di rumah itu agar berdiam diri saja hingga tamu yang tak mereka harapkan itu pulang. Hamida dikurung bertiga bersama adik dan tantenya di kamar paling belakang.