Macik Napiah diberitahu oleh Hamida keesokan paginya ketika mereka sedang berbaris mencatat kehadiran. Mereka memilih tempat paling belakang agar pembicaraan mereka tak didengar orang lain. Macik Napiah terkejut bukan main. Perempuan paruh baya itu tampak begitu senang.
Seperti biasa, sambil menunggu lori yang akan mengangkut mereka ke ladang masing-masing, semua pekerja pulang sekejap ke rumah mereka. Hamida membisiki Macik Napiah agar segera bersiap-siap sebab awal bulan depan, Mandor Hasim akan mengantarnya. Macik Napiah pun menyanggupinya.
Sepuluh hari kemudian, waktu gajian yang paling ditunggu Sagala pun tiba. Pekerja Mandor Hasim berdesakan di pintu rumah mandornya itu berharap gilirannyalah yang lebih awal. Lain halnya dengan Sagala dan Macik Napiah yang sengaja belum berangkat. Mereka menunggu di rumah Sagala. Kamasean ditugaskan untuk memantau antrian. Mereka baru akan beranjak jika barisan yang hampir bertumpuk itu sudah habis pulang.
Setelah dipastikan oleh Kamasean, Sagala pun keluar dari rumah diikuti Hamida dan Macik Napiah. Sagala mengetuk pintu Mandor Hasim lalu duduk di lantai dekat pintu di ujung sofa. Macik Napiah dan Hamida yang juga baru tiba, duduk di sebelahnya. Kamasean ikut mengintip dari kaca jendela.
Mandor Hasim yang kembali membuat asap dari rokok besarnya, duduk di sofa kesayangannya sambil mengikat uang yang tadinya masih berserakan. Tak ketinggalan pula Macik Mahlia yang bila berurusan dengan uang, ia selalu ikut ambil bagian.
Macik Mahlia menghitung kembali semua hutang Sagala dan Napiah sebulan ini. Sagala berhutang empat ratus sedangkan Macik Napiah seratus lima puluh ringgit. Masih lagi ada Hutang lain. Sagala tersisa seribu dua ratus lima puluh lalu Macik Napiah lima ratus ringgit.
“Gaji Sagala dan Hamida bulan ini enam ratus lima puluh, ya. Macik potongkan hutang bulanan jadi tersisa dua ratus lima puluh saja lagi. Si Napiah seratus lima puluh. Sisanya tujuh puluh lima ringgit lagi.” Bila soal menghitung hutang, Macik Mahlia memanglah tak pernah sekalipun salah. “ Tapi..,”
“Puan!” Sagala memotong. “Bolehkah bulan ini gaji kami tak dipotong? Kami mau guna untuk ongkos pigi Balung, Puan,” Sagala memohon.
Macik Mahlia melihat ke arah suaminya. “Baiklah! Tapi untuk sekali ini saja,”
Hamida dan Macik Napiah pun saling melirik. Senyum tersungging. Sagala berucap terima kasih.
“Malam ini aku akan antar kalian pigi Balung. Bawa barang yang diperlukan saja. Tak payah terlampau banyak. Biar nanti kereta di luar tuh cukup.” Ujar Mandor Hasim.
Mereka pun kembali ke rumah mengemas barang masing-masing. Kamasean yang sejak tadi berdiri di pintu merengek minta uang ketika Hamida sudah menginjak teras rumah Mandor Hasim. Namun, Hamida tak menggubris.
Melihat barang-barang yang sudah terkemas di teras rumah, jiran-jiran mulai berdatangan satu persatu. Mereka tak menyangka Sagala dan Macik Napiah ternyata akan meninggalkan mereka menuju ladang tempat kerja yang jauh. Maklum, mereka memang tak ingin banyak orang yang tahu.
Sesuai kesepakatan dengan Mandor Hasim, mereka pun berangkat selepas isya. Barang mereka yang memang tak banyak dengan mudah bisa muat ke dalam bak mobil yang terbuka. Mereka tak lupa menyiapkan terpal untuk berjaga-jaga jika hujan turun tiba-tiba.
Bertahun-tahun hidup dengan nasib yang sama, membuat kepergian Sagala dan Macik Napiah penuh dengan pelukan dan tangis. Namun, apa hendak dikata lagi, barangkali inilah upaya terakhir yang bisa mereka lakukan untuk bisa menyelamatkan mimpinya masing-masing. Jika memang terbukti benar berita yang Sagala terima, boleh jadi dua tiga bulan di hadapan, mereka akan berjumpa kembali di tempat kerja yang baru dengan upah yang lebih baik.
Mandor Hasim sudah masuk ke ruang kemudi. Macik Mahlia juga ikut menemani. Ia duduk di samping sang suami. Empat orang yang akan diangkutnya di bak belakang juga sudah naik. Jiran yang berkumpul melepas kepergiannya ikut membantu mengikatkan terpal pada tepian bak mobil agar tak mudah terbawa angin.
Lambaian tangan mengiringi kepergian mereka. Begitu pula doa-doa baik. Perih juga rasanya meninggalkan orang-orang yang sudah lama hidup berdampingan dengan kita. Hamida menggenggam tangan Sagala yang meskipun mobil sudah jauh meninggalkan ladang, masih saja menatap kosong ke arah belakang mobil. Kamasean yang diapit oleh Hamida dan Macik Napiah diminta memakai jaket tebal yang sengaja dibelikan untuknya dari penjual rombengan di pasar gaji tadi.
Mobil diberhentikan sekejap oleh Mandor Hasim ke pinggir jalan yang jauh dari pemukiman. Macik Mahlia menengok ke belakang, “Sembunyi sudah kau, ya!” Beliau memberi aba-aba.
Seketika Sagala menarik ujung terpal dan mengangkatnya tinggi-tinggi. Mereka semua harus tidur di lantai mobil. Ia meminta Hamida dan Macik Napiah masuk ke bawahnya sambil membawa bantal agar bisa lebih nyaman bersembunyi. Bila ada pemeriksaan polis di jalan, mereka tak dibolehkan bergerak walau sedikit. Jika tidak, mereka akan ditangkap dan kena denda lagi.
Sagala memegangi ujung terpal dengan genggaman yang kuat. Ia memang tak akan tidur dalam perjalanan. Sama seperti saat pindah ladang yang sebelum-sebelumnya. Selama empat belas tahun di Sabah, sudah lima ladang yang mereka singgahi mencari sesuap nasi. Semuanya ladang sawit. Hamida dan Macik Napiah akan bekerja sebagai tukang potong atau tukang semprot rumput sedangkan Sagala akan bekerja menombak sawit jika sawit. Jika tidak sedang berbuah, ia akan bekerja sebagai tukang tanam. Selalu demikian.