Tanggal muda di bulan yang baru menjadi waktu yang paling ditunggu para pekerja ladang. Meski gaji mereka boleh saja dibayarkan paling cepat di tanggal dua dan paling lambat tanggal delapan, tetap saja, menunggu hari gajian adalah hal yang paling membahagiakan. Mungkin karena jarang sekali meleset, harapan mereka pun naik tingkat menjadi sebuah keyakinan.
Hamida dan Sagala sebenarnya sudah menghitung perkiraan gaji mereka selama bekerja sebulan terakhir. Kedua orang tua Kamasean itu tercatat sebagai pekerja borongan. Hamida yang bekerja selasing atau memotong rumput, digaji berdasarkan blok yang dibersihkan. Satu blok dikerjakannya bersama belasan pekerja perempuan yang lain yang dihimpun dalam satu kelompok. Butuh waktu berhari-hari untuk menyelasaikannya. Dari situlah akan dihitung penghasilan keseluruhan lalu dibagi dengan kesebelas anggota yang lain.
Sama halnya dengan Sagala, Sagala yang bekerja sebagai penombak juga dibagi ke dalam kelompok beranggotakan enam orang. Setiap selesai memuatkan tandan sawit yang sudah dipanen ke dalam truk, mandor akan ikut menimbangnya di pabrik pengepul. Bayaran yang diterima Sagala dan kelompoknya tergantung dari berapa ton yang berhasil mereka tombak lalu hasilnya akan dibagi sama rata.
Bulan lalu, mereka hanya bisa mendapat upah lima ratus ringgit. Tiga ratus lima puluh dari upah Sagala dan seratus lima puluh dari upah Hamida. Jumlah yang terhitung memang sangat sedikit. Mungkin karena ladang yang mereka tempati bukanlah ladang milik perusahaan besar dengan buah sawit yang juga sudah sangat sedikit.
Kamasean berlari ke dalam rumah sambil memanggil ibunya. Hamida dan Sagala yang baru saja selesai makan selepas pulang dari ladang, melihat ke arah anaknya itu.
“Ayah! Ibu! Mandor Hasim suruh kalian ke rumahnya sekarang!” kata Kamasean sambil duduk mengatur napasnya.
Hamida tersenyum simpul. Ia sudah hapal bahwa panggilan mandor di awal bulan, apa lagi jika bukan perkara upah. Lain halnya dengan Sagala yang tetap melanjutkan makan dengan air muka yang tetap saja datar.
“Kita makan dulu, Kamasean. Lepas ini baru kita ke rumah mandor,” tukas Hamida.
Hamida menyodorkan piring ke arah Kamasean. Anak itu menerima piring dan mengambil nasi di panci perak, lalu menambahkannya dengan lauk ikan bilis dan sambal belacan. Cuma itu yang mereka bisa makan.
Selesai makan siang, mereka bertiga pun segera menuju rumah Mandor Hasim. Tersisa beberapa orang saja yang sedang menunggu giliran. Setelah dihitungkan jumlah hutang di buku catatan Macik Mahlia, istri Mandor Hasim, barulah dikeluarkan uang gajinya lalu dipotong sesuai jumlah utang.
Sagala dan Hamida menjadi orang yang terakhir datang. Sebenarnya gaji diberikan oleh pihak opis di pejabat ladang langsung kepada pekerja yang bersangkutan, tetapi Mandor Hasim bersikeras pada pihak pengurus ladang agar semua gaji pekerja yang dia bawa, Mandor sendiri yang berikan. Hutang sembako pekerjanya di kedai milik istri sang mandor ia jadikan sebagai alasan.
“Sagala, upahmu bulan ini empat ratus. Hamida dapat dua ratus,” ujar Mandor Hasim yang duduk di Sofa menghadap ke pintu sambil menghitung lembaran ringgit di atas meja tepat di sampingnya.
Sagala dan Hamida yang duduk di lantai dekat pintu mengangguk mengiyakan. Kamasean yang dilarang masuk oleh bapaknya hanya berdiri dari kejauhan sambil mencuri pandang ke dalam rumah Mandor Hasim.
“Namun, karena kalian ada ambil beras, ikan, sabun cuci, sabun mandi, dan barang-barang lain, nanti akan dipotong selepas Macikmu mengira semua harga,” tambah Mandor.
“Ini Macik sudah kira semua. Semuanya ada tiga ratus lima puluh ringgit untuk hutang kamu di kedai. Ada beras sepuluh kilo, kan? Ikan bilis lima kilo, sabun cuci lima kilo, sabun mandi, ubat gigi, ubat nyamuk dan lainnya,” jelas Macik Mahlia yang duduk di ujung meja berhadapan dengan suaminya. “Tetapi utang kalian juga masih ada dua ratus ringgit lagi ditambah dua ribu ringgit pekan lalu pengganti bayar denda kamu kan, jadi masih lagi ada dua ribu dua ratus hutang kamu. Nah, sekarang Macik mau ambil dua ratus lima puluh…,”
“Bolehkah, Macik, kami bayar bulan depan saja?” Hamida memotong.
“Tak punya malukah kamu, Hamida?” Macik Mahlia melotot ke arah Hamida sambil menunjuk wajahnya. “Kamu pikir macik ni tak tahukah? Kalau kamu macik kasih duit ni, mana kamu mau membeli di kedai macik lagi. Padahal kalian boleh hidup, boleh makan karena macik dan mandor masih berbaik hati sama kalian. Kalau bukan karena kebaikan hati kami ni, sudah busuk kalian semua di kurungan tu,” Macik Mahlia naik pitam.
“Bukan begitu, Macik…,” Hamida menjawab tapi tangannya digenggam erat oleh suaminya.
“Maaf, Macik, sila dipotong saja hutang kami juga,” Sagala menenangkan suasana.
“Nah, macam tu sajalah. Kau ni, Hamida…!” emosi Macik Mahlia mendadak turun. Ia menghitung uang di meja, memisahkan beberapa, lalu selembar uang lima puluh ringgit diberikan pada Hamida. “Ini saja kalian ambil. Kalau butuh beras dan yang lain, sila datang ke kedai. Macik pasti kasih.”
Hamida berdiri mengambil upah mereka yang kini tersisa selembar uang. Itu pun uang lima puluh ringgit saja untuk hasil memeras keringat selama satu bulan. Keringat dari sepasang suami istri yang berharap suatu saat bisa keluar dari jerat setan.
Sagala dan Hamida pulang ke rumah dengan hati yang perih. Kamasean dari belakang mengikuti. Bukan kali ini saja Macik Mahlia memperlakukan mereka seperti tadi. Hanya di tahun pertama kedatangan mereka sajalah pasangan itu terlihat baik. Selanjutnya mirip dengan perlakuan yang baru saja ia rasai.
Hamida sebenarnya tahu jawaban apa yang diberikan Macik Mahlia saat dirinya mencoba untuk kompromi. Namun, karena Hamida juga tak ingin jika tak mencoba, maka keluarlah lagi kalimat mutiara yang melenting kacau menggetarkan anting.
Sagala tak ingin bicara banyak. Ia lebih tahu daripada Hamida. Bagi Sagala, apa gunanya juga buang ludah membicarakan sesuatu yang sudah pasti akan ditolak. Itu sama dengan engkau mengharapkan es dari air yang kau rebus lama-lama.
Macik Napiah datang berkunjung. Beliau memang tak pernah mengetuk pintu. Langsung masuk dan ikut duduk di ruang tamu. Melihat Sagala dan Hamida menatap kosong sambil bersandar di dinding, orang tua itu sudah hapal apa yang baru saja telah berlaku.
“Sudahlah, Sagala, kalian tahu sudah kan bagaimana mereka tuh. Tak usah lagi dimasukkan ke hati,” Macik Napiah mencoba menenangkan.
“Terlampau kali kata-kata Macik Mahlia tuh, Macik. Macam kita ini bukan manusia saja,” Hamida menjawab dengan tatapan yang masih lurus ke depan.
Macik Napiah mendekatkan posisi duduknya ke arah duduk Hamida. Beliau mengelus punggung perempuan itu. “Mungkin begini sudah jalan hidup yang ditunjukkan untuk kita,”
“Tidak, Macik. Sudah berbelas tahun kita dibuat begini tanpa bisa melawan. Kita macam budaknya yang hanya boleh mendengar apa pun yang mau mereka cakap. Sudah lama dada ini panas, Macik. Lama betul sudah.” Ujar Sagala sambil beranjak dari tempat duduknya ke ruang dapur mengambil segelas air putih.
“Iya, Sagala. Itu betul. Tapi kita tak punya pilihan lain.” Pungkas Macik Napiah.