Kamasean; Yang Basah di Sabah

S. Marindra
Chapter #10

Chapter 10: Menjadi Penakluk

Kamasean berubah menjadi anak pendiam. Ia tak lagi sering bergabung dengan teman-temannya entah bermain guli atau main gambar di halaman. Ia kini lebih suka duduk di balai-balai samping rumahnya di bawah teduh pohon kersen. Yang ia pikirkan hanyalah bisa dapat pekerjaan. Saran dari Macik Napiah sedang ia timbang-timbang. Namun, ke kedai Ah Long sendirian menanyakan pekerjaan sepertinya tak sanggup ia lakukan. Minta bantu sama ibu pun ia takut. Apalagi sama bapaknya minta dikawankan. Tak mungkin.

"Kamasean, kawankan aku ke kedai, yuk!" Adrianus datang menepuk pundaknya. "Disuruh beli nombor aku sama bapakku."

Membeli nomor togel di sini adalah barang biasa. Tak sedikit pekerja ikut mengadu keberuntungannya. Biasanya disisihkan lima atau sepuluh ringgit tiap minggu untuk membeli nomor di kedai Ah Long yang memang sudah lama menjadi rahasia bersama. Meski sudah berkali-kali digerebek polis karena menjadi agen tak resmi, tetap saja kedai itu menjual nomor togel kepada pekerja. Pelanggannya pun senang saja. Daripada harus ke agen resmi di bandar, sudahlah jauh, harus bayar pula ongkos bus sepuluh ringgit pulang balik ke sana. Lebih baik ongkos itu dibelikannya langsung di kedai Ah Long saja. Begitu pikir mereka.

Kamasean yang memang sedang mencari kawan itu langsung beranjak mengiyakan. Beruntungnya, di kedai itu Ah Long sendiri yang menjaga. Secarik kertas berisi nomor pilihan serta nama bapaknya langsung diserahkan Adrianus pada pemilik kedai di hadapannya. Tak lupa juga Adrianus menyerahkan uang. Ah Long paham. Dia memberi simbol jempol.

Ketika Adrianus sudah mengajak pulang, Kamasean menahan tangannya.

"Ah Long, bolehkah saya kerja di sini?" Adrianus kaget mendengar pertanyaan Kamasean pada Ah Long.

"Oi, kau masih budak a. Mana boleh kelja sini."

Saran Macik Napiah ternyata ...

"Tapi Ah Long ada kawan yang cali olang. Kau coba pigi sana."

Mata Kamasean berbinar-binar.

"Tapi nanti petang saja kau pigi. Itu sana rumah Pacik Yahya."

Bukan main senangnya Kamasean.

"Kau betul-betulkah mau cari kerja?" Adrianus masih penasaran dengan kawannya itu.

Sambil menendang-nendang kerikil di jalan, Kamasean mengiyakan kawannya itu.

***

Pacik Yahya baru saja pulang dari ladang ketika Kamasean tiba di rumahnya. Lelaki berambut putih dengan tubuh agak berisi itu mempersilakan Kamasean naik ke rumah panggungnya. Di kolong rumah, 3 buah mobil terparkir sejajar. Dua mobil putih dengan bak terbuka dan satu mobil sedan berwarna hitam.

Kamasean pergi diam-diam tanpa memberitahu sesiapa. Ketika memulai pembicaraan dengan Pacik Yahya, ia juga meminta agar tidak memberitahu pihak ladang tempat ia tinggal apalagi memberitahu ibu bapaknya.

Awalnya Pacik Yahya berpikir itu tak mungkin dilakukannya. Namun, ketika Kamasean mulai bercerita tentang alasannya ingin bekerja, Pacik Yahya terdiam sejenak.

Pacik Yahya lalu bercerita tentang kebunnya yang sudah tak bisa ia urus. Kebun durian yang ditanam tumpang sari dengan rambutan dan salak itu terlalu luas. Itulah yang membuatnya memutuskan mencari pekerja sejak tiga hari yang lalu. Ah Long orang satu-satunya yang dia ceritakan tentang rencananya itu. Dan, Kamasean ternyata bertanya pada orang yang tepat. Pacik Yahya sebenarnya tak ingin mengambil Kamasean jadi pekerjanya. Kebunnya yang lima hektar tak mungkin bisa dikerjakannya.

"Pacik ni tergerak sama cita-cita kau, Nak. Kau boleh ikut kerja sama pacik. Tapi pacik hanya boleh bagi kau satu ratus dua puluh ringgit saja dalam sebulan. Kau datanglah tengok tengok kebun tuh. Kau bersihkan pokoknya dari rumput. Nanti yang semprot, pacik panggil orang besar saja," pacik akhirnya menerima Kamasean bekerja di kebunnya.

"Kalau sudah tiba musim buah, barulah pacik akan bagi kau upah lebih. Untuk sementara kau datang ke kebun dalam tiga hari seminggu saja. Tak payah lama-lama. Satu atau dua jam kau bersihkan, cukuplah itu."

Kamasean senang bukan main. Diciumnya berkali-kali tangan Pacik Yahya. Akhirnya, bersambut jua harapan yang ia rindukan. Sekarang, ia akan memiliki pegangan sendiri untuk cita-citanya tanpa menyusahkan siapapun.

Keesokan harinya, setelah ibu bapaknya berangkat ke ladang dibawa oleh lori, Kamasean pun berangkat ke ke rumah Pacik Yahya. Ia akan diantar ke kebun tempat kerjanya. Kira-kira tak sampai satu kilometer saja jaraknya dari rumah. Kamasean pun bilang ia bisa menempuhnya berjalan kaki. Maka di hari-hari selanjutnya, Kamasean pun mulai rutin bekerja membersihkan kebun dengan berjalan kaki dua kilometer pulang pergi.

Rutinitas Kamasean menjadi berubah. Sebab harus mengejar tiga hari kerja, ia terpaksa harus absen juga masuk sekolah tiga hari dalam seminggu. Hari ahad tak akan mungkin digunakannya bekerja. Bapak dan ibu akan libur di hari itu dan jelas akan ketahuan jika ia harus pergi ke kebun. Hari jumat pun tidak boleh ia gunakan, pekerja ladang akan pulang lebih awal sebelum azan jumat berkumandang. Maka dipilihnyalah hari senin, rabu dan sabtu untuk bekerja, lalu selasa, kamis dan jumat untuk sekolah.

Minggu pertama, rencananya belum tercium oleh Cikgu Alya. Kamasean terpaksa berbohong sedang sakit di hari kerjanya. Namun, pada minggu kedua, ia tak bisa lagi menghindar. Cikgu Alya berbekal informasi dari Adrianus, menemukannya di jalan sehabis dhuhur ketika Kamasean baru saja pulang dari kebun tempatnya bekerja.

Cikgu Alya hanya tersenyum dan memberinya pertanyaan basa-basi seolah belum tahu dari mana Kamasean. Muridnya itu lalu diminta ke rumah Cikgu Alya malam nanti bersama Adrianus, Syafika dan Hamizan. Kamasean hanya bisa mengiyakan.

Lihat selengkapnya