Kamasean sepertinya harus berjuang sendirian untuk mendapatkan beasiswa repatriasi. Tiga orang temannya sudah hampir pasti tak akan ikut seleksi. Kamasean, meski bapaknya memilih diam saat ditanya persetujuan tentang anaknya yang akan ikut seleksi beasiswa, pada akhirnya memberikan juga tanda tangan pada lembar formulir.
Kedua, Hamizan. Bapaknya sangat keras tidak mengijinkan. Di rumah itu, tersisa Hamizan dan adiknya yang belum punya IC, KTP Malaysia. Belasan tahun mereka mengurusnya, barulah tahun ini mereka resmi mendapatkannya. Untuk Hamizan dan adiknya dijanji oleh pengurusnya akan terbit tahun depan. Sejak awal mengurus, memang selalu dijanjikannya tahun mendatang sudah bisa diterbitkan, tetapi bahkan IC ibu dan bapaknya, barulah tahun ini benar-benar jadi. Perkara resmi atau tidaknya, itu pun tak pasti.
"Cikgu! Kami ini ada ladang sawit di sini. Kalau tak punya IC, mana boleh jadi hak milik kami. Itulah kenapa kami buat IC. Mau balek kampung di Indonesia pun, kami tak punya apa-apa di sana." Begitu penjelasan bapak Hamizan. Alya hanya bisa mendengarkan.
Beliau lalu melanjutkan. "Nah, untuk anak-anak kami, jelas kami akan perjuangkan untuk dapat IC itu. Biarlah kami habis berapa duit agar nanti yang kami usahakan di sini dengan tetes keringat, boleh juga nanti dinikmati anak-anak."
Tak ada alasan lagi untuk menentang. Alya hanya melanjutkan berbasa basi sejenak lalu pamit pulang.
Orang tua Syafika lain lagi. Meski kakek nenek dari ibunya sudah berpaspor Malaysia, tetapi kedua orangtua Syafika tak ada niat untuk mengubah kewarganegaraannya. Mereka tetap ingin pulang kampung suatu hari nanti. Ketika Alya membicarakan beasiswa repatriasi, kedua orang tuanya bukan tidak menerima.
"Senang kalilah kami kalau si Syafika bisa lolos, Cikgu," ujar bapak Syafika. "Tapi saya mohonlah sekolahnya itu yang dekat-dekat kampung kami di Pinrang saja. Biar nanti si Syafika tetap tinggal di rumah kami di sana mengawankan neneknya. Nenek si Syafika ni, sudah tua dia. Sendirian sudah di sana."
Alya mengecek daftar sekolah mitra di gawainya. Untuk Pinrang hanya ada satu sekolah. Letaknya di ibu kota.
"Sekolahnya itu terlampau jauh dari rumah, Cikgu. Kalau begitu, mungkin Syafika tak payahlah diikutkan. Kami janji akan kasih lanjut si Syafika ini ke SMA. Biarlah kami saja yang biayai sendiri untuk ongkos sekolahnya. Tak apa, Cikgu." Ibu Syafika memberi kesimpulan.
Alya lega mendengarnya. Artinya Syafika dan Kamasean sudah pasti akan melanjutkan sekolah. Aman.
Terakhir, Adrianus. Ketika Alya mengunjungi rumahnya, Ibu Adrianus tak henti menangis. Beliau sangat ingin Adrianus melanjutkan sekolah. Apalagi dengan beasiswa, dirinya tak perlu memikirkan biaya. Namun, sang anak bersikeras tak ingin melanjutkan sekolah lagi. Adrianus hanya ingin bekerja agar adik-adiknya bisa ia sekolahkan nanti.
"Tetapi meskipun ia mau, Cikgu, aku pun tak punya uang cukup untuk membayarkan ongkos pesawatnya."
"Masih ada waktu setahun lagi sebenarnya, Macik!" Ucap Alya.
Ibu Adrianus itu terdiam. Dia seperti memikirkan sesuatu. Pelan-pelan didekatkan badannya ke arah Alya.
Lalu sambil berbisik. "Cikgu, bolehkah cikgu bagi tau Pak Thomas. Mana tahu si Adrianus ini mau kalau Pak Thomas yang bujuk dia."
Alya setuju. Berarti tak ada masalah dengan orangtua Adrianus. Adrianuslah yang harus dicarikan formula khusus agar dia bisa dibujuk.
***
Perihal seleksi repatriasi terlupakan sejenak ketika anak-anak itu tanpa terasa sudah harus bertanding di SIKK. Kamasean tenggelam dalam latihan pidatonya sedangkan Hamizan dan Syafika bahu membahu membangun gerakan agar betul-betul bisa menari dengan rasa.
Perjalanan naik bus yang merupakan pengalaman pertama bagi mereka, bahkan untuk pertama kali dalam hidupnya keluar dari Tawau, membuat mereka harus ekstra berjuang di jalan. Ketiga anak ini yang memang sudah mual sejak masuk ke Lahad Datu, lalu setengah mati menahan keinginan muntahnya di Sandakan. Mereka terpaksa harus menyerah di jalan berkelok sembilan ketika naik turun di Kundasang. Setibanya di terminal Inanam, berlombalah mereka turun mencari tandas. Alya kasian juga melihat murid-muridnya itu lemas.
Namun, perjuangan itu akhirnya berbuah manis juga. Hamizan akhirnya memenuhi janjinya menampilkan yang terbaik bersama Syafika. Mereka didaulat menjadi juara pertama. Kamasean pun berhasil memukau juri dengan penampilan pidatonya. Ia berhasil mendapat juara ketiga.
Kamasean akhirnya punya peluang besar lolos beasiswa. Bukan main senangnya. Ia lalu minta ditunjukkan ruang belajar anak SMA di sekolah tersebut, Alya pun mengajaknya berkeliling di sekolah Indonesia luar negeri terbesar itu.
"Cantik kali kan, Cikgu. Jauh beza sama sekolah kita di ladang," celetuk Syafika.
"Mana boleh sama. Kelas kita kan kamar saja," Hamizan tertawa diikuti Kamasean.
"Nah, macam inilah kelas kalian nanti kalau lanjut SMA di Indonesia." Alya memancing semangat.
"Macam ini semuakah sekolah di Indonesia, Cikgu?" Tanya Kamasean.
"Iya! Cantik, kan?!"
Kamasean mengangguk. "Kalau di Makassar beginikah juga?"
"Pasti beginilah. Tapi Bu Guru belum pernah lagi ke Makassar."
"Nanti kita pigi sama-sama!" Sahut Kamasean.
Alya terdiam sebentar. Seperti memikirkan sesuatu. Kalimat ajakan itu pernah diucapkan seseorang. Dia juga mengajaknya ke Makassar. Tapi dia malah menghilang tanpa pernah datang menjemput.
"Cikgu?!" Kamasean menyadarkan gurunya yang pikirannya terbang jauh.
"Oh, iya! Nanti... nantilah, ya. Nanti kalau pulang ke Tawau, kita kirim berkas rapor kelas 7 dan 8. Minggu depan sudah ada tes beasiswa itu." Alya gelegapan.
"Kalau begitu baliklah kita sekarang!" Kamasean bergurau.