Kamasean dan kawan-kawannya dari Sabah tak butuh waktu yang lama untuk beradaptasi dengan lingkungan baru. Perihal materi pelajaran memanglah lebih sulit, tetapi guru yang bisa mereka tempati bertanya jauh lebih banyak. Persoalan bahasa sempat menjadi masalah bagi mereka, tetapi semuanya menjadi aman dengan berjalannya waktu. Kini, Kamasean dan temannya itu merasakan juga belajar di sekolah yang sebenarnya. Yang lengkap gurunya. Yang banyak ruangannya. Yang luas lapangannya. Yang paling penting; berdiri di negerinya sendiri.
Kamasean masih membawa peta ASEAN yang dulu dipajangnya ke Makassar. Peta itu ditempelkannya kembali di kamar. Jika sewaktu di Tawau dulu ia menatap seksama peta itu sebelum tidur, sekarang pun sama. Namun, telunjuknya kini membuat garis dari titik sebaliknya. Kamasean akan mulai menunjuk kota Makassar lalu seolah-olah membuat garis menuju Kuala Lumpur dan berakhir di Tawau. Selanjutnya, telunjuknya akan kembali ke titik Makassar lalu seolah-olah membuat garis menuju Balikpapan lalu ke Tarakan dan berakhir juga di Tawau. Suatu hari, Kamasean akan menjemput ibu bapaknya pulang dari rantau.
Kamasean aktif di hampir semua organisasi sekolahnya. Kegiatan OSIS selalu dihadirinya. Begitu juga pelatihan PMR dan Pramuka. Anak itu tak mau menghabiskan sore hari dengan hanya tidur di kamar. Apalagi di hari libur. Ia sengaja mencari kesibukan agar tak ada waktu yang tersisa untuk merenungi nasibnya yang jauh dari keluarga beserta spekulasi negatif yang bisa saja tiba-tiba hadir.
Kamasean tak ingin terlampau kepikiran dengan nasib orang tuanya di Tawau sana. Ia melakukannya persis seperti yang diminta Ibu dan Macik Napiah. Kamasean pun tak ingin memikirkan alasan adik ibunya, Om Hari, yang kini hanya datang menjenguknya di asrama pada bulan pertama, kedua, dan ketiga kedatangannya saja. Bulan Oktober dan November lalu, Omnya itu sudah tidak pernah kelihatan batang hidungnya. Semua itulah yang membuatnya amat aktif di semua kegiatan sekolahnya.
Pertengahan bulan dua belas ini, semester satu akan segera berakhir. Biasanya rapor akan diambil oleh orang tua masing-masing. Namun, Kamasean dan kawannya yang lain, jelas tidak akan menelepon ibu bapaknya lalu memintanya berangkat dari Tawau menuju Makassar hanya demi mengambilkan rapornya lalu pulang kembali setelahnya. Sangat mustahil rasanya.
Namun, hal yang tidak Kamasean ketahui ialah tentang Alya yang kembali ke Tawau bersama Om Zamhari. Adik ibunya itu datang langsung menengok sang kakak yang sempat dikiranya telah mati. Kedatangan Hari sekaligus untuk membantu Alya menyelidiki kemungkinan penipuan yang dilakukan Mandor Hasim dan istri.
Satu bulan lamanya Zamhari tinggal di Tawau. Iparnya, Sagala, ternyata tak jadi dikurung. Tuan Manajer menerima pengembalian uang serta permintaan maaf bapak Kamasean itu. Kabar baiknya lagi, visa Sagala dan istri kini telah selesai diuruskan. Paspor mereka kini sudah ada jaminan. Statusnya sudah sebagai pekerja resmi yang tentu gajinya naik sesuai standar kerajaan. Seribu dua ratus ringgit per bulan.