Kamasean; Yang Basah di Sabah

S. Marindra
Chapter #6

Chapter 6: Sekolah Sudah Buka

Mobil tiba di ladang tujuan mereka sesaat setelah azan subuh berkumandang. Mereka dijemput oleh Pacik Jumaan, kenalan Sagala di luar gerbang. Hamida lalu membangunkan Kamasean sedangkan Macik Napiah dan Sagala sibuk menurunkan barang bawaan. Mereka langsung membawanya masuk ke dalam rumah yang akan menjadi rumah mereka bersama untuk sementara. Kamasean yang baru bangun itu dengan sigap langsung ikut mengangkat tas berisi pakaian.

Mandor Hasim langsung pulang begitu semua pekerjanya itu selesai menurunkan barang. Mandor hanya bilang akan kembali siang nanti untuk berjumpa dengan manajer ladang.

Setelah semuanya beres, Sagala dan anak istrinya beserta Macik Napiah langsung berbaring di ruang tamu. Rasa badan seperti sudah remuk. Tak ada yang lebih nikmat selain menidurkan tubuh. Namun, karena mereka belum lagi salat subuh, dengan langkah yang berat, Sagala memimpin mereka ke belakang untuk berwudu, solat berjamaah lalu sesaat setelah kata ‘amin’ pada doa mereka lafalkan, mereka sama-sama larut dalam tidur.

Seperti halnya di ladang-ladang yang lain, pukul enam para pekerja harus mencatatkan kehadiran mereka dengan berbaris di lapangan. Namun untuk hari ini, tiga calon pekerja itu belum bisa ikut mencatatkan kehadiran. Selain memang teramat lelah, mereka juga baru tiba dan belum dipertemukan dengan manajer ladang.

Menjelang siang, Pacik Jumaan membawa Mandor Hasim dan tiga calon pekerja itu menghadap manajer. Tuan manajer hanya memberi syarat mereka diterima yakni harus membuat paspor dan mengajukan permohonan visa izin tinggal. Mandor Hasim menyetujuinya dan langsung menanyakan gaji pekerjanya nanti. Tuan Manajer menjawab bahwa mereka akan digaji sesuai standar gaji yang berlaku di negara ini.

“Tapi diorang harus punya paspor dan visa dahulu. Sebelum mereka dapat itu, mereka hanya digaji sesuai kerja diorang.”

“Baiklah, Tuan. Saya serahkan semuanya pada Tuan. Bila nanti ada apa-apa hal yang berlaku, tuan beritahu saja pada saya,” ucap Mandor Hasim mantap.

Sagala dan istrinya beserta Macik Napiah diberi izin untuk mulai bekerja besok hari. Tapi karena akan ada acara peresmian sekolah, maka besok semua pekerja dan pegawai akan diberi cuti.

“Besok Pak Konsul kalian akan datang kemari merasmikan sekolah untuk anak-anak pekerja kita yang berasal dari Indonesia. Semua pekerja dan pegawai syarikat dijemput hadir untuk acara itu besok.”

‘Sekolah itu apa, Mak?” Kamasean yang ikut duduk di samping ibunya itu bertanya. Selama ini Kamasean memang belum pernah mendengar perihal sekolah. Semua ladang yang pernah mereka tempati bekerja tak pernah ada yang menyediakan sekolah bagi anak-anak seperti dirinya.

Pacik Jumaan yang duduk di sebelah manajer tersenyum ke arah Kamasean. Ia paham jika anak di hadapannya ini benar-benar belum pernah merasakan bangku sekolah. “Sekolah itu tempat belajar, Nak!” jawabnya.

“Belajar apa saja, Pacik?” tanya Kamasean lagi.

“Banyak. Kau boleh belajar membaca, menulis, berhitung, belajar berbahasa, belajar tentang bumi, sejarah dan alam luas ini,” Pacik Jumaan menjelaskan. Manajer tersenyum mendengarkan.

“Bolehkah saya belajar di sekolah itu, Tuan?” Kamasean bertanya langsung pada manajer. Sagala menatap anaknya tajam tapi berusaha dia sembunyikan dengan senyuman yang seadanya.

“Boleh sangat. Kau datanglah besok,” kata manajer.

Betapa gembira hati Kamasean mendengar jawaban itu. Bahkan hingga pulang ke rumah yang mereka tempati semalam hingga pindah ke rumah baru yang bersebelahan dengan rumah untuk Macik Napiah pun, Kamasean tak henti-hentinya bertanya pada sang ibu.

Lihat selengkapnya