Sepanjang perjalanan, benak Alya tak habis-habisnya memikirkan keadaan yang sebelumnya tak pernah sedikit pun ia pikirkan. Bagaimana mungkin anak muridnya yang selama ini dididiknya sepenuh hati, diperjuangkannya dengan segenap raga menghadapi bapaknya yang terkenal tak tahu cara bicara baik-baik, ternyata adalah keponakan kandung dari orang yang telah membuatnya jadi setengah gila selama bertahun-tahun.
Sejak perjalanannya dari Tawau ke Kuala Lumpur hingga membawa anak-anak berjalan-jalan ke menara kembar bersama rekan gurunya yang lain, Alya sama sekali tak tertarik mengambil satu gambar pun. Alya hanya datang mencari tempat duduk di pojokan lalu berdiam diri di sana menunggu panggilan pulang.
Bahkan saat pulang ke bandara KLIA dan Adrianus pamit duluan karena perjalanannya menuju Malang akan dilanjutkan dengan pesawat ke Jakarta terlebih dahulu pun tak disadarinya. Berkali-kali Adrianus menyodorkan tangan minta pamit tidak juga didengarnya. Setelah ditepuk Kamasean di sampingnya, barulah ia sadar dan menjabat tangan Adrianus sambil mengusap-usap pundak muridnya.
Dalam perjalanan dari Kuala Lumpur menuju Makassar pun sama saja bagi Alya. Ia tetap melamun dengan pandangan ke arah jendela. Saat pramugari menyodorkan kotak makanan, ia juga tak mendengarnya. Kamasean yang duduk di sampingnyalah yang mewakili. Kotak makan itu bahkan sempat disenggol Alya hingga tumpah di pahanya.
Rombongan mereka tiba di Bandara Makassar tepat jam sepuluh malam lebih tiga menit. Setelah dijemput bus dari depan pesawat, mereka menuju tempat pengambilan bagasi. Alya meminta anak-anak itu berbaris di sana sambil menunggui tas masing-masing.
Alya mengambil sebuah troli lalu duduk di sana tak jauh dari anak-anak. Sekarang, jaraknya dengan lelaki itu mungkin sudah sedemikian dekat. Alya jelas tak siap.
Semestinya pertemuan mereka di bandara ini terjadi empat tahun yang lalu andai Hari tidak melupakan komitmen mereka. Suasananya pasti tidak akan sekikuk ini. Itu jelas akan lebih cair dan penuh sukacita. Pertemuan yang tiba-tiba seperti ini membuat Alya tak yakin apakah ia akan sanggup menguasai diri.
"Kopernya cuma satu kan, Cikgu?" Kamasean membuyarkan lamunan Alya.
"Eh ..., oh, iya!" Alya gelegapan. "Punya kawanmu macam mana?"
"Siap sudah, Cikgu!"
"Jom, kita jalan!"
Alya lagi-lagi berjalan paling depan. Ujung pasmina hitamnya dilemparnya ke belakang. Ia memainkan gawai sambil terus berjalan.
"Kami sudah keluar, Pak ..., bapak di mana?" Alya berhenti melangkah. "Oh iya. Baik, Pak!" Ia melanjutkan langkahnya.
Lorong bandara semakin lebar. Tepat di hadapan mereka terpampang pintu kedatangan. Tak jauh dari sana, puluhan orang berjejer menunggu yang dijemputnya dari luar pagar. Alya berbelok ke kiri setelah melewati pintu kedatangan itu sesuai arahan perwakilan sekolah yang khusus datang memberi jemputan.
"Ibu Alya?!" Seorang bapak menyapanya.
"Benar, Bapak!"
"Saya utusan sekolah yang diminta menjemput ibu dan anak-anak!"
Mereka berjabat tangan. Kamasean dan teman-temannya memberi salim.
"Busnya ada di depan, Bu! Tak apa kita jalan-jalan saja toh, Bu? Tidak jauh!"
Alya mengangguk tersenyum.
Baru beberapa kali melangkah, dari arah belakang, seseorang memanggil-manggil nama Alya. Alya sangat mengenal suaranya. Cara dia memanggil namanya masih sama.
"Alya ...!" Sekali lagi lelaki itu memanggil. Semua orang berhenti dan menoleh ke arah belakang kecuali Alya yang lebih memilih menundukkan kepalanya.
“Kawan cikgukah?” Seorang muridnya bertanya.
“Om, Hari?!” Kamasean memekik. Semua temannya menoleh ke arahnya.
Alya meminta anak-anak dan bapak yang menjemput mereka naik ke bus terlebih dahulu. Mereka menurut.
Hari merangkul erat-erat Kamasean. Keponakan yang baru dijumpainya ternyata sudah begitu besar. Kamasean merasakan haru bukan main. Ini pertama kalinya ia merasakan pelukan hangat keluarga yang benar-benar punya pertalian darah.
"Ibu ada titip salam buat Om Hari!"