Kami (bukan) Tinta Berdasi

Martha Z. ElKutuby
Chapter #7

Telepon dari Seberang

Setelah menerima telepon di hari pengangkatannya sebagai Pimpinan Redaksi, Rafles sedikit gusar dengan dirinya. Ada ketakutan yang mendalam di hatinya. Namun, dia tepis dengan berbagai cara.

Suara dari telepon itu selalu terngiang di telinganya. Dia tak pernah tertidur lelap. Suasana malam itu berubah menjadi dingin. Di balik meja kerjanya yang terletak bersebelahan dengan kamar tidurnya, Rafles terlihat berpikir keras. Dia menyilangkan tangannya di dada. Memandang selembar kertas di mejanya.

Lama memandang kertas itu, dia mendesah. Hembusan napasnya menandakan sesak yang ditahannya selama ini. Matanya masih tajam ke arah tulisan yang berisikan persetujuan untuk mendukung salah satu kandidat calon presiden dan wakil presiden.

Pikirannya sedikit kacau. Tanpa menyentuh kertas itu, dia bangkit dari kursinya menuju jendela ruangan itu. Jalanan malam terlihat mulai sepi. Kerlap-kerlip lampu rumah di tengah kota menambah indahnya pemandangan malam. Rafles mematung.

Ada beberapa masukan dari para koleganya yang sempat terngiang lagi di telinganya. Tanpa disadari dia telah termakan oleh itu.

"Haha ...! Kenapa kau tiba-tiba ragu, Raf?"

"Aku paham undang-undang negeri ini."

"Berpikirlah cerdas. Itu hanya aturan tertulis saja."

Rafles kembali ke kursinya setelah memikirkan perkataan koleganya saat berkumpul di hari pesta pengangkatannya itu. Dia menutup lembaran kertas itu dan menuju kamar tidurnya.

Di depan pintu kamarnya ada Rara yang sudah sepuluh menit berdiri. Dia hendak mengetuk pintu ruang kerja ayahnya. Namun, dia masih berpikir harus menanyakan seperti apa. Kecuriagaannya siang tadi sangat menganggu tidurnya.

Suara pintu berbahan kayu jati Jepara itu terbuka. Rafles keluar dengan wajah kaget. Semula dia menundukkan pandangannya. Ketika memandang Rara yang berwajah datar, dia memaksakan senyumnya.

Rara hanya memandang ayahnya. Tanpa membalas senyuman ayahnya, dia berlalu meninggalkan Rafles. Rafles sedikit heran dengan Rara. Tidak biasanya dia seperti ini.

Sesampai di kamarnya, Rafles memandang foto istrinya. Hatinya sangat berat ketika melihat foto itu. Selain merasakan rasa bersalah kepada Rara, dia juga merasa kejam kepada istrinya. Entah nafsu apa yang membuatnya mengorbankan istrinya.

Lihat selengkapnya