Kamasean; Yang Basah di Sabah

S. Marindra
Chapter #8

Chapter 8: Perjuangan Dimulai

Hampir setiap malam selama berminggu-minggu di Tawau, Alya tak juga bisa memejamkan mata sebelum tengah malam. Ia memang sibuk mempersiapkan bahan ajar untuk keesokan hari untuk murid-muridnya, tetapi ia bisa menyelesaikannya begitu azan isya mulai berkumandang. Rutinitas selanjutnya pasti ia akan menerima panggilan video dari ibunya. meskipun pembicaraannya selalu seputar pertanyaan tentang keadaan juga jenis menu masakan. Selepas itu, ia hanya akan sibuk dengan ponsel genggam, mengintip instagram atau sekedar menonton rangkuman film.

Kegiatannya yang terakhir selalu akan berakhir tepat jam dua belas malam. Alya sengaja memasang alarm pada jam tersebut untuk mengingatkannya segera bersiap tidur. Tetapi mata yang selalu tak bisa diajak berkompromi membuatnya harus mencari kegiatan yang bisa membuatnya mengantuk. Maka dipilihnyalah membeli kertas origami di bandar Tawau beberapa hari yang lalu. Sambil berbaring di kamar depan, tepat di hadapan lemari cokelatnya tempat karpet empuk ia hamparkan. Alya tak suka tidur di ranjang. Kasur terasa panas baginya meskipun malam di Tawau akan terasa dingin juga selepas tengah malam. Namun, bahkan hingga pagi pun, ia tetap memilih tidur di karpet andalannya dengan kipas yang anginnya dipantulkan ke arah dinding di sebelah kanan.

Jika origami pertama telah selesai dan belum juga membuat kantuknya datang, Alya akan mengambil kertas kedua, ketiga, dan selanjutnya hingga dirasa matanya sudah mulai berat.

Pagi ini Alya akan mengetes murid-muridnya. Beberapa minggu ini, semua muridnya diberi pelajaran membaca dan menulis saja. Meski telah dibaginya kelas berdasarkan umur tetapi tetap saja ia belum boleh mengajarkan materi sesuai kelas anak didiknya. Lagipula apa yang bisa ia berikan jika kemampuan dasarnya belum juga selesai.

Bersyukurnya, anak-anak itu kini sudah mulai bisa menulis sesuai yang ditulis Alya di papan. Meskipun harus susah payah membacanya, paling tidak anak-anak itu sudah mulai menunjukkan perkembangan.

Empat orang murid yang sudah didaftarkan ikut paket A dipanggil oleh Alya. Tulisan mereka diperiksa satu persatu; Kamasean sudah meniru tulisan dengan rapi, begitu juga Hamizan. Tulisan Syafika masih sulit dibaca sebab antarkata belum jelas pemisahnya. Sedangkan Adrianus masih kesulitan menulis huruf yang punya lengkungan.

Alya juga mengetes kemampuan membaca mereka. Hamizan sudah bisa menyambung kata tanpa mengeja. Adrianus dan Kamasean masih belajar menyambung persuku kata sedangkan Syafika belum juga mengenal semua huruf bahkan angka.

Tahun depan mereka sudah akan ikut ujian. Bulan april mendatang. Sekarang sudah akhir tahun. Tersisa empat bulan. Tak ada cara lain, keempat anak itu harus diberikan pelajaran tambahan. Alya pun meminta anak-anak itu datang ke rumahnya setelah magrib untuk belajar setiap malam.

Kamasean begitu bersemangat memberitahukan kepada ibunya perihal persiapan ujiannya yang mengharuskan ia dan ketiga temannya harus belajar malam di rumah Cikgu Alya ketika kedua orangtuanya itu sedang makan sepulang dari ladang. Hamida terlihat ikut senang mendengar tetapi tidak dengan Sagala. Lelaki itu hanya memperhatikan nasi di piringnya seolah tak mendengar apa yang dikatakan anak semata wayangnya. Kamasean memandang ibunya lalu perempuan yang wajahnya masih terbakar matahari itu memberinya isyarat agar melanjutkan saja makan.

Bermula malam itu, Kamasean dan ketiga temannya rutin mengunjungi rumah Cikgu Alya. Meski harus melewati pos jaga Pacik Hamidi yang berwajah datar cenderung sangar, mereka tetap berusaha tak gentar.

Sebenarnya Cikgu Alya sudah memberi tahu penjaga itu agar mengijinkan keempat muridnya lewat sebab ada jam belajar malam. Namun, tetap saja setiap anak-anak itu datang, selalu diinterogasi bak orang-orang yang mencurigakan.

Di lain waktu, Pacik Hamidi kadang pula bersikap ramah jika anak-anak membawa kantongan berisi makanan. Namun, tidak akan mungkin pula mereka akan membawakan Pacik Hamidi setiap malam. Tak tega juga rasanya anak-anak itu meminta pada ibu bapaknya di setiap petang.

Sesampainya di rumah Cikgu Alya, biasanya ibu gurunya itu masih menelepon di kamarnya dengan mukena dan sajadah yang belum dirapikannya. Menguping pun rasanya tak ada guna. Sedikit pun anak-anak itu tak mengerti bahasa Jawa. Yang mereka tahu, pengucapannya begitu halus mendayu-dayu indah. Kamasean dan kawannya akan menuju dapur mencari-cari piring atau wajan yang masih belum dicuci di sana. Dalam sekejap, berbunyi-bunyianlah piring, sendok, dan wajan di westafel diiringi dengan suara air yang mengalir keras dari kran.

Sebetulnya Cikgu Alya seringkali melarang anak-anak itu melakukannya, tetapi mereka tetap saja mengulanginya. Katanya, itu pekerjaan yang memang sering dibuat di rumah.

"Biar berkah ilmunya kata ibu," begitu ucap Hamizan.

Hampir empat bulan lamanya kegiatan rutin itu dijalani oleh Kamasean dan kawan-kawannya. Hujan pun tak menyurutkan mereka. Bahkan demam yang masih bisa ditahankan pun masih lagi tak membuat mereka alpa. Alhasil, sebelum tiba masa ujian, keempat murid itu sudah bisa membaca. Tulisannya pun sudah rapi. Begitu pula dengan matematika dasar semisal mengali, membagi, mengurang dan menambah bukan lagi masalah.

Kamasean, Hamizan, Syafika dan Adrianus pun akhirnya lulus paket A dengan nilai yang cukup. Rata-rata nilai mereka hanya tujuh puluh. Cikgu Alya bilang itu tak apa. Yang penting sekarang mereka sudah siap dan memenuhi syarat lanjut SMP.

Malam setelah pengumuman, keempat murid itu datang berkunjung ke rumah Cikgu Alya. Semuanya dikawankan kedua orangtuanya kecuali Kamasean yang hanya ditemani sang ibu, Hamida.

"Kami berterima kasih sekali ini, Cikgu. Kalau bukan karena Cikgu, manalah anak-anak kami ini bisa sekolah," ujar Pacik Sylvester, bapak Adrianus.

Alya hanya tersenyum sambil meminta anak-anak mengambil minuman di lemari es untuk mereka. Syafika disuruhnya mengambil kue di atas meja.

"Tak payah susah-susah, Cikgu!" Ibu Hamizan mencoba basa basi.

"Tak apa, Macik,” Alya menata kue di hadapan tamunya. “Anak-anak kita ini boleh sampai lulus karena kemauan dan usaha mereka memanglah besar. Saya cuma membantu," imbuhnya.

"Betul juga, Cikgu. Tapi anak-anak ini juga senang kemari karena pasti diperlakukan baik juga sama cikgu," Bapak Syafika menyela.

Alya melanjutkan tentang pendaftaran keempat anak itu ke SMP. Karena pihak konsulat memberi izin membuka kelas jauh. Mereka dibolehkan memberi pelajaran setingkat SMP. Kelak jika mereka akan tamat, barulah akan ujian di SMP induk.

Lihat selengkapnya