Bulan Agustus ini, Alya harus rela murid-muridnya merayakan Hari Kemerdekaan di sekolah tanpa dirinya. Ia harus ke SIKK di Kota Kinabalu menemani Adrianus bertanding. Cikgu Dillah dan Cikgu Ani diberi tugas mengatur upacara dan tujuhbelasan di ladang. Beberapa orangtua murid pun turut diminta menjadi panitia.
Seperti tahun sebelumnya, setiap hari kemerdekaan, perusahaan tempat mereka bekerja pasti akan meliburkan pekerja dan menjadi sponsor utama untuk lomba menyambut kemerdekaan negara pekerja mereka. Sembilan puluh persen pekerja ladang memang dari Indonesia. Hanya krani dan pejabat opis yang lain, juga beberapa orang pekerja yang asli penduduk tempatan. Tak ada yang menentang acara itu dilaksanakan. Mereka bahkan senang ikut memeriahkan.
Adrianus akhirnya berhasil melangkah ke final lomba bulutangkis dengan perkasa. Namun, ia harus mengakui kekalahan di final melawan murid SIKK, sang tuan rumah. Bukan main senangnya Adrianus sebab meski ini pertama kalinya ikut kejuaraan resmi, ternyata latihannya berbulan-bulan di ladang telah membawanya naik podium menerima piala.
Uang hadiah Adrianus hampir dihabiskannya ketika dia dibawa Cikgu Alya jalan-jalan ke Suria Sabah, salah satu mall paling bagus di KK. Anak-anak dari sekolah ladang selalu meminta dibawa ke sana setiap kali ada kegiatan di KK, begitu kata rekan Alya yang sudah lebih lama di Sabah. Adrianus membelikan hadiah sepatu badminton untuk bapak. Untuk ibunya dibelikannya panci penggorengan anti lengket yang cukup mewah. Ketiga adiknya dibelikan juga buku dongeng lalu baju kaos untuk sang kakak. Ketiga teman kelasnya pun tak lupa ia belikan sebuah buku catatan bergambar pemandangan Gunung Kinabalu yang gagah.
Adrianus hampir saja tidak bisa berangkat ke Kinabalu sebab tidak ada paspor yang ia punya. Alya pun tak mau ambil masalah. Selama belasan kali bolak-balik Tawau-Kinabalu naik bus, mereka selalu harus berhenti tengah malam di wilayah Sandakan untuk pemeriksaan dokumen semua penumpang. Alya pernah melihat ada orang yang sampai harus masuk ke dalam karung. Orang itu susah payah bersembunyi di bawah kursi seolah-olah menjadi sekarung pakaian demi menghindar dari tangkapan polis yang memeriksa. Tertangkap polis di sini hanya ada dua kemungkinan; pasti dikurung dan membayar denda atau dideportasi yang juga ada denda.
Beberapa hari sebelum hari keberangkatan, barulah Alya dapat kabar jika anak-anak yang ikut bertanding akan diberi surat jalan dari konsulat. Pak Thomas memberitahu bahwa surat itu menjadi jimat sakti melewati pemeriksaan polis di jalan. Barulah saat itu Alya menjadi lega.
"Cikgu Alya, anak Ibu dapat juara, kan?" Bu Wiwid, rekan guru Alya dari Jakarta yang bertugas di Lahad Datu menanyainya ketika mereka baru saja duduk di bus pulang menuju Tawau.
"Alhamdulillah dapat juara dua bulutangkis, Bu!"
"Wah, itu macam golden tiket lolos beasiswa nanti, Bu!"
"Beasiswa apa itu, Bu?" Alya penasaran.
"Oh iya, Cikgu Alya kan belum ada alumni di SMP, ya. Jadi kalau anak-anak lulus SMP, terus ingin lanjut SMA, itu ada beasiswa lanjut SMA di Indonesia. Namanya beasiswa repatriasi. Itu beasiswa full loh, Bu!"
Dalam perjalanan malam itu, Alya akhirnya khatam mulai dari tata cara pendaftaran hingga proses pengiriman anak-anak kembali ke Indonesia. Itu akan menjadi kabar baik yang pasti akan sangat menyenangkan untuk keempat muridnya.
Sesampainya di Tawau, Alya turun di perempatan Balung tepat ketika orang-orang sedang salat subuh berjamaah. Dia lalu menghubungi sopir langganannya untuk diantar ke rumah. Adrianus minta izin tak ikut sekolah hari itu sebab mabuk sepanjang perjalanan. Alya juga sebenarnya masih lelah, tetapi kabar beasiswa itu membuatnya bersemangat masuk meski untuk sekadar memberikan pemberitahuan.
Alya memang lebih fokus mengajar di SMP. Ia hanya memberikan dua mata pelajaran untuk kedua guru bantunya. IPS untuk Cikgu Dillah. Sedangkan Cikgu Ani diberikannya mata pelajaran PKn. Jika Cikgu Ani dapat jadwal mengajar di SMP, Alya akan bertukar mengajar di kelas satu, dua, dan tiga. Begitu pula jika jadwal Cikgu Ani di SMP, Alya akan menggantikannya mengajar di kelas empat, lima, dan enam. Dengan begitu, Alya bisa mengontrol seluruh murid di sekolah itu. Apabila menemukan sesuatu hal yang kurang, ia akan menyampaikannya pada wali kelasnya masing-masing.
Hari ini jadwal Alya khusus untuk anak-anak SMP yang sekarang sudah terisi dua kelas yang berbeda. Kamasean dan tiga orang kawannya di kelas delapan sedangkan di kelas tujuh yang baru ada dua orang siswa.
"Anak-anak! Teman kalian, Adrianus, berhasil menjadi juara kedua di SIKK!"
Informasi dari Alya itu mendapat tepuk tangan dari murid-murid..
"Untuk tahun depan, Adrianus tak boleh lagi ikut."
"Kenapa begitu, Cikgu?" Hamizan penasaran.
"SIKK bikin aturan kalau yang dapat juara 1 dan 2 tak boleh ikut lagi tahun depan. Biar kasih kesempatan untuk yang lain katanya,"
"Berarti kami dua ini boleh gantikan Adrianus kan, Cikgu?" Haslina yang baru masuk SMP itu terlihat bersemangat.
Cikgu Alya mengangguk. "Tapi ada satu lagi yang harus ibu bagi tahu ke kalian!"
Murid-murid itu dengan tenang menunggu. Alya meminta kipas angin di hadapkan ke arahnga terlebih dahulu. Keringatnya sudah mulai membuat basah pasmina di area wajah guru itu.
"Bagi yang pernah juara, itu akan langsung diloloskan untuk dapat beasiswa melanjutkan sekolah di Indonesia!"