Kamasean akhirnya bisa juga melunasi biaya perjalanan pulangnya. Sisa Sisa uang bekalnya lagi yang akan ia usahakan. Masih ada gaji satu bulan dari Pacik Yahya belum diambilnya. Ia berencana akan memintanya sehari atau dua hari sebelum keberangkatan.
Ibunya juga menjanjikan akan memberinya sedikit uang jajan. Karena tak ada lagi hutang yang harus dibayarnya pada Mandor Hasim, keluarganya akhirnya bisa juga menikmati gaji secara utuh tanpa memikirkan setoran. Biasanya paling lambat delapan hari bulan, gaji pekerja sudah dibayarkan tetapi hingga saat ini belum lagi ada kabar padahal sudah lewat dua hari pun.
Dua hari sebelum berangkat, Kamasean datang ke rumah Pacik Yahya. Kali ini, ia dikawankan oleh ibunya sendiri. Selain mengambil gaji, Kamasean sekaligus ingin pamit.
"Dik, baik betul nasibmu punya anak macam Kamasean. Banyak orang beranak pinak, tapi tak semujur kau punya anak macam dia ini." Pacik Yahya memberi pujian setinggi langit pada Hamida.
"Alhamdulillah, Pacik. Ini Kamasean juga sekalian mau minta pamit pulang ke Makassar dua hari hari ke hadapan, Pacik."
"Oh, anakmu ini sudah mau berangkatkah?" Pacik Yahya tak menyangka.
"Iya, Pacik." Kamasean yang menjawab. "Saya berterima kasih banyak-banyak sudah dikasih kerja di kebun, Pacik. Kalau tak ada ...,"
"Sudahlah!" Pacik Yahya memotong ucapan Kamasean. "Begitulah rejeki diatur."
Pacik Yahya kemudian masuk ke dalam sejenak lalu keluar membawa amplop. Beliau meletakkannya di atas meja di depan Kamasean. "Ambillah ini, Nak!"
Kamasean menerimanya. Amplop gajinya biasanya tak setebal itu, refleks tangan Kamasean membukanya. "Pacik! Ini terlalu banyak, Pacik!"
Pacik Yahya tersenyum-senyum. "Kau masih ingat cikgumu itu pernah datang kesini masa beliau ingin memintakan agar waktu kerjamu dipindahkan selepas sekolah?"
Kamasean mengangguk.
"Dia sempat tanya-tanya juga tentang gajimu. Pacik sepakat sama idenya untuk tidak kasih kamu gaji tambahan meski nanti sudah musim buah. Pacik tak pernah bagi bonus, kan?"
Kamasean tersenyum. "Kusangka Pacik lupa. Aku pun takut kasih ingatkan."
"Takkanlah Pacik lupa. Tiga tahun kan kau bekerja di kebun Pacik. Nah, itulah bonus kau dalam tiga kali musim buah. Pacik bagi seribu delapan ratus ditambah gaji bulan lalu. Pacik genapkan jadi dua ribu ringgit," jelas Pacik Yahya.
Kamasean dan ibunya seketika merasa terbang tinggi di angkasa. Perasaan senang bercampur haru memenuhi raut wajah mereka. Diucapkannya berkali-kali terima kasih pada Pacik Yahya. Orang tua di hadapannya itu telah menjadi malaikat penolongnya.
Dalam perjalanan pulang, Kamasean singgah di kedai Ah Long. Ia harus membeli sebuah tas pakaian. Macik Napiah juga ada di sana. Beliau minta Kamasean pulang lebih dulu saja. Katanya, ia dan ibunya akan pergi sekalian mencari pakis dekat sungai. Kamasean menuruti.
Setelah pulang mencari pakis bersama Macik Napiah, wajah Hamida seperti akan kehabisan darah. Pucat tak bersemangat. Raut mukanya berubah jadi datar. Namun, ia tetap sibuk menyiapkan makan malam untuk anak dan suaminya.
Malam itu, Hamida tak dapat tidur. Bosan sekali ia bolak balik di kasur tapi kedua matanya itu tak mau terpejam. Suaminya juga belum masuk ke kamar. Lelaki itu masih asyik dengan rokoknya di pintu belakang.
Entah berapa saat lamanya Hamida menatap langit-langit. Ia seperti menimbang-nimbang sesuatu. Seketika Hamidah pun bangkit. Ia keluar dari kamar, berjalan ke belakang, lalu membuka pintu. Hamida mendapati Sagala di tangga belakang sedang menikmati cerutu. Hamida mendekati suaminya itu.
"Daeng, jujur sama saya, betul uang yang kita pakai melunasi hutang itu pinjaman dari Pacik Jumaan?" Hamida duduk tepat di hadapan pintu belakang.
Sagala tidak menjawab juga. Ia hanya melempar puntung rokok di tangan sejauh-jauhnya. Saat tangannya meraih rokok lagi di belakangnya, Hamida mencegah. Sagala menatap mata istrinya. Lelaki yang tak pernah lagi memperlihatkan ekspresi selain marah dan datar itu akhirnya menangis juga. Kedua pundaknya berguncang hebat. Tangan kirinya memijat-mijat kening sambil menyembunyikan wajahnya yang menunduk dengan airmata yang tiba-tiba lebat.
Hamida melepaskan genggamannya dari tangan suaminya itu.
"Saya kecewa, Daeng!" Hamida membuang muka. "Berbelas-belas tahun saya mempercayaimu dan sekarang Daeng dengan teganya berbohong."
Sagala tak berani mengangkat kepala. Mata Hamida kini menyala tetapi penuh dengan embun yang siap tumpah kapan saja.
"Saya korbankan diri ...," Hamida mulai terisak. "Ikhlas menerima semua pahit getir yang selama ini kita lalui. Tak terhitung perihnya. Uhhh ..., kasihan." Hamida melepaskan semua sesak di dadanya.
Semakin Sagala menahan isaknya, semakin kuat pula tubuhnya berguncang. Ia kini sepenuhnya menyadari kesalahannya. "Maafkan kebodohanku ini, Hamida!"
"Saya bisa menahan getir ini, Daeng, tetapi jangan pula kau perlakukan anakmu seperti itu. Kasihan dia. Mana sosok bapaknya yang dulu selalu memuji-mujinya? Mana sosok bapak yang selalu membelanya? Kenapa sekarang berbalik ingin memutus harapan anakmu sendiri?"
Sagala membersihkan ingusnya sejenak lalu kembali menangis lebih keras.
"Sekarang, jujurlah. Daeng yang mengambil uang itu, kan?"
Sagala tak juga menjawab.