JUMAT siang, entah kenapa, selalu lebih terik daripada siang lainnya. Maka, setelah lebih dari setengah jam bengong menunggu badan bus terisi penuh, sungguh melegakan merasakan badan bus mulai bergerak dan keluar dari lajur jalur antrean di terminal yang panas, kering, pesing, dan beraroma ikan asin. Dua orang pedagang asongan yang bandel menghambur keluar sembari menjinjing barang dagangan, disusul pengamen tanpa alat musik yang buru-buru turun setelah memotong lagu sumbangnya dan dengan tergesa menengadahkan tangannya ke penumpang. Kondektur, sembari bergayut di gagang pintu, meneriakkan kata yang akan terus diucapkannya sepanjang perjalanan, “Boyo! Boyo!” Meskipun angin yang dihasilkan laju bus segera mengembus masuk lewat jendela, Fauzia tetap mengayunkan pelan kipas kecilnya. Ia, seperti juga beberapa penumpang lainnya, masih berusaha keras mengusir rasa gerah yang lengket dan amis udara Pantai Utara.
Di gerbang terminal, bus menaikkan beberapa penumpang baru.
“Kanan tiga. Kanan tiga. Tengah itu kosong, Mas. Ibu, anaknya dipangku. Mbaknya geser.” Kondektur meneriakkan kalimat yang itu-itu juga.
Fauzia menggeser duduknya lebih merapat ke dinding bus saat salah seorang penumpang baru memilih kursi di sampingnya. Satu dari tiga kursi kosong yang tersisa. Fauzia kaget saat penumpang baru itu menyapa begitu ia duduk.
“Fauzia, ya?”
Fauzia hanya menoleh kecil. Basi! makinya dalam hati. Fauzia berpikir, paling-paling lelaki itu tahu namanya dari buku yang dibawanya. Ia hafal tabiat orang iseng yang butuh teman mengobrol. Makhluk-makhluk yang paling mudah ditemukan di atas bus antarkota.
“Nurul Fauzia, kan?” Penumpang baru itu tak menyerah rupanya.
Fauzia mulai sebal.
“Anak Pak Fauzan, kan?”
Kalimat yang terakhir, mau tidak mau, membuat Fauzia harus menoleh penuh. Ia tidak merasa menempel nama bapaknya di sampul buku atau di pin kerudungnya. Bapaknya cukup dikenal di Centong dan beberapa desa di sekitarnya, tetapi di bus Tuban–Surabaya?
“Masa tidak kenal aku?”
Fauzia menyematkan pandangan ke wajah yang mengiba ingin dikenali. Sedikit bersungguh-sungguh. Ya, ada memori di kepalanya terkait wajah itu. Namun, siapa, di mana, kapan?
“Maaf, siapa ya?” tanya gadis itu sembari mengumpulkan ingatan atas wajah di sampingnya.
“Mif. Miftah. Anak Utara. Centong, RT 5, RW 2.”
“Miftah?” Nama itu rupanya adalah kata kunci yang sedang dicari ingatan Fauzia. Benar. Ini Mif. Anak Utara. Tepatnya, anak Utara yang katanya paling pintar. Kira-kira dua tahun lebih tua daripadanya. RT 5, RW 2. Berarti, rumahnya agak di pinggir, bagian barat daya desa. Dekat makam. “Ya, ya.”
Ketika ingatan itu terus mendekati lengkap, Fauzia refleks menggeser kakinya sedikit lebih menjauh dari semula. Entah kenapa, tanpa dikehendakinya, ia merasa harus membuat jarak. Aku ingat anak ini, Fauzia membatin. Waktu kecil, kalau lewat depan rumahnya, bersama teman-temannya, ia suka teriak-teriak, “Botak! Botak! Pak Mat Pujan Botak!”. Itu ejekan anak-anak Utara untuk Pak Fauzan, bapaknya. Kata orang, ia juga termasuk yang dulu ikut membuat kepala kakaknya, Fuad, bocor dalam sebuah tawuran agustusan antara anak-anak Selatan dan Utara. Kakaknya beberapa kali menyebut nama anak ini dengan sedikit dendam. Kalau tak salah, ia anak Pak Kandar, tokoh Masjid Utara.
Deretan ingatan itu tiba-tiba seperti tertera di punggung kursi di depan wajahnya, seakan ia tinggal mengeja saja.
“Kamu tidak mengingatku?”
Fauzia tergeragap. “Sori ya, aku tak segera mengenalimu.” Asal saja ia berbasa-basi. Kaku.
Amat terlambat mengenali orang sedesa, Fauzia tidak bisa disalahkan begitu saja. Sosok Mif lebih banyak didengarnya, bukan dilihatnya. Tidak banyak detail dari wajah anak itu yang diingat. Wajah Mif yang ada di ingatannya adalah wajah bocah madrasah ibtidaiyah kelas enam atau lebih kanak-kanak daripada itu; seorang jagoan cerdas cermat saat agustusan; nama siswa dari Madrasah Utara yang diperhitungkan oleh sekolahnya, Madrasah Selatan. Sementara Mif yang di sampingnya ini adalah pemuda dewasa lengkap dengan kumis yang tak tercukur dua minggu dan cambang yang bersambung dengan jenggot berantakan di dagu. Rambutnya memanjang melewati tengkuk, tampak angkuh dan sok pintar.
“Risiko anak Centong pinggiran …,” tanggap Mif dengan senyum.
“Kamu banyak berubah sekali, sih.” Disambungnya juga basa-basi kakunya. Sekali lagi, asal saja. Berubah apanya? Bagi Fauzia, wajah di sampingnya itu hampir sama barunya dengan wajah penumpang lain di bus itu.
“Kamu juga.” Mif ikut berbasa-basi. Senyumnya sedikit dibuat-buat.
“Tapi, kok bisa mengenaliku?” Fauzia mulai lebih santai.
“Siapa yang tidak mengenali Fauzia, anak Pak Fauzan.”
Fauzia sebenarnya tidak terlalu menyukai jika terlalu dihubung-hubungkan dengan bapaknya. Apalagi, kalau yang mengutarakannya anak Utara seperti Mif. Bagi anak Utara, ucapan mengenai Pak Fauzan selalu penuh maksud. Dan, biasanya buruk. Lepas dari itu semua, walau amat tipis, ada semu merah di wajahnya. Bangga rupanya ia.
“Kamu sudah lama sekolah ke luar, kan? Ke mana? Jogja?” Itu pertanyaan yang keluar begitu saja. Bisa jadi untuk mengalihkan pusat pembicaraan. Namun, bisa pula menunjukkan bahwa Fauzia mulai merasa tidak memiliki alasan cukup kuat untuk bersikap kaku.
“Tapi, aku kan, tetap mengikuti perkembangan di desa.” Mif, untuk kali kesekian, tersenyum lagi.
Fauzia merasakan telah tumbuh suasana akrab.
“Oh ya, mau ke mana ini?”
“Ih, pertanyaannya klasik. Kamu tahu, kan, aku kuliah di Surabaya? Katanya mengikuti perkembangan ....”
“Hei, jangan over estimate dulu. Dari mana aku tahu kalau Fauzia anak Pak Fauzan kuliah di Surabaya?”
“Katanya mengikuti perkembangan desa?”
Mif yang kali ini tersipu. “Lho, siapa tahu mau ke Malang, atau Jember. Atau, justru mau ke Jogja seperti aku?”
“Mau ke Jogja?” Fauzia tertawa mengejek. “Sejak kapan orang Centong mau ke Jogja naik bus jurusan Surabaya?”
“Jalan toh sambung-menyambung. Aku bisa saja naik bus jurusan Tuban–Malang atau Tuban–Tangerang dan tetap sampai ke Jogja.”
“Oh ya?”
“Kenapa tidak?”
“Penumpang yang aneh.”
Mif tertawa. Fauzia tersenyum lebar.
“Emmm ... ada acara di Surabaya sebenarnya.”