Selepas acara pembukaan sekolah, Alya diantar oleh Pacik Jumaan menuju rumah yang akan ditinggalinya. Rumah panggung dengan kolong setinggi dada. Kamarnya ada dua. Dengan tandas di ujung belakang bersebelahan dengan dapur. Mereka harus melewati gerbang yang dijaga oleh seorang lelaki berwajah datar dengan rambut sebahu. Sekeliling area itu dikelilingi oleh pagar yang memisahkan dengan area rumah pekerja. Di sana jugalah tinggal para staf dan para petinggi ladang selain rumah manajernya.
Alya menghempaskan tubuhnya di atas kasur ketika barang sudah dimasukkan semua ke dalam rumah dan Pacik Jumaan sudah pulang. Tak lama kemudian, Alya bangkit lagi menuju sebelah pintu kamarnya menghidupkan kipas angin yang tergantung. Jika tak diusir dengan benda yang satu itu, manalah hawa panas Tawau lari menghilang.
Tak pernah sedikitpun terlintas di benak Alya tentang dirinya akan berada di tempat ini. Lima bulan lalu ketika kawannya memberi kabar tentang perekrutan guru untuk mengajar anak-anak Indonesia di Malaysia, Alya tak pernah tertarik. Namun, ketika dirinya tidak lagi tahu akan ke mana mengalihkan pikiran, dengan terpaksa ia ikut mendaftar daring. Tanpa diduga, dari sekian banyak kawannya yang mencoba, Alya satu-satunya yang dinyatakan berhasil.
Beberapa bulan belakangan ini, guru baru itu telah hilang kontak dengan orang yang paling didambakannya. Bertahun-tahun mereka telah mengikat janji tentang kelak akan menjadi sepasang yang halal. Tujuh tahun tepatnya. Terhitung sejak mereka kuliah hingga melamar kerja di sekolah yang tiga tahun belakangan ini telah ditempatinya bekerja.
Lelaki itu telah pamit pulang ke kampung halamannya. Alya tidak dibawanya serta. Gadis itu ditinggalkannya di Jogja. Si lelaki menjanjikan akan membicarakan hubungan mereka pada kedua orang tuanya. Termasuk meminta restu untuk segera menikah. Namun, berminggu-minggu bahkan kini telah lewat beberapa bulan pun, lelaki itu tak ada kabar berita.
Alya masih sempat dihubunginya ketika lelaki itu telah tiba di Makassar, Kota Daeng. Pun setelah dia dalam perjalanan menuju kampung. Kabarnya sempat hilang selama dua hari tetapi setelah itu Alya masih mendapat panggilan. Katanya di kampung halaman tak ada jaringan. Lelaki itu harus menuju pinggiran kota terlebih dahulu agar bisa menelepon.
Itulah kali terakhir Alya mengetahui kabarnya si lelaki. Berulang kali, berpuluh kali, bahkan ratusan kali Alya coba menghubungi, tetapi nomornya tak pernah bisa tersambung lagi.
Lima bulan terakhir, Alya seperti orang yang hampir gila. Pikirannya dipenuhi spekulasi yang semuanya hanya menambah remuk perasaannya. Barangkali lelaki itu memang tak lagi mengingatnya. Barangkali orangtuanya tak memberi restu menikah. Barangkali dia mengalami kecelakaan. Barangkali dia mati tiba-tiba dan tak ada yang memberi berita. Atau mungkin lelaki itu telah menikah dan takut mengabarinya. Semua dugaan itu hanya semakin membuat perih dada Alya.
Ingin mencoba berdamai dengan keadaan, Alya akhirnya menyanggupi berangkat ke Sabah dan akhirnya ditempatkan di distrik Tawau. Meskipun, kedua orangtuanya di Jogja tak memberi izin sebab ia adalah anak satu-satunya, tetapi akhirnya luluh rela melepas anak semata wayangnya itu.
Pagi menjelang, Alya mengumpulkan anak-anak muridnya di aula. Hari ini adalah pertama kalinya tempat belajar itu akan dibuka. Aula yang dimaksud hanyalah ruang tamu berukuran enam kali enam dari sebuah rumah panggung. Dua puluh tujuh anak berkumpul. Baju yang dikenakannya beragam. Mereka belum lagi punya seragam.
"Ada yang sudah pernah sekolah sebelumnya?" tanya Cikgu Alya.
Beberapa orang angkat tangan "Kami sekolah di sekolahnya Pak Thomas, Cikgu!" ujar Adrianus, anak berkulit lebih gelap dengan hidung mancung dan rambut yang ikal.
"Ada lima orang, ya! Ada lagi?" Cikgu Alya melanjutkan.
Tak ada lagi yang mengangkat tangan.
"Baiklah. Berarti yang lima orang tadi bisa bantu ibu guru ajar teman yang lain membaca, ya?!"
Adrianus angkat tangan lagi. "Boleh, Cikgu! Tapi saya ni baru boleh baca sikit-sikit saja. Belum boleh baca laju-laju."
Cikgu Alya tersenyum mendengar logat Upin-Ipin versi anak-anak itu.
"Yang boleh baca itu, saya saja, Cikgu. Kawan lain belum boleh pun!" Sambung Adrianus, "Si Hamizan tuh paling beballah. Syafika lebih-lebih. Iqram sama Hamizan lebih teruk lagi."
"Iyalah palek, kamu saja yang boleh. Boleh mengeja, kan? Mengeja salah-salah pun!" Anak bernama Hamizan itu membalas Adrianus. Aula itu riuhlah dengan tawa anak-anak.
"Cikgu!" Kamasean mengangkat tangan "Boleh tanya sikit, Cikgu?"
Alya mempersilakan.
"Aku ni belum pernah bersekolah, kan. Umur sudah tiga belas tahun. Masih bolehkah saya ikut sekolah ni, Cikgu? Kelas berapalah pula kami nanti?"
Alya menjelaskan bahwa semua yang hadir di situ punya hak ikut belajar di sekolah. Umur bukan masalah. Nanti kalau umurnya sudah lewat dua belas tahun, mereka akan diikutkan untuk ujian Paket A di tahun berikutnya.
Hari pertama, Cikgu Alya belum memberikan materi pelajaran. Beliau hanya meminta anak-anak pulang ke rumah membawa kertas dan pulpen untuk mengisi nama lengkap murid-muridnya itu beserta nama ayah ibu beserta tempat tanggal lahirnya. Anak-anak saling pandang. Orangtua mereka masih di ladang. Mereka baru akan pulang dari ladang sawit sekitar jam dua siang. Cikgu Alya paham. Jadilah hari itu hanya sebagai hari perkenalan.
Dari dua puluh tujuh siswa, ternyata dua puluh orang yang orangtuanya dari Sulawesi Selatan. Sukunya Bugis dan Makassar. Tujuh orang lainnya bersuku Timor dari Nusa Tenggara Timur.
Sambil sesekali merapikan pasminanya, Cikgu Alya dengan seksama memperhatikan satu persatu anak muridnya itu. Lalu terbitlah pertanyaan dalam benaknya; bagaimana jadinya jika ladang tempat mereka bekerja ini tak menyediakan sekolah? Apa mungkin di lain tempat di negeri jiran ini, ada banyak tenaga kerja dari negaranya yang tak punya kesempatan mengecap bangku sekolah? Seperti apalah mereka akan mengenal negaranya?
Selepas semuanya memperkenalkan diri, Cikgu Alya bertanya tentang siapa saja yang pernah pulang ke kampung halaman orangtuanya.
Hanya dua orang yang angkat tangan. Syafika dan Hamizan. Yang lain belum pernah pulang.