Kambing dan Hujan

Bentang Pustaka
Chapter #1

1

“AWAS kalau tak datang ...,” desah gadis itu, hampir kepada dirinya sendiri.

Setelah bertahun-tahun, tempat itu hampir tak berubah. Panas, pesing, amis, semrawut, morat-marit, tak terawat, tak beda dari sebelumnya. Warung bakso itu masih di sisi timur. Dan, masih saja ramai. Sungguh aneh. Biasanya orang berjualan mengikuti keramaian. Orang jual satai memilih jalan yang ramai. Orang jual minuman ambil stan di dekat kerumunan. Penjual balon ada di tempat anak-anak berkumpul. Kedai tuak berdiri di sekitar tempat peristirahatan kendaraan. Namun, warung bakso itu menciptakan keramaiannya sendiri.

Dan, hampir satu-satunya. Ia ciptakan penjual es degan di sampingnya. Di sampingnya lagi, seseorang membuka lapak sederhana untuk berjualan pulsa. Di sisi berlawanan, seorang penjual topi dan sandal berpanas-panasan menunggu pengunjung tumpahan. Agak sedikit jauh di dekat jalan utama, pedagang bensin eceran sekaligus penjaja jasa tambal ban menaruhkan harapan. Sejajar dengan kios bensin, kios rokok, lapak minuman, reparasi kunci dan stempel masih mencoba bertahan.

Orang bilang, jika bukan karena warung bakso itu—bakso yang disebut-sebut paling enak di seantero bekas keresidenan—tempat tersebut akan banyak berubah. Karena warung bakso itu, bekas terminal itu masih seperti layaknya terminal—paling tidak, mendekati terminal. Bukan lagi tempat bus-bus diberangkatkan, tetapi orang-orang masih mencegat tumpangan di sana. Tak lagi berdiri pusat jajanan berderet-deret di situ, tetapi toh orang-orang masih bikin janjian di tempat itu.

Yang berubah dari tempat itu hanya bagaimana orang menyebutnya. Dulu disebut terminal, kini orang menyebutnya terminal lama. “Lama! Lama!” Demikian bahkan kondektur bus dengan semena-mena meneriakkannya.

Ia, gadis itu, sudah setengah jam di bawah pohon itu—satu dari sangat sedikit pohon yang ada di kisaran tempat itu. Duduk, dan kadang berdiri, di lingkaran beton setengah rompal yang mengitari pohon, pandangannya diedarkan ke seantero, dari sudut ke sudut. Gelisah. Itu jelas dari betapa tak sabarnya mata tersebut jenak di satu titik. Juga dari betapa sibuknya tangannya mengusapkan tisu basah di keningnya. Kadang, jika tisu tak cukup membantu, ia kipaskan ujung kerudungnya.

Udara memang sangat panas—bahkan untuk yang berteduh. Namun, keringat itu tak hanya dihasilkan oleh kuatnya sinar matahari yang memaksa kulit mengeluarkan cairan lebih deras. Ada rasa khawatir yang tak terjelaskan dalam tetes keringat itu. Keringat seseorang yang menunggu. Keringat seseorang yang menunggu seseorang lain yang mungkin saja tidak datang. Seseorang yang juga hampir siap menunggu sesuatu yang tak diinginkan terjadi.

***

Tanpa bertanya, kita bisa tahu bahwa ia tengah menunggu. Matanya terus menengok, ke sana kemari. Namun, dari semua titik yang diedari pandangnya, ia paling sering memandang ke arah ujung kelokan dari mana ia tadi datang—dari arah desanya. Tentunya juga dari seringnya ia membuka ujung lengannya, melongok jarum di arloji kecilnya. Sebelum berangkat ia telah menyatakan tak akan mengirim SMS lagi begitu keluar rumah, sebab itu berarti ia sudah membuang nomor lamanya dan mematikan ponselnya. Meski demikian, ia kadang masih menengok layar ponselnya yang padam-hitam.

Ketika setengah jam beranjak ke tiga perempat, kekhawatirannya jadi kekalutan. Kesabarannya untuk menunggu mulai terkikis.

“Awas kalau kamu tak datang!” Diulanginya kalimat yang sebelumnya, kali ini dengan nada mengancam yang lebih tegas. “Aku tak akan memaafkanmu!”

“Dan, jangan harap aku pulang. Aku akan tetap pergi walau sendiri,” rutuknya, seakan seseorang ada di depannya. “Dan, tak akan kembali!” sambungnya, tak berpuas diri.

Waktu terus beranjak. Sementara itu, di ujung kelokan, tak muncul juga yang diharapkan.

“Kamu mau mengakhirinya di tempat kita mulai?”

Pipinya mulai panas. Dadanya jadi sesak. Matanya sekuat tenaga menahan tangis—hal yang belakangan ini sering ia lakukan.

Bus yang bisa mengantarkannya menuju kota yang dipikir akan ditujunya baru lewat. Ini mungkin yang ketiga. Kursi-kursi yang masih lega—tak seperti biasanya—begitu menggoda bagi calon penumpang putus asa macamnya. Hampir saja ia melompat. Namun, akal sehat dan sedikit harapan yang masih tersisa segera menahannya.

Lalu, sebuah suara benar-benar menahannya.

“Sori, lama.”

Sepeda motor bebek keluaran awal ‘90-an menepi tepat di depan ia yang menunggu. Suara kunci diputar diikuti bunyi mesin yang mati dan standar yang dipasang.

Tanpa menoleh, ia menyambar bahu yang tiba-tiba saja sudah sejengkal berada di sampingnya. Kekaca di matanya pecah jadi air mata.

“Bukan lama. Lama banget!” Ia meracau di antara suara senggukan tangisnya.

“Eh, jangan menangis begitu. Dilihat orang.”

“Biar ....”

Beberapa orang menengok dan tersenyum. Ada yang siul-siul usil.

“Kok bawa motor?”

Yang ditanya cuma diam sebelum dengan bimbang bilang, “Ayo pulang.”

“Kok malah pulang?”

Diam lagi.

Lihat selengkapnya