Alya memanggil Kamasean dan Adrianus ke rumahnya. Dua minggu ke depan, mereka sudah akan diberangkatkan. Seharusnya sejak dua minggu lalu mereka dikabari Alya tentang pelunasan biaya perjalanan, tetapi bulan enam ini memang selalu menjadi bulan paling sibuk bagi Alya.
Selepas anak-anak ujian semester, masih ada aktivitas sekolah selama satu pekan lalu libur dua pekan. Namun, bagi guru ladang seperti Alya, di situlah semua ketahanan fisik dan mentalnya uji ketahanan. Di waktu-waktu itu, Alya akan minta pulang lebih cepat dari guru yang lain. Ia memang sendirian memeriksa ujian semester anak-anaknya di SMP untuk semua mata pelajaran. Kecuali yang diampu guru bantunya. Pekerjaan itu baru akan selesai setelah berhari-hari lamanya. Belum lagi ia cari nilai akhir untuk rapor tiap murid. Alya harus menggabungkan semua nilai tugas dalam satu semester kemudian dengan formula khusus, nilai akhirnya dicari. Barulah bisa pekerjaannya dianggap usai.
Untuk murid-murid SD lebih banyak. Jika pekerjaan muridnya di SMP hampir dikerjakannya sendirian, untuk SD jelas Alya tak bisa. Ia harus minta bantuan pada Cikgu Ani dan Cikgu Dillah. Meskipun, dirinya harus berulang kali membagi penjelasan cara memeriksa hasil ujian terlebih dahulu untuk kedua guru bantu yang sebenarnya sama saja dengan ujian semester sebelumnya. Namun, dengan alasan sudah lupa maka Alya harus mengulangnya.
Sebab kebanyakan ujiannya berbentuk tematik, mereka harus memilah-milah terlebih dahulu nomor soal berdasarkan mata pelajaran, setelah itu barulah bisa diperiksa dan diberi penilaian.
Jika proses itu telah selesai, mereka akan gabungkan lagi nilai berdasarkan mata pelajaran mulai dari ujian tematik di hari pertama hingga yang akhir lalu dirata-ratakan. Barulah nilai ujian semester itu mereka dapatkan. Setelah membuat rata-rata tugas dan memasukkan formula nilai rapor, selalu akan mereka dapati hasil akhir yang terlalu rendah. Pekerjaan mereka akan bertambah lagi, yakni membuat nilai rapor di atas standar nilai minimum yang sudah ada. Tujuh puluh lima.
Suatu hari, Alya pernah memprotes nilai minimum rapor yang terlampau di atas sebab kriteria penetapan nilainya yang harus mengikut sekolah induk di SIKK. Masalahnya, semua faktor pendukung untuk sekolah ladang berbeda begitu jauh bak langit dan bumi dengan sekolah induk. Mereka dituntut mempelajari materi dengan kompleksitas dan penguasaan yang sama tetapi kemampuan rata-rata murid ladang masih begitu rendah. Daya dukung juga masih kurang. Ditambah lagi sembilan kelas berbeda hanya dihadapi guru yang hanya berjumlah tiga orang.
Alya tak bisa berbuat apa-apa selain mendongkrak nilai. Jika tidak demikian, yang bisa naik kelas hanya hitungan jari. Itu pun jari dari satu tangan saja. Lalu, jika yang paling rendah harus diangkat nilainya, hal yang sama juga dilakukan Alya bagi murid yang nilainya cukup lumayan. Jadilah nilai rapor di sekolah ada di rentang tujuh puluh lima hingga sembilan puluh dua. Luar biasa.
Pekerjaan yang cukup melelahkan itulah yang membuat Alya lupa memberi kabar pada Kamasean dan Adrianus tentang informasi pelunasan biaya keberangkatan mereka menuju sekolah tujuan. Akhirnya, barulah sekarang Alya memanggil kedua muridnya itu di saat tersisa dua minggu lagi sisa waktu pembayaran.
"Karena kalian berdua sudah setor deposit seribu ringgit sebelumnya, jadi untuk Kamasean itu sisa seribu dua ratus ringgit saja lagi, kan?"
Kamasean mengangguk paham. "Iya, Cikgu! Tabunganku masih ada dua ribu lagi." jawabnya.
"Baguslah itu. Nah, untuk Adrianus nanti nambahnya lebih banyak, ya. Seribu empat ratus. Karena jaraknya lebih jauh ke Malang."
Adrianus pun mengangguk paham. "Sudah saya bagi tahu kakak, Cikgu. Sudah ada juga diorang simpankan untuk saya."
"Itu sudah termasuk biaya denda paspor kalian sama transportasi dari sini sampai di tujuan. Untuk seragam, buku, baju olahraga dan makan minumnya sudah masuk bagian beasiswa. Jadi aman sudah,"
Kedua anak itu saling lirik dengan raut wajah semringah.
"Kalau begitu, paling lambat dalam minggu ini kalian kasih uangnya ke saya, ya. Biar nanti saya transferkan." Jelas Alya.
Kedua anak itu mengiyakan.
Kamasean dan Adrianus pun kembali ke rumah. Kamasean singgah sekejap di rumah Adrianus. Macik Napiah juga sedang duduk-duduk di teras sana.
"Macam sudah mau berangkat kalian, kan?" Ucap Macik Napiah.
"Iya, Macik. Dua minggu lagi kami berangkat sudah." Jawab Kamasean.
Adrianus mendekati Ibunya yang duduk di kursi dekat pintu di samping Macik Napiah.
"Bu, pekan ini sudah harus bayar uang keberangkatan."
"Sudah ada disimpan sama kakakmu, Nak. Tenang saja!"
"Kamu, Kamasean? Cukup uangmu?" tanya Macik Napiah.
Kamasean mengangguk.