Mereka tiba di bandara Tawau tepat setengah jam sebelum jadwal penerbangan. Namun, petugas di sana memberitahu jika waktunya akan ditunda selama satu jam dari jadwal semula. Alya meminta rombongannya agar tak naik dulu ke pintu keberangkatan. Ia ingin mengajak mereka makan di tempat favoritnya yang letaknya hanya lima puluh meter dari bandara.
Alya memilih duduk di meja sendirian. Agak jauh dari yang lain. Ia sempat bergabung dengan rombongannya ketika akan memesan makanan. Semuanya memesan sesuai dengan pesanan Alya saja. Setelah selesai, Alya kembali menjauh dari sana.
Hamida yang tadinya tak ingin jauh dari anak dan suaminya, akhirnya mendekat ke meja Alya.
"Zamhari itu adikku satu-satunya, Cikgu." Hamida memulai pembicaraan sesaat setelah ia duduk di hadapan Alya. "Sewaktu saya tinggalkan dulu, ia masih kecil. Tetapi saya yakin anak itu sudah paham semua hal yang berlaku pada kakaknya ini."
Alya tak juga menatap wajah Hamida.
"Tentang dia yang sudah mengecawakan cikgu, saya sebagai kakaknya ingin memohonkan maaf untuknya." Hamida menggenggam tangan Alya.
"Hampir empat tahun saya tinggalkan Jogja untuk cari ketenangan, Macik. Pada akhirnya..., ternyata saya harus berhadapan dengannya lagi." Alya berusaha menahan emosinya.
Hamida tersenyum. "Kenyataan terkadang begitu pahit dibanding harapan, Cikgu. Saya bukan ingin mengajari. Tapi penderitaan yang saya alami berbelas tahun lamanya bersama suami, barangkali tak ada apa-apanya dibanding saya harus berjuang dengan orang yang tidak saya cintai."
Alya tersentak. Selama ini ia menyerah setelah merasa berjuang mati-matian menghubungi Hari yang memang hilang jejak. Padahal, dibanding perjuangan Macik di hadapannya itu, jelas kalah telak.
Hamida kembali melanjutkan. "Memang tidak ada penderitaan yang pantas untuk dibandingkan, Cikgu. Saya sebagai kakak dari Zamhari, ingin memohon satu hal lagi."
Alya kini menatap mata ibu Kamasean itu.
"Mohon cikgu beri kesempatan Hari untuk menyampaikan penjelasannya." Ucap Hamida.
Alya tak menjawab. Ia tak ingin mengiyakan tetapi tak mungkin juga menolak. Ia hanya berpura-pura sibuk memainkan ujung pasminanya.
"Oh, iya, Cikgu. Cikgu tahu alasan memberikan nama Kamasean pada anak kami?"