Setiap kali akan tidur, Kamasean memandangi peta ASEAN di dinding kamar. Tanda panah dari kota Tawau menuju Kuala Lumpur lalu dari Kuala Lumpur menuju Makassar diikutinya dengan ujung telunjuk kanan. Setelah itu ia akan kembali ke Kota Tawau mengikuti tanda panah lain yang mengarah ke Tarakan. Panah selanjutnya dari Tarakan menuju Balikpapan. Terakhir, tanda panah dari Balikpapan menuju Makassar. Entah rute yang mana yang akan ditempuhnya kelak.
Kamasean akan mulai berbaring di kasurnya jika ritualnya itu telah selesai ia tunaikan. Ia akan menatap langit-langitnya yang kusam sambil berharap semua rencananya sesuai dengan harapan.
Setiap jam dua malam, seseorang akan mengendap-endap masuk ke kamarnya. Duduk sejenak di samping bantal dan menatap lekat-lekat wajah anak itu. Orang itu seringkali menjatuhkan air mata. Ketika dirasanya ia tak mampu menahan isak tangis, kakinya akan beranjak meninggalkan kamar itu.
Setelah kedatangan Cikgu Alya ke rumah, Kamasean tak pernah lagi khawatir akan kena marah bapaknya. Setiap Senin, Rabu, dan Kamis, sepulang sekolah Kamasean memanaskan makanan untuk kedua orang tuanya seperti yang selalu ia lakukan. Kamasean akan berangkat kerja ke kebun Pacik Yahya bila bapaknya sudah berangkat lagi ke ladang Pacik Jumaan. Diaturnya juga jam pulangnya agar dirinya sudah berada di rumah sebelum bapaknya itu pulang.
Sebulan ia bekerja, Pacik Yahya memberikannya gaji. Sepulangnya, Kamasean singgah di kedai. Dibelinya daging ayam dua kantong seharga dua puluh empat ringgit. Tak lupa ia beli juga minyak masak dan dua bungkus rokok premium yang biasa dihisap bapaknya. Sisanya ia serahkan semua untuk ibunya di rumah.
Berlinang lagi airmata Hamida menerima hasil keringat anaknya itu. Ia menolak uang yang diberikan Kamasean, tetapi anaknya itu tetap memaksa sebab sudah dinazarkannya beberapa hari yang lalu.
Ibu Kamasean merasa melihat melihat adik kandungnya lagi dalam diri Kamasean. Belasan tahun lalu, ketika mereka meninggalkan Makassar, adiknya itu hampir seumuran anaknya sekarang. Adiknya di sana bisa jadi sudah berkepala tiga. Barangkali kini sudah menikah. Seperti yang kau tahu, sejak kepergiaannya menuju Sabah ini, Hamida tak pernah tahu kabar dari kampungnya lagi. Rindu bagi Hamida seperti biji Mahoni. Pahitnya harus ditelan sendiri. Demi hal yang lebih buruk tak muncul mengintai.
Hamida kadang menangis di kamarnya di waktu awal kedatangannya di tanah rantauan. Sangkaannya yang tak sesuai kenyataan membuatnya perasaannya seringkali tak karuan. Namun, ia sadar betul bahwa resiko itu harus ditanggungnya sebab yang merencanakan pelarian bukan hanya Sagala seorang.
Di rumah rantau yang lain, di seberang jalan yang pintu masuknya di jaga penjaga berwajah datar, Alya pun hingga sekarang belum juga mampu tidur lebih awal. Origami buatannya kini bergelantungan di di dalam kamarnya. Termasuk pula di kelas-kelas sekolahnya.
Beberapa bulan lalu ketika rekan Alya berbondong-bondong mengambil cuti tahunan, ia memilih tak mengajukan. Beberapa kawannya pun ada yang tak pulang. Mereka lalu sepakat berkeliling Sabah. Namun, ketika tiba di Ranau, Alya memilih jalan sendirian. Dipilihnya menginap hampir dua minggu di Kundasang. Setiap pagi dan petangnya, ia akan menyeduh kopi di balkon villanya sambil menikmati pemandangan dingin Gunung Kinabalu.
Ketika ia balik ke rumah di ladang tempatnya mengajar dan hari cuti belum juga usai, Alya lebih memilih bertandang ke rumah Pak Thomas yang memang tak terlampau jauh dari rumahnya. Orangtua yang terlampau baik itu sudah dianggap orang tuanya. Meski beliau penganut Katolik yang taat dengan patung dan gambar Yesus juga Bunda Maria yang hampir memenuhi rumah, Alya tetap saja senang bertamu di sana. Mungkin sambutan Istri dan anak-anak Pak Thomas yang tak kalah hangatnya itulah yang membuatnya betah berlama-lama.
Sekolah kembali aktif setelah libur akhir tahun yang lumayan lama. Alya mendapat pengumuman dari sekolah induk di Balung River tentang lomba yang akan dilaksanakan untuk anak-anak SMP di Kota Kinabalu. Mereka akan melakukan seleksi antar kelas jauh Balung River terlebih dahulu. Pemenangnya itulah yang akan mewakili sekolah induk SMP Balung River untuk bertanding melawan Sekolah Indonesia tingkat SMP se-Sabah.
Bukan main antusiasnya keempat murid Alya itu. Adrianus menawarkan diri masuk lomba bulu tangkis. Hamizan dan Syafika dipilih menari, sedangkan Kamasean untuk lomba pidato.
Adrianus memang sering ikut menonton ayahnya bermain di depan rumah Pacik Jamal. Hampir setiap malam mereka ramai di sana. Para pekerja di kompleks itu menganggapnya hiburan untuk mereka.
"Nanti kuminta bapakku kasih ajar aku, Cikgu!" Ucap Adrianus berapi-api.
"Kalau menari nanti, siapa pula yang ajar kami, Cikgu?!" Hamizan penasaran.
"Bu Guru kalian ini sering menari di kampus dulu, lho. Jadi tenang saja. Pelatihnya di sini." Alya berlagak songong.
"Kalau aku tak payah tanya lagilah, kan?" Kamasean tersenyum-senyum.
"Nanti juga kubikinkan naskah untuk Kamasean. Kamu siap-siap menghapal, ya!"
Kamasean jelas mengiyakan.
"Kapanlah itu, Cikgu?" Syafika bertanya.