Sebenarnya Hamida merasakan pedih luar biasa atas sikap suaminya itu akhir-akhir ini. Mengingat pengorbanan yang tidak sedikit dengan lukanya yang masih saja menganga. Empat belas tahun sungguh adalah waktu yang sangatlah lama. Beruntunglah ia memiliki Kamasean, anak semata wayang, yang dianggapnya sebagai simbol dari perjuangan yang telah ia pilih.
Membayangkan proses kelahiran Kamasean saja, air mata Hamida pastilah akan berjatuhan. Jika anak-anak lain dilahirkan di rumah sakit, klinik, atau di rumah orang tuanya, Kamasean malah terlahir di tengah malam yang hujan, dalam pelarian, di tengah-tengah hutan.
***
Suara teriakan menggertak terdengar begitu sayup di tengah hutan sawit yang jauh lebih ramai oleh gemuruh petir dan jutaan bulir air yang jatuh membasuh bumi. Sekelompok orang-orang yang lari tunggang langgang berusaha tak menghiraukan perintah yang meminta mereka berhenti. Bukanlah pilihan jika hanya untuk menyerahkan diri sebab penjara telah menanti. Mereka belum lupa tentang kawan-kawan mereka yang tertangkap dan tak lagi terdengar kabarnya hingga kini.
Hamida yang sejak tadi berlari sambil dipapah oleh suaminya, Sagala, tiba-tiba lunglai lalu jatuh ke tanah perlahan-lahan. Kawannya yang lain sudah berlari semakin jauh di depan. Sagala gelisah tak karuan. Lelaki itu khawatir bila istrinya telah tiba masa melahirkan. Ia sama sekali tak ingin anak pertamanya dilahirkan di tengah hutan. Apalagi di tengah pelarian. Ditambah lagi tidak ada orang yang akan membantu istrinya bersalin. Belum lagi jika mereka harus berhadapan dengan polis-polis kerajaan yang pasti akan membawa mereka ke tahanan. Oh, Tuhan ...!
“Cepat naikkan Hamida ke papan ini!” tiga orang kawannya tiba-tiba muncul sambil membawa papan panjang yang entah dari mana mereka dapat.
“Air ketubannya sudah pecah!” Macik Napiah terkejut tapi sedapat mungkin ia tekan suaranya. Wanita paruh Hamida itu semakin pucat. “Cepat bawa!”
Kedua ujung papan diangkat oleh dua orang kawan mereka yang lelaki. Napiah membantu mengangkat papan sebelah kiri sedangkan Sagala di sebelah kanan membantu dengan tangan kiri. Tangan kanannya menggenggam jemari istrinya yang sudah semakin pucat dan hampir tak punya tenaga lagi. Mereka menggotong tandu dari papan itu menjauh dengan berjalan cepat-cepat sambil menghindari ranting dan duri.
Suara lantang yang meminta mereka berhenti sejak tadi, terdengar semakin jauh. Paling tidak, perasaan gusar dan takut di dada mereka sedikit terhalau. Dicarinya tempat yang bersih dan sedikit teduh. Hamida harus bisa melahirkan anaknya dengan selamat meski dengan resiko apapun.
Hujan mulai sedikit reda. Dua lelaki yang menemani mereka melepaskan baju sebagai pengganti kain untuk menghangatkan tubuh sang bayi jika ia sudah keluar dari rahim ibunya. Sagala pun mengeluarkan bajunya lalu diletakkan di mulut Hamida. Yang suami Hamida itu tahu ialah saat sudah waktunya memberi tekanan ke perut, perempuan itu harus menggigitnya agar sebisa mungkin tak menimbulkan suara.
Macik Napiah tetap berada di samping Hamida. Ia berikan aba-aba kepada perempuan yang sekejap lagi akan menjadi ibu itu, seperti yang pernah diajarkan oleh dukun beranak yang juga membantunya melahirkan buah hatinya dahulu kala. Memang lebih susah. Kondisi tubuh Hamida sedang lemas hampir tak berdaya. Apalagi kini ia harus berusaha melahirkan dengan baik di tempat yang bahkan perempuan mana pun tak pernah membayangkannya.
Sagala memandangi wajah istrinya. Betapa berat beban yang kekasihnya itu harus tanggung dikarenakan cinta. Sagala tahu, sangat tahu, bahwa istri tercintanya kini sedang mempertaruhkan nyawa. Demi melahirkan buah hati mereka. Di tengah-tengah belantara. Dalam kejaran polis Malaysia. Saat hujan mulai reda dari deru derasnya. Di atas rumput-rumput yang basah. Di antara samar-samar air mata.
Oh, betapa sesaknya napasmu wahai, Sagala! Menangislah. Dadamu pecah nanti. Manusia mana pun pasti akan melakukannya bila diperhadapkan dengan keadaan macam ini. Percayalah!
Sagala terisak-isak di ubun-ubun Hamida. Tak sanggup lagi dia sumbat air matanya. Ia ingin sekali meraung-raung tetapi tetap ditahannya agar sedapat mungkin tak dapat terdengar suaranya.
“Ujian macam apa ini, Tuhan?!” lirihnya dengan geraham yang saling menekan.