Tahun ajaran baru membuat siswa Cikgu Alya bertambah belasan. Minggu pertama terasa betul baginya sangat kelelahan. Jika sebelumnya ia masih terbantu oleh murid-murid yang sudah pandai membaca menjadi tutor sebaya untuk yang belum pandai, kali ini sepertinya tak bisa seperti itu lagi.
Anak-anak kini sudah Cikgu Alya bagi ke dalam kelompok kelas berdasarkan umur. Meski yang paling banyak adalah murid kelas satu yang kini sudah dinaikkan ke kelas dua, tapi kelas tiga hingga kelas tujuh sudah harus belajar sesuai kurikulum.
Siswa yang mendaftar berjumlah lima belas orang. Ditambah dua puluh tujuh siswa sebelumnnya, total jumlah muridnya kini menjadi empat puluh dua orang. Kamar rumah yang difungsikan sebagai sekolah itu hanya ada dua. Alya membagi tiap kamar untuk dua kelas. Kelas lima dan kelas enam dengan murid yang hanya lima orang ditempatkan di kamar depan. Kelas tiga dan empat yang muridnya ada delapan orang di kamar belakang. Ruang dapur dikhususkannya untuk keempat muridnya yang sudah SMP. Ruang tamu yang memanjang akhirnya digunakan khusus untuk kelas satu dan dua yang memang jumlahnya lebih banyak. Kelas satu berjumlah lima belas orang dan kelas dua dengan sepuluh orang murid.
Alya setengah mati bolak balik memberi pelajaran pada anak muridnya. Kelas satu dan dua akan diberinya tugas yang pertama. Alya minta mereka menulis di buku masing-masing apa yang Alya tulis di papan tulis yang di bagian tengahnya diberi garis pemisah. Sebelah kiri untuk kelas satu dan yang kanan untuk kelas dua.
Setelah itu ia akan masuk di kamar pertama memberi materi untuk kelas tiga dan empat, lalu ke kamar kedua untuk kelas lima dan enam. Terakhir, barulah anak-anak SMP akan diberinya pelajaran.
Setelah selesai dengan murid SMP, Alya akan kembali ke ruang tamu mengecek hasil kerja murid-muridnya, lalu berputar ke kelas di kamar satu, kamar dua lalu ke kelas di ruang dapur.
Alya hanya mampu memberikan pelajaran paling banyak dua dalam satu hari. Untuk melanjutkan ke pelajaran ketiga, sepertinya ia sudah terlampau capai. Menyadari keterbatasan dirinya, Alya akhirnya memberanikan menulis surat permintaan guru bantu ke manajer ladang. Saat Alya mengantarkannya ke opis, manajer sedang keluar dan sekretaris yang juga tetangganya di mes yang menerima.
"Iya, kan, kesian juga kita Cikgu kalau sendirian mengajar budak-budak tu. Kalau aku manalah sanggup," seloroh Kak Rita.
"Itulah tuh, Kak, aku minta tambahan guru. Semogalah dikabulkan." Harap Alya.
Kak Rita berjanji akan menyampaikan surat itu pada manajer setelah beliau pulang. Perempuan yang umurnya tak berbeda jauh dari Alya itu pun akan mencoba cara agar permintaan Cikgu Alya dikabulkan.
Alya pulang ke rumah melewati mes pekerja. Anak-anak memanggil-manggilnya singgah ke rumah. Alya hanya tersenyum menanggapinya.
Di ujung lorong pekerja, rumah sebelah kanan, Kamasean duduk di bale-bale sambil memandang kosong ke arah pucuk sawit tak jauh di hadapan. Anak itu masih dilanda resah sebab tak tahu harus bikin apa lagi agar dirinya bisa mengumpulkan uang untuk pulang ke Makassar nanti. Belum lagi seragam sekolah yang sudah harus dibayarnya pada Cikgu Alya. Uang enam puluh ringgit saja bagi keluarganya bukanlah jumlah sedikit.
Bulan lalu bapak dan ibunya sudah dapat tiga ratus ringgit masing-masing. Totalnya enam ratus ringgit. Tapi hutang sembako pada mandor Hasim harus dibayarnya sebanyak empat ratus ringgit. Belum lagi hutang yang dibayar sedikit-sedikit. Bulan lalu diambilnya dua ratus ringgit oleh mandor Hasim. Tersisa seratus ringgit lagi. Itulah yang digunakan belanja sehari-hari selain sembako untuk satu bulan ini.
Macik Napiah yang kini jadi penjaga budak pun mendapat gaji yang sama. Tiga ratus ringgit juga. Beliau tak perlu mengangkat tandan sawit atau pompa maupun pupuk di ladang, tetapi menjaga belasan budak yang belum lagi mampu mengurus dirinya sepertinya jauh lebih melelahkan. Menyuap mereka satu-satu, apalagi jika budak-budak itu bergantian berak di celana sebab tak pakai popok, ditambah lagi jika ada yang sedang bertengkar. Makin peninglah kepala Macik Napiah.
Melihat Kamasean, anak yang dirawatnya sejak proses lahiran di hutan itu, kini sudah berseragam putih biru, Macik Napiah kadang tak mampu membendung air matanya menyaksikannya dari jauh. Kamasean yang hampir mati di tengah hutan, lalu diberi nyawa ketiga di penjara, kini telah tumbuh dengan binar harapan yang mulai ia coba pikul di atas bahu. Macik Napiah bisa melihat itu.
Ketika dilihatnya Kamasean sendirian merenung di samping rumahnya, Macik Napiah memanggil. Anak itu menoleh lalu dengan segera berlari. Kamasean diminta membantu Macik Napiah menyuapkan nasi. Beberapa bayi belum bisa makan sendiri. Macik Napiah memindahkan beberapa bayi yang pulas kekenyangan ke dalam kamar. Anak anak yang sudah tiga tahun lebih disuruhnya main di bawah agar tak menganggu mereka yang tidur.
"Kau bikin apa tadi itu, Kamasean?"
"Tidak, Macik! Saya cuma pikir macam mana balik Makassar nanti. Saya mau sekolah di sana," jawab Kamasean sambil menyuapkan nasi lagi untuk bayi yang ketiga di hadapannya.