"Kamu mau tetap di sini atau ke luar?" kata Rafles dengan mata tajam.
Gadis itu masih terdiam mendengarkan suara Rafles sekaligus ayahnya. Raut wajah Rafles sangat serius. Matanya memandang tajam wajah takut gadis itu. Sesekali dia memainkan pulpennya di meja Pimpinan Redaksi. Rasa tak sukanya terhadap anaknya mulai tampak.
Rafles melonggarkan dasinya. Menarik napasnya dalam-dalam. Sedalam pikirannya yang akan terusik nanti. Kursi pimpinan itu diputar ke belakang. Rafles memandangi dinding bercat biru muda. Ada logo media MMI News disana. Jari jemarinya bermain di pegangan kursi.
Hanya berselang tiga puluh menit. Dia memutar lagi kursinya menghadap gadis itu. Bola matanya memerah. Seakan-akan tak percaya. Dia mengira anaknya akan mengikutinya. Tapi, tetap saja dia memaksakan.
"Besok, kamu harus tetap seperti ini. Jangan ada yang tahu kalau saya ayahmu. Paham!" Rafles berkata tegas.
Gadis itu memandang wajah ayahnya. Kaget. Entah untuk berapa lama dia harus bersembunyi seperti ini. Gadis itu menundukkan pandangannya. Memandang lantai keramik putih susu. Menghitung jaraknya seteliti mungkin. Mungkin saja jarak dia dan ayahnya seperti jarak keramik antar keramik. Namun, polos. Tanpa rasa.
Tangannya menggenggam satu sama lain. Merapatkan jari jemari kecilnya. Kursi hitam yang didudukinya itu berderik hingga ayahnya kaget.
Dia bangkit menuju pintu keluar. Dinding ruangan Rafles mencekam. Hening. Pandangan matanya berkeliling.
***
Tahun 2000.
"Yah, aku ingin jadi seperti ayah. Bisa masuk TV. Pegang mikrofon," kata gadis kecil itu.
"Oh ya?" Wajah ayahnya berbinar.
Gadis itu menganggukkan wajahnya. Polos. Manis. Penuh harapan. Guratan kebahagiaan muncul dari wajah sang ayah. Semilir angin sore itu menandakan bisik-bisik masa depannya.
Pohon mangga di taman belakang melambai-lambaikan daunnya. Mengikuti cerita si gadis kecil dengan ayahnya. Buahnya nan ranum menilik masa-masa kenangan.