SORE itu angin berembus sepoi saja. Pohon jambu air di samping rumah itu bergoyang pelan. Di bawahnya, dengan dibungkus kesejukan sore, dua orang bapak-anak duduk berhadapan. Sebuah pemandangan yang jarang.
Meski dengan sedikit getar, semua akhirnya kelar. Mengalir juga. Satu demi satu. Kenekatannya untuk dianggap telah dewasa menolongnya bertutur. Itu kalimat-kalimat paling aneh yang pernah ia ucapkan di depan bapaknya.
“Demikianlah, Pak.” Ia menutupnya dengan lega. Namun, juga waswas.
Rasa waswas itu beralasan ketika, setelah sekian lama, Mif tak menemukan wajah terkejut. Tak juga ada rona gembira. Wajah bapaknya datar saja. Kedataran yang mengejutkan—akan lebih tepat jika disebut mengkhawatirkan. Ia tentu tak berharap orang tua di depannya itu marah, tetapi ia jauh lebih tidak suka dengan kebekuan ini.
“Bagaimana menurut Bapak?” Ia mencoba kembali.
Mata si bapak menatap lurus ke arah anaknya, tetapi si anak yakin mata tua itu tidak sedang memandangnya. Sepertinya, ke sesuatu yang entah apa dan di mana. Dan, kapan.
“Pak?” Ia terus berusaha.
Lalu, pelan-pelan, mata itu pun ditemukan. Mata Pak Kandar, guru dari hampir separuh penghuni kampung ini. Pupil yang mulai kelabu, yang sorotnya sulit tertandingi itu, kini tepat mengarah lurus-lurus ke arah wajah anak laki-lakinya, Miftahul Abrar.
“Sudah kamu pikir lebih jauh?” Beku itu pecah juga. Meski kalimat yang meluncur tak cukup menggembirakan.
“Maksud Bapak?” tanya Mif.
“Apa kamu sudah berpikir lebih jauh soal itu?” Pak Kandar menandaskan. Jelas itu tak menjelaskan lebih banyak.
“Sekolah saya sudah selesai. Kerja, sudah. Meski mungkin, Bapak tahu sendiri, belum cukup mantap. Dianya, Fauzia, beberapa bulan ke depan wisuda. Kalau kapan jadinya, ya, itu tergantung Bapak sama Ibu.”
“Lebih dari itu?”
“Cantik, sekolahnya tinggi, pintar, salihah, seperti yang Ibu inginlah.” Mif bicara seperti seorang pedagang perabotan yang ramah. Tidak apa jika itu memang diperlukan, pikirnya.
“Bukan itu.” Suara bapaknya masih saja datar. Mif mulai gelisah.
“Dia orang Selatan?” tanya Mif dengan nada menebak.
Sekian kejap, suasana diliputi sunyi.
“Ah, saya tidak mempersoalkannya. Masa sekolah sudah jauh-jauh masih memikirkan yang seperti itu.” Mif tertawa. “Bapak dan Ibu juga, kan?” Mif melanjutkan kalimatnya dengan nada seorang yang sedang membicarakan hal sepele. Padahal, jauh di pikirannya, hal inilah yang paling dikhawatirkannya.
“Atau …,” Mif melanjutkan lagi, juga dengan ekspresi seorang yang menebak pertanyaan, tetapi dengan nada yang lebih yakin, “karena Fauzia anaknya Pak Fauzan?”
Ia sebenarnya tak ingin buru-buru menyebut nama itu. Namun, cepat atau lambat, ia toh mesti melakukannya.
Pak Kandar belum membuat jawaban. Mif menunggu. Dan, memendam khawatir. Angin yang mengembus rimbunan daun jambu air yang menaungi balai-balai tempat keduanya berbicara menimbulkan suara gemeresik. Itu menegaskan kediaman keduanya. Sejuk mengembus juga dari goyangan daun itu. Lalu, dari arah masjid yang tidak terlihat, terdengar seruan lantunan ayat suci Al-Quran untuk menyongsong waktu maghrib. Gelap telah mengambang.
Pak Kandar masih diam. Seperti sedang mencerap sejuk suara qari di kejauhan, dan gelap yang mulai mengental, dalam sekali tarik. Mif melirik wajah bapaknya yang mulai samar. Mencuri pandang ke cuping hidung bapaknya yang terlihat menegang dan mengendur secara bergantian, mengisi dada berumur yang masih tegap meskipun tampak pipih itu. Naik, kemudian turun. Naik lagi, dan turun lagi. Tampak teratur. Namun, dari keteraturan itulah Mif sedang menyiapkan waspada. Mif menduga-duga bapaknya sedang meredam sebuah gemuruh.
“Ehm,” Mif mendeham, berusaha memecahkan kesenyapan yang sedang berlangsung. Mengambil tenggang waktu secukupnya sebelum kemudian bicara, “Seperti anak Utara yang lain, saya dulu tidak suka sama Pak Fauzan. Mungkin juga sampai sekarang, meski dengan alasan yang tidak begitu jelas.” Mif diam lagi, tampaknya sedang memilih kata yang paling pas. “Tapi, saya hendak menikah dengan anaknya, Pak. Bukan dengan keluarganya. Bukan dengan Pak Fauzan ....”
“Tapi, itu tak berarti membuatmu tak berpikir tentang mereka,” tukas Pak Kandar, masih dengan nada datarnya.
Mif tertunduk. Ia seperti ular bodoh yang baru saja menjulurkan kepalanya untuk dipukul. Tidak cukup, ia bahkan menyediakan pentungan bambunya. Namun, ular bodoh itu masih mencoba mengibaskan ekornya.
“Jadi, Bapak tidak setuju?” Gugatan yang ceroboh. Bayangkan bila ia langsung mendapatkan jawaban “ya”.